9. Nanti Saat Kita 22 Tahun

1315 Kata
Senyuman Shena mengembang indah. Memperhatikan suasana sore menjelang malam yang menenangkan. Satu momen yang menjadi favorit banyak orang. Walaupun mungkin ada sebagian yang tidak menyukai karena hadirnya yang hanya sesaat. Satu pembelajaran yang seharusnya dipetik oleh setiap diri. Jika apapun yang ada di alam semesta ini, kecuali Sang Pemilik Kehidupan, akan menemui masa akhirnya masing-masing. Tidak kekal, tidak abadi. Ini sudah kesekian kali, Shena dan Reygan menghabiskan waktu bersama sembari menatap kagum pada gambaran tenggelamnya mentari. Digantikan dengan warna kejinggaan yang indah. Nampak begitu mempesona walaupun pada kenyataannya ini adalah sebuah akhir. Akhir dari pekerjaan mentari selama satu harian ini. Satu bukti nyata, jika tidak selamanya akhir itu menyedihkan. Tidak selamanya akhir itu berisi luapan gambaran yang tidak bisa dinikmati sepasang mata. Akhir tidak melulu mengenai hal yang buruk, tidak menyenangkan. Senja adalah jaminan atas kalimat-kalimat sebelumnya. "Rey, aku jadi penasaran, apa akhir kisah kita akan seindah senja?" Reygan yang sebelumnya sedang menenggak air dalam botol kemasan, kini beralih tatap. Memperhatikan wajah ayu Shena dari samping. Tatapan indah itu masih sibuk mengagumi senja di atas sana. Tidak rela mengalihkan perhatiannya, barang satu detik. "Menurut lo, kisah yang udah kita mulai akan berakhir?" tanya Reygan hati-hati. Takut jika saja pertanyaannya membuat Shena tersinggung. Karena pada kenyataannya, Reygan benar-benar penasaran dengan pendapat Shena mengenai hubungan mereka. Senyuman Shena kembali nampak. Ditujukan untuk Reygan karena Shena sempat membalas tatapan Reygan. "Semua yang dimulai pasti akan ada akhirnya, Rey. Itu udah paten. Nggak mungkin nggak." Reygan nampak tidak terima dengan kenyataan semacam itu. Ingin menentang kehendak semesta untuk satu hal paten itu, ada awal pasti ada akhir. Karena yang Reygan mau, ia akan selalu merasakan kebahagiaan ini. Dengan Shena di sampingnya. "Kalau gue buat pengecualian untuk kita?" Shena malah tertawa. "Ngaco kamu. Emang kita siapa? Cuma manusia biasa yang masih sering lupa, masih sering luput. Jangan melampaui batas sebagai manusia, Rey." "Kok lo nggak yakin sama hubungan kita, Shen? Lo ragu sama gue?" Shena menggeleng. Senyuman yang senantiasa tersemat di sana, membuatnya menjadi sosok yang nampak tenang. Tidak mudah terganggu dengan kalimat-kalimat Reygan yang selalu tentang pertentangan. Satu hal yang sebenarnya menjadi awal perdebatan seru. Tapi sayangnya, Shena lebih suka menanggapinya dengan santai dan tenang. Seolah menolak umpan perdebatan yang Reygan lemparkan. "Kalau aku ragu, aku nggak akan pernah membuka hati aku untuk kamu. Aku nggak akan suka rela membiarkan kamu hadir, menyapa, dan tinggal untuk beberapa saat. Sampai nanti waktunya tiba, apa yang kita mulai harus menemui kata akhir. Aku cuma realistis, Rey. Sekadar mengingatkan diri sendiri, kalau kamu yang sekarang milikku nggak bisa selamanya jadi milikku. Aku harus siap kalau sewaktu-waktu akhir itu tiba." "Jadi maksud lo, pada akhirnya gue akan jadi satu bagian yang hanya kenangan dalam hidup lo? Selayaknya manusia lain?" Shena mengangguk. "Tepat." "Terus apa spesialnya gue. Kalau pada akhirnya posisi gue sama seperti manusia lainnya?" "Kamu memang akan menjadi kenangan sama seperti yang lain. Tapi bedanya, kamu akan menjadi satu-satunya yang membekas. Karena hati ini akan kamu bawa pergi, bersama akhir itu." Reygan tidak mampu berkata. Hanya bisa menatap Shena untuk sepersekian detik. Kembali dibuat kagum untuk kesekian kali. Reygan tidak pernah mengerti, mengapa Shena selalu bisa membuatnya diam tanpa kata. Membuat sepasang matanya hanya bisa menatap Shena sebagai satu objek yang mendominasi. Tidak ada lagi celah untuk perempuan lain mengisi relung hatinya yang sudah utuh. Dengan Shena sebagai satu-satunya. Banyak yang bilang jika cinta itu buta. Nampaknya hal itu berlaku untuk Reygan. Karena dari segi fisik, tentu Shena bukan juara pertamanya. Shena memang cantik dengan penampilannya yang sederhana. Shena juga bukan tipe perempuan yang suka berdandan. Karena pada kenyataannya Shena buta dengan hal-hal berbau make up. Tapi sederhananya Shena, apa adanya Shena, polosnya Shena, tukang nyasarnya Shena, sampai pada hati baiknya adalah hal-hal yang mampu mencuri hati Reygan. Membuatnya tidak perlu lagi mencari yang lebih. Yang sesuai dengan istilah tipe ideal. Kehadiran Shena dengan segala yang melekat pada Shena sudah cukup. Shena yang Reygan cari. "Gue selalu nggak bisa ngomong kalau cerewetnya udah keluar," ucap Reygan seraya terkekeh pelan. Sebelah tangannya terulur. Mengusap rambut Shena lembut. Afeksi sederhana yang sering kali ia lakukan. "Aku cerewet banget ya, Rey?" Reygan mengangguk. "Iya, banget. Sampai kuping gue panas kalau lo udah ngomong." Shena cemberut. Tapi Reygan justru menampilkan senyumannya. Merasa gemas dengan Shena yang mulai tidak percaya diri. Respon yang sama jika Reygan sudah membahas mengenai mulut Shena yang cerewet itu. Tidak tahu saja, jika Shena yang seperti ini adalah Shena yang berhasil mencuri hati Reygan. Membuat Reygan jatuh sepenuhnya pada pesona Shena. "Kuping kamu panas kalau dengerin aku, kenapa kamu malah sama aku terus? Cari yang lain aja sana. Yang cantik, pendiam, lemah lembut. Biar kupingmu nggak harus kepanasan." Ini dia hal lainnya yang Reygan sukai dari Shena. Mulutnya yang memang cerewet akan semakin cerewet saat kesal. Ditambah wajah cemberutnya yang memanjakan mata. Menimbulkan satu sensasi menyenangkan dalam hati. Bukannya meredam kekesalan Shena. Reygan lebih memilih untuk mencubit gemas sebelah pipi Shena. Membuatnya kian kesal dan berakhir memukuli tangan Reygan yang seenaknya. "Kenapa harus cari yang pendiem kalau gue sayangnya sama yang cerewet?" Blus. Pipi Shena memerah hanya karena satu kalimat itu. Reygan dan mulut menyebalkan itu memang perpaduan yang sangat serasi. Mampu meredam kekesalan Shena. Mengubahnya menjadi rasa menyebalkan yang sialnya membuat debaran jantungnya kian keras. "Reygan nyebelin." "Memang. Dan Reygan nyebelin ini adalah laki-laki yang udah ambil hati lo." Senyumannya kian lebar. Shena juga kembali memberi pukulan ringan. "Di sana letak nyebelinnya." Reygan tidak bisa lagi menyembunyikan senyumannya. Meraih Shena dalam rangkulannya. Sesekali memberi ciuman lembut di kening kesayangannya. Shena menerima afeksi itu. Menumpukan dirinya pada Reygan. Dengan senyuman yang masih nampak. Membuat keduanya terlihat lebih bahagia saat bersama. "Kata orang, di usia 22 tahun kita akan mengalami fase hidup paling berat. Emang iya, Rey?" Reygan tersenyum samar. Sebelah tangannya masih setia memberi usapan lembut di kepala Shena. "Kenapa selalu bawa topik tiba-tiba gini?" "Nggak apa-apa. Aku cuma penasaran. Apa di usia 22 tahun nanti, kita masih sama-sama seperti ini atau justru akhir itu hadir sebelum usia 22." "Nggak akan ada yang berat, Shen. Selama lo ada terus sama gue. Kalaupun berat, kita bisa lewati bareng-bareng supaya lebih ringan." "Kita akan sama-sama terus sampai usia itu tiba?" "Harus. Sampai usia dua puluhan, sampai tahun-tahun berikutnya." Shena tertawa. "Kamu yakin banget? Apa jaminannya?" Shena berujar penasaran. Senyumannya masih tersemat indah. Menunggu jawaban yang akan Reygan utarakan sebagai jawaban atas pertanyaan tanpa dasar itu. Reygan meraih sebelah tangan Shena, tempat di mana cincin sederhana itu tersemat. "Gue memang nggak bisa menjamin apapun, Shen. Tapi gue akan berusaha untuk terus melewati tahun-tahun berikutnya sama lo." Jawaban tidak terduga dari sosok tidak terduga. Begitu saja, Shena sudah sibuk bersemu. Merasakan panas di pipi menjalar sampai telinga. Beruntungnya, Shena masih berada di posisinya. Membuat Reygan tidak bisa melihat wajah meronanya. "Di usia 22 tahun nanti, kira-kira kita lagi sibuk apa ya, Rey?" "Mungkin baru lulus, karena lo dapat dosbing Miss Emely. TA lo ditolak terus, makanya lo telat lulus." Shena refleks memukul tangan Reygan yang menggenggam sebelah tangannya. Sebal dengan gurauan Reygan yang tidak lucu sama sekali. Tapi si lelaki justru tertawa puas. "Kamu tuh yang telat lulus," ujar Shena sebal. Reygan hanya tertawa. Kembali membawa Shena dalam rangkulan tangannya. "Mungkin kita lagi sama-sama cari kerjaan. Sama-sama menjalani peralihan usia yang pasti berat banget. Kita udah menganggap kalau usia kita cukup dewasa. Udah layak menghadapi dan menyelesaikan masalah sendiri. Padahal posisi sebenarnya, kita dilema karena bingung sama masa depan." Shena mendengarkan dalam diam. Menikmati setiap kata yang menyapa lembut telinganya. "Kalau kita udah 22 tahun nanti, dan lo menghadapi masa-masa sulit. Jangan pernah merasa sendiri. Lo bisa berbagi apapun sama gue, Shen. Jangan pernah ragu untuk cerita. Kita hadapi semuanya bareng-bareng." Shena mengangguk patuh. Senyumannya mengembang indah. Kalimat Reygan membuatnya merasa mampu untuk tetap melanjutkan semuanya. Bahkan sampai di usia peralihan menuju kedewasaan nanti. Dan untuk tahun-tahun berikutnya. Karena bagi Shena, keberadaan Reygan di sampingnya sudah cukup membuatnya kuat untuk menghadapi apapun yang terjadi nanti. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN