"Dipta, ini tidak lucu! Jangan bercanda!"
Dipta menyimpan sendoknya. "Aku tidak bercanda, dia isteriku," ucapnya masih datar namun penuh penekanan.
Metha menghampiri Dipta dengan masih tak percaya. "Maksud kamu apa sih? Kamu enggak bisa dong menikahi wanita lain begitu saja."
Dipta berdiri dan menatap Metha tajam. "Kamu pikir kamu siapa bisa ngatur-ngatur hidupku, Metha?"
Metha memalingkan wajahnya dengan kesal. "Hah! Kamu bertanya siapa aku? Kamu anggap apa aku selama ini, Dipta? Aku kekasihmu, calon mamahnya Sava. Kenapa kamu malah menikah dengan wanita yang tidak kamu kenal asal usulnya?"
Andin menoleh pada Sava. "Sayang, apa kamu masih mau makan? Kita makan di sekolah saja bisa? Kita sebaiknya berangkat ya."
Andin segera membawa Sava keluar agar tidak melihat pertengkaran Dipta dengan Metha. Andin sungguh menyayangkan jika mereka melakukan pertengkaran itu di depan Sava. Padahal, mereka seharusnya tahu jika anak seusia Sava sangat rentan dalam hal seperti itu.
"Astaghfirullah." Andin menghembuskan napasnya setelah berada jauh dari Dipta dan Metha.
"Bu Andin, ada apa?" Sarah menoleh pada arah di mana Dipta dan Metha tengah berdebat. "Ya Allah, untung sudah ada Bu Andin. Jadi Non Sava bisa segera terhindar dari pertengkaran mereka."
Andin sedikit mengerutkan keningnya. "Apa mereka sering bertengkar seperti itu, Bi?"
Sarah tersenyum tipis. "Pak Dipta begitu menyayangi Non Sava. Non Sava tidak suka pada wanita itu karena terlalu banyak mengaturnya, he he."
Sarah mencuil dagu Sava. "Tapi Bibi pun bingung kenapa sama Bu Andin begitu nurut?"
Sava mengerucutkan bibirnya. "Mamah, aku juga sayang sama Papah. Tante Metha itu jahat. Aku pernah lihat dia sama om-om, Mah," ucapnya, membuat Andin terkejut dan melirik pada Sarah. "Mamah mau kan sayang sama papah aku juga?"
Jantung Andin kembali berdetak kencang mendengar permintaan dari Sava. Andin pun sedikit khawatir jika lama-lama dirinya diharuskan mengurusi Dipta dengan dalih atas permintaan Sava. Sarah sendiri hanya menatap Andin yang kini hanya terdiam dilema.
"Insya Allah, Mama pasti sayang sama papah-nya Sava. Bi Sarah juga kan sayang papah Sava, iyakan, Bi? Heu." Andin berusaha untuk tidak terbawa perasaan pada ucapan Sava. "Bi, kita berangkat sama siapa?"
"Mungkin bareng Pak Uya saja, Bu."
"Baiklah, kita berangkat sayang." Andin mengapit tangan Sava menuju ke mobil.
Sarah memperkenalkan Andin pada supir pribadi yang biasa mengantar Sarah dan Sava sekolah jika Dipta tidak bisa mengantar. "Ini istri Pak Dipta yang saya ceritakan, Pak Uya. Namanya Bu Andini."
"Oh, iya, Bi. Alhamdulillah Pak Dipta sudah punya istri lagi. Non Sava juga terlihat ceria banget. Bu, saya hanya bisa berdoa semoga jodoh kalian langgeng," ucap Uya, "maaf, Sarah sudah menceritakan semuanya pada saya."
"Assalamualaikum, Pak Uya," sapa Andin mengatupkan tangannya. "Enggak apa-apa, saya pun senang karena kalian bisa mengenal saya dengan baik."
"Waalaikum salam, Bu." Pria yang di panggil Uya itu merengkuhkan badannya pada Andin.
"Eh, eh! Jangan begitu Pak, ya Allah ... enggak usah seperti itu, Pak. Biasa aja, Bapak'kan tahu saya menikah dengan Pak Dipta itu karena apa."
Uya dan Sarah hanya tersenyum tipis mengetahui sang majikan baru mereka yang tidak angkuh. Walaupun Uya tahu Andin hanya isteri Dipta karena Sava bukan karena Dipta mencintainya karena Sarah sudah menceritakan semuanya pada Uya. Bukan tanpa sebab Sarah juga menceritakan tentang pernikahan Andin dengan Dipta. Sarah dan Uya bisa dikatakan adalah abdi setia dari keluarga Saksena sejak orang tua Dipta masih ada.
"Pak Uya, yuk berangkat! Aku enggak sabar pengen cerita sama temen-temen aku kalau aku sudah punya mamah," ujar Sava dengan senyum cerianya.
"Siap, Non, he he."
"Bi, kami berangkat. Assalamualaikum."
"Waaalaikum salam." Sarah pun tersenyum bahagia menatap kepergian Andin dan Sava. Lalu Sarah kembali menoleh pada arah Dipta yang kini menuju ke arahnya. "Pak Dipta."
"Apa mereka sudah berangkat?"
"Sudah, Pak."
"Dipta, tunggu! Aku belum selesai bicara!"
Dipta tak menghiraukan teriakan dari Metha. Dipta langsung memasuki mobilnya dan pergi meninggalkan Metha yang masih berteriak-teriak. Metha tidak terima Dipta menikahi Andin walau Dipta mengatakan mereka menikah karena keinginan Sava.
Metha menatap Sarah dengan tidak suka. "Ini semua pasti karena kamu juga, kan? Dasar pembantu tidak tahu diri!" umpatnya, "kamu lihat saja nanti, aku akan memecatmu jika aku sudah berhasil menikah dengan Dipta!"
Jumi hanya menghembuskan nafasnya menatap kepergian Metha. "Sesungguhnya Tuhan Maha Tahu isi hati Anda, Nyonya," ujar Sarah, lalu beranjak memasuki rumah. "Pantas Non Sava tidak bisa suka padanya.
***
Sava turun dari mobilnya. "Mah, nanti bisa jemput aku lagi'kan?"
"Insya Allah, ya. Sekarang Sava masuklah ke kelas!"
Setelah Sava menghilang dari pandangan mata Andin, Andin pun kembali ke dalam mobil. "Pak, kita pulang lagi kah setelah ini?"
"Apa Bu Andin ada perlu ke mana dulu, gitu?"
Andin terdiam sejenak. "Saya pengen ke rumah sakit sih. Tapi saya belum bilang Pak Dipta. Takut dia marah nanti, Pak."
"Ya sudah, mending kita pulang saja dulu, Bu."
"Andin, Pak Uya, ya ampuun."
"He he, maaf Bu, saya enggak bisa. Apapun yang terjadi Anda tetap istri dari Tuan kami, Bu."
Andin pun menghembuskan napasnya. "Terserah Bapak saja deh, mungkin saya nikmati saja dulu ya dipanggil Ibu majikan, nanti kalau Sava sudah bosen juga kan enggak lagi, he he."
Uya hanya menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Andin yang menurutnya sedikit absurd. Uya juga merasa lucu karena ternyata di balik kedewasaan Andin, masih ada sifat konyol yang masih terlukis di benaknya. Namun, walaupun begitu, Uya yakin jika Andin memang gadis yang baik berbeda dengan wanita Dipta yang lainnya.
"Bi, apa Pak Dipta juga pergi?"
"Iya, Bu. Apa ada sesuatu?"
Andin menggigit bibir bawahnya. "Aku pengen ke rumah sakit, Bi. Tapi aku belum izin padanya. Gimana ya? Aku juga enggak tahu nomer handphonenya."
Sarah terdiam sejenak. "Apa Bu Andin masih diizinkan untuk ngajar?"
"Untuk ngajar, iya. Besok saya baru masuk, Bi. Tapi untuk ke rumah sakit dia tidak bilang. Gimana ya, Bi?"
"Biar saya yang telpon Pak Dipta." Sarah mengambil handphonenya dan segera menghubungi Dipta. "Ini, Bu." Sarah memberikan handphonenya pada Andin setelah Dipta mengangkatnya.
{ "Ada apa, Bi?" }
"Assalamualaikum, Pak, ini saya Andin."
{"Andin? Ya ada apa?" }
"Eh, itu Pak. Apa saya boleh ke rumah sakit jenguk Mba Freya?"
{"Ck, apa kamu menghubungiku hanya karena ingin bertanya tentang hal itu? Kamu pikir urusanmu begitu penting? Tinggal pergi saja kenapa repot sekali?" }
"Bukan begitu, Pak. Saya takut Anda tidak mengizinkan."
{"Kamu buang-buang waktu saya saja!" }
Tuuut! Tuuut! Tuut!
"Astaghfirullah, huuh! Ini di telpon Andin, bagaimana jika bicara langsung dengan orangnya?" batin Andin mengusap dadanya karena memang dadanya selalu berdetak kencang ketika berurusan dengan Dipta. "Ini, Bi. Terima kasih. Aku siap-siap dulu."
"Bu Andin, sabar ya."
Andin tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Bi. Tenang saja, hati ini saya ini seperti baja, kok, he he."
Sarah ikut tertawa renyah mendengar ucapan unik Andin. "Bu Andin ada-ada saja, he he."
"Padahal, aslinya ini jantung mau copot ya Allah. Itu di telepon, bagaimana kalau di depan orangnya." Andin memejamkan matanya pasrah, Andin pasrah, toh bagaimana pun sikap Dipta nanti, Andin tetap harus menghadapinya.