Sesampainya di kamar hotel itu Adrian segera membuka pintunya yang ternyata tidak di kunci sama sekali. Di sana ia melihat Alea dengan posisi yang masih sama ketika ia pergi meninggalkannya semalam. Menutupi tubuhnya dengan selimut hingga rapat.
Dengan perasaan yang masih di liputi amarah dan emosi Adrian menyingkap selimut itu dengan kasar. Tetapi, hatinya mencelos ketika melihat tubuh Alea menggigil dan masih tidak berbusana. Mata Adrian terpaku pada penampakan sprei putih yang terdapat begitu banyak noda darah.
"Kak, Leta dingin," rintih Alea menggigil.
Adrian mendekat dan menegang kening Alea, panas. Ternyata Alea mengalami demam
Adrian segera memungut pakaian Alea yang ia lempar secara sembarangan dan memaikannya kembali. Sedikit merapikan rambut Alea agar tidak terlihat mengenaskan. Ia benci dengan apa yang Alea lakukan padanya, tapi melihat keadaan Alea seperti ini ia justru mengingat kebejadannya semalam. Ia menggagahi Alea dengan kekuatan penuh tak peduli jika itu yang pertamakali bagi Alea. Dan setelah melihat Alea seperti ini apa ia tega untuk tidak menikahinya meski ini adalah kesalahan wanita itu sendiri? Jawabannya adalah tidak. Bagaimana kalau Alea sampai hamil, ia baru menyadari itu bisa terjadi saat pelepasannya yang terakhir. Dua kali sebelumnya ia lupa. Adrian kecolongan, amarahnya yang memuncak membuat ia hanya berfikir untuk menyakiti Alea dan meredakan nafsunya. Padahal dengan Aleta yang sudah resmi menjadi istrinya saja, dulu Adrian sedikitpun tidak pernah meninggalkan resiko Aleta akan hamil anaknya. Ia selalu bermain aman tanpa Aleta tahu.
"Kita ke rumah sakit." Adrian lalu menggendong Alea dan membawanya keluar dari sana.
Adrian membawa Alea ke rumah sakit. Mengatakan pada dokter apa yang sebenarnya terjadi. Sedikit memalukan memang, bahkan perawat wanita yang berdiri di samping dokter itu tersenyum menggoda dan tak segan mengarahkan pandangan pada bagian bawah tubuh Adrian.
"Terimakasih, Dok." Ucap Adrian ketika dokter yang menangani Alea hendak keluar dari ruangan.
"Sama-sama, jangan lupa obatnya di minum dan salepnya di oleskan pada bagian yang bengkak."
Adrian mengangguk dengan wajah memerah. Ia memang mengatakan pada dokter jika dirinya dan Alea adalah pengantin baru yang sedang berbulan madu. Tapi tetap saja ini terdengar memalukan.
Adrian mengarahkan pandangan pada Alea yang masih terdiam.
"Makan dulu, setelah itu minum obat."
Alea mendengar apa yang Adrian katakan, tapi ia tak menjawab. Kepalanya sedang penuh dengan apa yang sudah ia lakukan. Mengapa menginginkan Adrian menjadi suaminya dan mengetahui apa yang sedang terjadi pada keluarganya sampai menyakiti tubuhnya seperti ini?
Alea tak bisa berjalan sejak ia bangun di pagi hari. Bahkan ia sampai buang air kecil di tempat tidur. Beberapa kali ia menelepon Adrian untuk meminta bantuan, tapi ponsel laki-laki itu tidak pernah aktif sampai sore hari. Sampai akhirnya ia pasrah dan hanya mengirim pesan pada Adrian berharap laki-laki itu akan membacanya. Ia kemudian memejamkan mata dan tidur dengan tubuh panas dingin.
"Makan Alea! Saya tidak punya banyak waktu untuk menunggumu di sini."
Alea tersentak, ia jelas tidak bernafsu sama sekali untuk makan. Tapi ia ingin segera rasa sakit di tubuhnya ini hilang. Alea mengambil piring di tangan Adrian dan berusaha memakan habis isinya.
"Obatnya."
Alea menerima beberapa butir obat yang di sodorkan Adrian dan meminumnya dengan sekali teguk.
"Salepnya?"
"Aku bisa pakai sendiri," jawab Alea.
"Saya juga tidak berniat membantu mengoleskannya. Tapi ingat, jangan bersikap seperti korban Alea. Kamu bukan korban di sini. Aku tidak memperkosamu dan apa yang terjadi adalah atas ide dan keinginanmu sendiri."
Tanpa di ingatkan pun Alea sadar apa yang di lakukannya. Hanya saja ia tak menyangka Adrian sekejam itu dan tubuhnya akan sesakit ini.
Tanpa bisa di cegah, air mata Alea menetes lagi.
"Jangan menangis Alea! Sekali lagi kamu bukan korban."
"Kak Adrian keluar dulu, aku mau pakai salepnya." Ucap Alea lirih sambil mengusap airmatanya kasar.
Adrian tidak menuruti kata-kata Alea dan keluar dari sana, tangannya justru merebut salep yang ada di tangan Alea.
"Buka kakimu!"
Alea menggeleng. "Aku bisa melakukannya sendiri."
"Menurut, atau saya akan memasukimu lagi saat ini juga Alea." Ancam Adrian yang pastinya tidak sungguh-sungguh. Ia hanya ingin melihat seberapa parah ia menyakiti Alea. Ia membenci cara kotor Alea, tapi dirinya adalah laki-laki yang bertanggung jawab.
"Kita akan menikah setelah kamu sembuh." Ucap Adrian setelah selesai mengoleskan salep pada bagian tubuh Alea yang paling tersembunyi.
"Aku akan membatalkan keinginan itu kalau memang Kak Adrian keberatan," ucap Alea. Apa yang ada di pikirannya buyar merasakan betapa menakutkannya Adrian. Ia tidak pernah mengira tubuhnya bisa sesakit ini.
Adrian menatap tajam mata memerah Alea. Semudah itu wanita muda di depannya ini berubah pikiran. Setelah berhasil memporak-porandakan tatanan hidup serta hatinya.
"Tidak ada kata mundur setelah kamu memulainya Alea. Saya bukan laki-laki b******k yang tidak tahu tanggung jawab. Saya memang menyesal sampai terpedaya dan menyentuhmu. Tapi menikahimu bukan berarti saya mengajakmu mengarungi hahtera rumah tangga yang membahagiakan seperti pasangan suami istri pada umumnya. Saya hanya akan menuruti obsesi gilamu, menikahi Kakak ipar sendiri. Aleta memang sudah tidak ada, tapi dengan cara ini, sama saja kamu telah mengkhianatinya. Setelah menikah nanti, jangan berharap akan kebahagiaan, dan jangan menuntut saya apapun Alea. Kamu tidak berhak untuk itu. Untuk urusan tempat dan biaya pernikahan, saya yang akan mengurusnya. Kamu tidak perlu mengeluarkan uang sepeserpun."
Airmata Alea menetes deras setelah Adrian keluar dari ruangan ia di rawat. Kata-kata yang Adrian ucapkan terdengar menakutkan dan menyakitkan. Bisa di bilang, ia menyesal melakukan ini pada Adrian. Keinginannya untuk tidak lagi tinggal di luar negeri dan dan mengetahui kondisi keluarganya harus ia bayar dengan mahal.
***
"Waaah, yang baru pulang liburan sama calon suami. Kok murung? Kalian jadi kan menikah satu minggu lagi dari sekarang?" tanya Alex pada puterinya ketika mereka hendak makan malam bersama. Alea baru pulang tadi pagi dari rumah sakit. Tapi Adrian mengatakan pada Ayahnya jika laki-laki itu tengah mengajaknya berlibur.
"Jadi, Pa," jawab Alea. Gadis itu juga melirik Ibu dan Kakak laki-lakinya. Ibunya bersikap tak peduli dengan pernikahannya, sedangkan Aslan Kakak laki-lakinya, menatap Alea dengan tatapan yang sulit di artikan. Di sini, hanya Ayahnya yang terdengar antusias dengan pernikahannya.
Adrian sudah tak menemuinya di rumah sakit setelah ia sudah bisa berjalan dan hanya dalam masa pemulihan. Tapi mengirimi dirinya pesan jika mereka akan menikah satu minggu lagi dari hari ini.
"Selamat malam semua, maaf saya terlambat."
Alea menoleh ke arah suara. Tak jauh dari tempatnya duduk, Adrian berdiri menjulang dengan pakaian rapi. Tatapannya teduh tidak seperti ketika menggagahi tubuhnya malam itu. Inilah Adrian yang Aleta bilang baik dengan tatapan yang menenangkan. Tapi Alea tidak berani berharap hal itu juga akan dia dapatkan dalam pernikahannya. Ia tidak lupa kata-kata Adrian waktu itu. Jika dirinya, tidak boleh mengharapkan kebahagiaan.
Alea menghembuskan nafas berat. Bahkan ia tidak peduli ketika Adrian menduduki kursi di sampingnya. Sampai ia mendengar pertanyaan lirih dari bibir Adrian di dekat telinganya.
"Apa sudah tidak sakit?"