BAB : 5

1495 Kata
Tahu tidak, apa yang terjadi? Mirza terus mengiriminya pesan agar kembali balik ke rumah orang tuanya. Bahkan Lova tak berniat untuk membalas pesan itu satupun. Terserah, dia mau berkata atau berpikiran apapun itu. Mending ia di rumahnya sendiri, bisa bebas mau ngapain tanpa ada yang merecoki. Pulang sekolah, baru saja tangannya menyentuh pintu mobil, tiba-tiba seseorang menahannya. Tentu saja ia kaget. Kini pandangannya berfokus pada sosok cowok yang tengah berdiri di hadapannya. "Apalagi, sih, Pak?" tanya Lova kesal. "Nggak cukup bikin hari saya jadi kacau?" "Astaga! Harusnya saya yang mengatakan hal itu, bukan kamu, Lova. Karena gara-gara kamu, saya malah jadi sasaran omelan orang tua saya!" Lova bersidekap d**a sambil tersenyum sinis, menatap kearah Mirza. Jujur, ya, sebenarnya ia takut, tapi berusaha untuk terlihat berani. Ah, jangan sampai lah nyalinya tiba-tiba ciut di depan cowok ini. "Bapak Mirza yang terhormat. Kalau bukan karena pemaksaan dari Papa saya dan juga orang tua Bapak, saya juga nggak akan mau dititipin kayak kucing gitu," terang Lova. Tak menyangka sebenarnya, kalau muridnya ini bisa bicara seberani ini padanya. Kesal ... bahkan sangat kesal, tapi itu harus ia tahan. Jangan ketika sampai di rumah, ia kembali lagi menerima ocehan mamanya, karena tak berhasil membawa Lova kembali. Ini terpaksa mengalah, loh, ya ... terpaksa. Mirza tersenyum. "Oke ... dengan terpaksa, saya minta maaf," ucapnya. "Atas apa? Memangnya Bapak punya salah sama saya? Aneh," balas Lova acuh. "Lova ..." "Maaf, Pak, tapi saya nggak mau balik lagi. Saya tahu, kok, Bapak lakuin ini juga karena nggak mau kena omelan Tante Diana. Ya, kan?" "Iya, itu benar," jawabnya langsung. Sekalian, biar tahu. Lova mendorong Mirza agar menjauh darinya. "Saya nggak mau," ujarnya sebelum akhirnya segera masuk ke dalam mobil. Membuat rasa kesalnya meningkat saja. "Biar sekalian diomelin tiap hari ... itu derita Bapak," tambahnya meledek. "Astaga! Baru kali ini gue diejek sama gadis. Bukan, lebih tepatnya seorang bocah," gumam Mirza. Kemudian senyuman sinis tiba-tiba mengembang di bibirnya, seolah sedang memikirkan sesuatu. "Nggak bisa bawa kamu balik dengan cara biasa, mungkin dengan cara luar biasa akan lebih baik," pikirnya. Dengan langkah cepat ia segera menuju mobilnya yang terparkir di parkiran khusus kendaraan para guru. Jangan pulang ke rumah sebelum membawa Lova. Semua fasilitas, ditarik paksa. Nggak mau, kan, jadi anak durhaka karena melawan orang tua. Itulah sederetan ancaman dan ocehan mamanya yang terus menggerayangi pemikirannya dari pagi hari. Masalah fasilitas, sih, nggak masalah, karena saat inipun dirinya sudah memiliki apapun tanpa kucuran dana dari orang tuanya. Yang jadi masalah adalah ancaman yang terakhir. Sebagai seorang anak, tentu saja ia tak ingin membuat wanita yang melahirkannya itu kecewa. Bahkan, tak akan ia biarkan sedih sedikitpun.                                                                      ***** Sampai di rumah, ia menuju ke arah dapur. Mengambil segelas air putih dan meneguknya hingga habis satu gelas penuh. "Non, mau bibik siapin makan siang?" tanya Bibik yang menghampiri Lova. "Ntar aja, Bik ... tadi pas jam istirahat aku udah makan, kok," jelasnya. "Hmm ... Bik, boleh, nggak aku ..." Ia menghampiri wanita paruh baya itu sambil senyum-senyum nggak jelas. Ayolah ... saking seringnya ia gunakan ekspressi wajah seperti ini, Bibik pasti akan tahu dengan pasti apa maksud sikapnya. "Non ... Tuan lagi nggak ada di rumah, loh ... nggak mau, kan, kalau nanti Bibik kena omel gara-gara ngebiarin Non Lova pergi?" "Bentar doang, boleh, ya?" "Nggak boleh, Non," jawab Bibik tetap pada keputusannya. "Janji deh, maksimal jam 12 malam aku juga udah pulang, kok," harapnya saat permintaannya dikabulkan. "Ya ampun, Non ... jangan bikin Bibik dipecat sama Tuan. Kalau ada apa-apa terjadi sama, Non Lova gimana? Aduh, Bibik nggak bisa ngebayangin gimana jadinya," ungkap Bibik seolah sedang membayangkan sesuatu hal yang buruk. Ya ... setidaknya ia akan langsung di depak dari rumah ini oleh majikannya. "Bibik pelit," umpatnya kesal, kemudian melangkah pergi menuju kamarnya. Padahal ia sudah janji akan datang ke acara makan malam yang diadakan salah satu teman sekelasnya di sebuah restoran. Bagaimana mungkin ia tak hadir. Bisa-bisa Vianka si cewek bar-bar itu malah mencapnya sebagai anak papa, karena tak dibiarkan bebas. Sampai di kamar, saat mengganti seragam sekolah, ponselnya berdering. Ternyata papanya yang menghubungi. Setidaknya ia harus jujur, kalau saat ini dirinya ada di rumah, bukan bersama keluarga Mirza. "Hallo, Pa," jawabnya sambil sebelah tangannya masih lanjut menanggalkan seragam sekolah, hingga meninggalkan tanktop putih. "Kamu dimana?!" Ia sedikit kaget saat mendengar pertanyaan itu dari papanya. Ya, pasti saat ini beliau sudah tahu kalau dirinya pergi dari rumah Gilbert dan Diana. "A-aku di rumah, Pa," jawabnya. "Lova, Papa sudah menitipkan kamu pada Gilbert dan Diana, lalu kenapa di saat Papa udah pergi, kamu malah pergi dari rumah mereka? Berniat membuat Papa khawatir?!" "Aku nggak suka di sana, Pa," jawabnya. "Apa mereka kurang baik padamu?" "Mereka berdua baik, Pa ... cuman anaknya aja yang nggak baik," ungkapnya. "Mirza?" "Papa tahu?" Ia tersentak kaget. Apa papanya sudah tahu kalau ternyata Mirza adalah gurunya? Lalu, kenapa juga dirinya harus dititipin di sana. "Nggak mungkin Mirza bersikap seperti itu, lagian dia juga guru kamu, kan?" "Dia nggak suka aku di sana," jawabnya seadanya. "Kamu bilang dia nggak suka kamu di sana, tapi kenapa barusan dia telepon Papa dan bilang kamu yang memang sengaja kabur? Nggak berniat membohongi Papa, kan, Va?" "What?!" Apa-apaan Mirza, malah membuat namanya buruk di depan papanya. Kabur? Seenaknya saja dia mengatakan seperti itu. Apa cowok itu lupa, kalau secara langsung sudah mengusirnya semalam. "Tapi, Pa ..." "Balik ke sana, atau Papa akan marah. Nggak akan ada transferan uang jajan yang akan masuk ke dalam rekening kamu. Paham?!" "Papa ..." Rengekannya sepertinya tak mempan kali ini. Belum selesai ia merengek pun, percakapan sudah di putuskan langsung oleh papanya. Ia melempar ponselnya sembarangan, kemudian menghempaskan tubuhnya di kasur. Kemudian berteriak-teriak karena kesal. Gregetan banget rasanya. Tak apa kalau papanya mengoceh dari jauh, tapi kalau uang jajannya pake di stop, gimana ia bisa hidup di sini. Tapi kalau balik ke rumah Gilbert dan Diana, di sana ia malah harus menghadapi Mirza. Aduh ... ini pilihan yang sulit. Matanya terpejam, sambil memikirkan jalur apa yang harus ditempuh. Berniat bangun, tapi apa yang terjadi ... di saat hendak bangkit, tiba-tiba seseorang yang entah datang dari mana datangnya langsung menindihnya. Sontak, itu membuatnya kaget. Kedua pandangan saling beradu. "Jangan bilang kalau kamu terpesona olehku, Lova," ujarnya. Iya, jujur saja pandangan bola mata itu memang membuatnya terpesona. Dingin, tapi membuatnya terpukau. Tapi mendengar perkataan barusan, lamunan dan pikirannya segera sadar. Dia, yang kini ada dihadapannya, menindihnya dengan seenak otaknya, dan mencengkeram kedua lengannya seolah tak berniat melepaskan adalah ... Mirza. "Lepasin aku!" Lova berusaha memberontak agar cengkeraman di tangannya segera dilepaskan. Tapi apa? itu tak berhasil sama sekali. "Nggak akan, sebelum kamu kembali," balasnya acuh. Ia terus berontak. Setidaknya posisi Mirza jangan menindihnya seperti ini. "Bapak apa-apaan, sih?! Benar-benar nggak ada sopan-santunnya sama sekali. Ngapain masuk ke rumah saya dan dengan seenaknya masuk kamar saya tanpa ijin?" Seolah tak mau ambil pusing dengan ocehan Lova, ia masih bertahan di posisinya. Jujur, sih ... sebagai seorang cowok normal, bertindak seperti ini bisa saja berakibat fatal. Yap, karena tak bisa menahan jika malah tergoda. Apalagi Lova hanya mengenakan tanktop yang jelas-jelas menampakkan lekuk badannya. Untuk kategori fisik, Lova sudah masuk level sempurna. Tubuhnya tinggi, kulitnya putih bersih, rambutnya hitam, lurus sepinggang dan bibirnya ... haruskah ia katakan itu? Menggoda. Satu kata, tapi mencakup semuanya. Sayangnya hanya satu, dia begitu cerewet. Seolah tak ada jeda untuk berhenti bicara. "Lalu apa? Mau mengatakan aku cowok m***m lagi?" tanya Mirza tersenyum di sudut bibirnya. "Iya!" sahut Lova langsung. "Dasar! Guru m***m!" Senyuman sinis terukir di bibirnya menanggapi perkataan Lova. "Bagiku, yang kamu katakan barusan itu adalah sebuah tantangan. Jangan salahkan aku jika apa yang kamu katakan itu, terkabul," ungkapnya. "Mengancamku?" "Akan jadi kenyataan kalau kamu nggak menuruti keinginanku," jelasnya seolah semakin menyudutkan gadis itu. "Apa? Memintaku untuk kembali? Nggak akan," jelasnya. "Bagiku, keinginan orang tuaku adalah hal yang paling utama. Gilanya mereka malah menginginkanmu kembali. Aku harus apa?" "Bisa tidak, jangan bersikap seperti ini padaku?" Ia benar-benar tak nayaman dengan posisi seperti ini. Lagi, Mirza tersenyum. Tapi sesaat kemudian perlahan ia melepaskan sebelah tangannya yang menggenggam tangan Lova. Kemudian meletakkan sesuatu di samping keduanya. "Kamu lihat ini, kan?" tanya Mirza, langsung membuat pandangan Lova yang awalnya mengarah padanya, kini beralih mengikuti arahannya. "Ini adalah senjata yang ampuh untuk membuatmu mengikuti arahanku, Lova," tambahnya. Apa maksud perkataan Mirza? Otaknya terus mencerna maksud semua ini. Matanya terus berfokus pada ponsel dengan posisi kamera dalam keadaan standby. Waktu potretnya terus berjalan, masih berpikir, apa yang akan terjadi jika waktu mencapai angka satu. "Ini buat ap ..." Perkataannya terhenti seketika, saat merasakan sesuatu tiba-tiba menempel di bibirnya. Kaget, shock dan badannya terasa kaku tak bisa bergerak, mendapati apa yang kini ada di depan matanya. Bahkan kini ia merasa sebuah sengatan listrik menjalar, memasuki setiap aliran darahnya. Tapi, seolah semuanya berfokus ke jantungnya, membuat objek itu semakin berdetak tak karuan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN