BAB : 6

1472 Kata
"Cekrek!" Suara jepretan itu seketika membuat Lova sadar. Matanya membulat dengan apa yang sedang ia dapatkan dari Mirza. Langsung, dengan sekuat tenaga ia dorong tubuh cowok itu hingga ciuman di bibirnya terlepas, begitupun dengan menjauhnya Mirza dari hadapannya. Ia bangkit dari posisinya. "Kenapa lakuin itu padaku?!" jerit Lova penuh rasa kesal di depan Mirza yang duduk di pinggiran tempat tidur. Kalau dalam permainan game, anggaplah rasa kesalnya ini sudah berada di level legend. Astaga! Apa-apaan semua ini? Ia memang dikatakan liar dalam bergaul, tapi untuk ciuman, jangan berpikiran kalau akan ia umbar begitu saja. Tapi apa sekarang? Justru gurunya ini yang malah mengambil dengan mudah. Bahkan rasanya masih berasa jelas di bibirnya. Mirza seolah tak menanggapi amukan Lova. Tangannya sibuk dengan ponsel yang sedang ia pegang, kemudian tersenyum. Dengan cepat Lova merebut ponsel yang sedang berada di genggaman Mirza. Matanya kini berfokus pada layar datar itu. Tak lama, ekspressinya berubah kaget. "Apa yang Bapak lakuin?!" tanya Lova mendapati fotonya dan Mirza yang sedang berciuman. Mirza merebut kembali ponselnya dan memasukkan ke dalam sakunya. "Sudah ku katakan padamu, kan, jangan mengatakan hal buruk tentangku. Cowok m***m ... aku sudah melakukan hal itu padamu." "Jahat!" "Jangan berharap kalau aku akan jadi jahat seperti apa yang kamu katakan," balas Mirza cepat. Ia berjalan semakin mendekat pada Lova, sementara lova sendiri seolah terus berusaha menjauhinya. Hingga akhirnya langkah gadis itu berakhir di sudut dinding. Saat Lova hendak menjauh dari hadapannya, dengan cepat ia mencegatnya. Mirza mendekatkan wajahnya pada Lova. Saking takutnya dia sampai memicingkan kedua matanya. "Turuti apa yang ku katakan, kalau tidak, mungkin aku akan melakukan hal yang lebih dari sekadar ciuman," bisik Mirza. "Nggak akan," balasnya tetap pada pendiriannya. Mendapatkan balasan seperti itu, tentu saja Mirza merasa Lova semakin tak bisa diatur. Haruskah ia lakukan hal yang lebih parah, agar gadis ini mau menuruti keinginannya? Dengan cepat ia tarik Lova agar semakin dekat dengannya. Kedua tangannya kini berada di pinggang gadis itu, bahkan amukan itu seolah tak membuatnya ambil pusing. "Lepasin aku! Dasar cowok m***m. Maumu apa, sih?!" Lova terus memberontak, agar dirinya bisa dilepaskan. Apalagi Mirza malah semakin lancang ... kedua tangannya sudah berada dibalik tanktopnya. Jangan sampai terjadi hal yang lebih parah dari ini. Mengalami kejadian seperti ini, rasanya seperti sebuah mimpi. Andai ini benar-benar mimpi, bisakah ia terbangun lebih cepat? Ia tak ingin mendapatkan hal seperti ini, meskipun hanya mimpi. Sebelumnya, memang ia berharap sosok Mirza bisa hadir dalam mimpinya, tapi setelah tahu betapa menyebalkannya cowok ini, ia tak ingin berharap lagi. "Lova, kini terserah padamu ... mau mengikuti perkataanku, atau ..." "Iya ... iya, aku mau, tapi tolong lepasin aku," ungkapnya cepat. Rumah ini begitu luas atau bagaimana? Kenapa semua penghuni rumah pada hilang saat dirinya berada dicengkeraman Mirza. Tak tahukah mereka semua, kalau majikannya ini sedang dianiaya batinnya oleh cowok m***m ini. "Janji?" "Iya aku janji. Cepetan lepasin aku!" Ia tak menganggap Mirza sebagai gurunya lagi. Lagian, mana ada seorang guru yang melakukan tindakan m***m seperti ini pada muridnya. Mendengar itu, barulah Mirza melepaskan Lova dari cengkeramannya. "Kamu lihat, kan, tadi ... aku punya foto itu. Jadi, jangan berharap kamu bisa lari dan membantah apapun yang ku minta. Apalagi kalau sampai Om Arnel tahu," jelasnya seolah memeberikan peringatan pada Lova. Memang, peringatan Mirza benar-benar membuatnya takut. Bahkan, ia seolah tak berani untuk membantah satupun semua yang dikatakan cowok itu. Ya ... ini ketoledorannya, dan jangan sampai Papanya tahu. "Kemasi barang-barangmu dan ikut aku sekarang," suruh Mirza. Lova tersenyum. "Hmm ... Bapak Mirza yang terhormat, gimana kalau aku balik besok aja. Nggak apa-apa, kan?" Sebenarnya males banget bersikap semanis ini pada Mirza, yang jelas-jelas sudah membuatnya kesal. Mirza menatap Lova dingin. Kemudian, meletakkan kedua tangannya di pundak gadis itu. "Kenapa?" tanya Lova kembali bingung. Mau apalagi cowok ini? Lihatlah ... wajahnya begitu menyeramkan. Apa perkataannya barusan ada yang salah? "Bisa tidak, jangan gunakan panggilan itu. Ingat Lova, ini di luar sekolah," jelas Mirza tak suka. "Iya, pak," balasnya. "Eh, maksudku, Kak," ralatnya dengan cepat. Mendengar itu, barulah Mirza melepaskannya. Rasanya seperti baru lepas dari cengkeraman macan tutul jantan yang sedang puberitas. Itu menakutkan bukan. "Aku tunggu di bawah dan nggak pake lama," ujarnya sambil berlalu keluar dari kamar meninggalkan Lova. Seperginya Mirza, Lova langsung melompat keatas tempat tidur ... berteriak-teriak histeris sambil meninju guling dan juga bantal yang ada di kasur. Bayangkan, kalau benda-benda ini adalah wajah cowok menyebalkan itu. Dia benar-benar sudah membuat hidupnya melenceng dari alur yang sudah ia pikirkan sebelumnya. Kenapa harus ada Mirza dikehidupannya ... kenapa? Setelah memasukkan semua barang-barangnya ke dalam koper, ia kembali turun. Menghampiri Mirza yang saat itu menunggunya di ruang tamu. "Aku udah siap," ujarnya dengan malas. Mirza tak membalas apapun juga, hanya menatap dua koper yang berada di pegangan Lova, kemudian berjalan ke arah luar. "Ish ... dia cowok atau bukan, sih? Gue udah nyeret-nyeret ini koper dari lantai atas sampe bawah, apa nggak niat mau bantuin masukin ke dalam mobil gitu?" "Loh, Non mau kemana lagi?" tanya Bibik yang menghampirinya. Dari tadi ia mengharapkan seseorang datang membantunya yang seolah diserang oleh Mirza, tapi Bibik malah baru datang di saat ceritanya sudah berada di ambang ending. "Telat," balasnya sedikit memberengut. "Telat? Jangan bilang kalau Non Lova telat datang bulan? NOn!!! Bibik harus bilang apa nanti sama Tuan." Bibik langsung heboh dan histeris mendengar kata 'telat' yang diucapkan Lova. "Telat bantuannya maksudku, Bik. Yakali aku telat datang bulan, masih virgin, nih," ocehnya. Cuman bibirnya sekarang yang udah enggak virgin lagi. Kevirginan bibirnya sudah direnggut oleh Mirza. Duh, malah keinget lagi. Seolah-olah itu adegan m***m udah nempel di otaknya.  "Yamaap, Non," balasnya tak enak. "Bibik nggak tahu, ada penyusup masuk ke dalam rumah?" "Siapa?" "Itu," tunjuk Lova kearah Mirza yang sudah keluar terlebih dahulu. "Itu, kan, Den Mirza, Non ... bukan penyusup. Tuan udah ngasih list nama-nama orang yang boleh masuk ke dalam rumah sama Bibik. Termasuk Den Mirza," terang Bibik yang sontak membuat Lova melongo. "Hah?" "Nggak mungkin dong, Bibik ngelarang calon suami Non Lova datang ke sini?" "What?! Coba Bibik ulangi lagi yang barusan? Astaga! Sepertinya pendengaranku sedang bermasalah karena lupa ngebersihin," ungkapnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Den Mirza itu calon suaminya Non Lova," ulang Bibik. Lova langsung terkekeh geli mendengarnya. Lelucon macam apa ini? perutnya seakan digelitik dari dalam. "Udah, Bik ... bercandanya sangat lucu. Perutku sakit, tahu, nggak," ujarnya sambil tertawa. Bibik yang merasa perkataannya barusan sudah seserius mungkin, tapi majikannya malah menganggap ini hanya lelucon. "Sekarang mending Bibik bantuin bawain koperku ke mobil. Jangan sampe itu makhluk datang dan menyeretku," gerutunya sambil menarik satu koper dan satu koper lagi dibawa oleh Bibik. Sampai di luar, lebih tepatnya saat ia hendak memasukkan koper ke mobil, Mirza menghentikan niatnya itu. Sambil berdecak, ia arahkan pandangan pada sosok yang sedang menatapnya horor. "Ada apalagi, sih, Pak?" tanya Lova. "Eh, maksudku, Kak," ulangnya sambil meralat panggilan yang ia gunakan. Nyaris saja macan yang dihadapannya ini kembali mengamuk. "Ke dalam mobilku," suruh Mirza. "Enggak mau ... aku pake mobilku aja," tolak Lova. "Ini bukan laranganku, tapi papa kamu sendiri yang bilang begitu," ujar Mirza sambil menunjukkan layar ponselnya tepat dihadapan mata Lova. "Lihat, kan, salah satu larangan buat kamu. Dilarang mengemudi. Itu artinya kamu nggak boleh bawa mobil. Paham?" Napasnya terasa sesak dan seolah akan berhenti. Apa ia akan mati? Bukan ... ini nyesak karena kesal, marah dan geram campur aduk. Kenapa semuanya jadi begini? "Itu salah satunya, Lov ... karena masih banyak peraturan yang wajib kamu patuhi. Kalau tidak ..." "Kalau nggak ingat dosa, dan rasa sakitnya ... aku akan milih bunuh diri aja," umpatnya menyela perkataan Mirza. Kemudian kembali menarik kopernya menuju mobil milik Mirza yang sedang terparkir. Bibik yang membawa satu koper juga mengikuti langkahnya. Berharap papanya bisa secepatnya kembali agar kehidupannya normal. Jangan ada lagi penyiksaan yang diberikan Mirza padanya. Kalau enggak ... bukan tidak mungkin kalau akhirnya ia malah lebih memilih untuk bunuh diri saja.                                                                      ***** Sampai di depan pintu masuk rumah Mirza saja, ia langsung disambut hangat oleh Diana. Jujur saja, melihat sikap wanita paruh baya ini padanya, ia seolah merasakan adanya sosok Ibu hadir di sisinya. Yap, maklum saja ... bahkan ia tak pernah merasakan itu sebelumnya. Saat sentuhan itu hadir, tentu saja ia merasa nyaman. "Akhirnya kamu balik ke sini, Sayang," ujar Diana mengungkapkan rasa senangnya. "Iya, Tante ... maaf sudah membuat semua orang jadi repot," balas Lova tak enak. "Ya ... aku yang paling direpotkan di sini," komentar Mirza sambil berlalu melangkah menaiki anak tangga menuju lantai atas. Ingin mengumpat dengan sikap gurunya itu, tapi tak enak karena ada Diana di sini. Awas saja nanti kalau coba mencari masalah dengannya. Sepertinya hari-harinya akan terasa sangat panjang di sini. Semoga saja batinnya kuat ... apalagi jika berhadapan dengan Mirza. Hwaiting Lova!!!!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN