Chapter 38

1090 Kata
Grace sedang dalam perjalanan menuju hotelnya. Pertemuan singkatnya tadi dengan Leo masih berputar di otak nya. Grace sangat merindukan pria itu. "bagaimana kau bisa mengenal Leo?" tanya Grace tiba-tiba.  Edward menoleh. "dia bekerja untukku." ujar Edward. "bekerja apa?" "Sebagai chef di mansionku dan restoranku." "tapi mengapa dia ada disini?" tanya Grace lagi.  "dia sedang pindah rumah. Jadi dia mengambil barang-barang dirumah lamanya untuk dipindahkan ke mansionku."  Grace hanya mengangguk.  "Boleh ku minta kontaknya?" Tanya Grace. Edward menoleh dan seketika menatap tajam. "Untuk apa? Kau seharusnya meminta kontakku saja . Aku bahkan tidak punya nomor ponselmu." "Ya sudah. Aku akan mencatat nomor ponselmu, setelah itu berikan aku nomor ponsel Leo." Edward tersenyum. "Tapi untuk apa kau meminta nomor ponsel Leo.?" "Aku ingin memesan beberapa makanan. Dia chef kan? Jadi aku penasaran sehebat apa dia sampai-sampai bisa bekerja di mansionmu."  "baiklah."                                                                  ---- Grace menatap dengan ragu kearah ponselnya. Ia sudah mendapatkan nomor ponsel Leo. Ia hanya tinggal mengirim pesan untuk mengajak bertemu, atau langsung menelponnya. "Ayo Grace. Semakin cepat, semakin baik. Kau merindukannya kan." ujar Grace. Grace hendak menekan tombol call jika saja sang Ayah, Federico tidak datang menghampirinya ke kamar. "Kau akan segera kembali ke New York. Ayo bereskan barang-barangmu." Grace mengangguk lalu berucap. "Baik Ayah." "Kau akan kembali bersama Edward,Alex, dan satu lagi orang yang bekerja pada Ludwig. Entah siapa namanya."  Grace membulatkan matanya.  "Apa Yah? Siapa? Leo?" tanya Grace cepat. "Ahh iya benar. Leo." ujar Federico. Grace merasa cemas bercampur bahagia. Ia bisa bertemu dengan Leo lagi. Tapi ada Edward dan Alex juga kali ini.                                                             ---- Setelah berjam-jam hanya mematung di dalam jet pribadi milik Edward. Dan hanya bisa menatap Leo secara sembunyi-sembunyi. Kini Grace telah tiba di New York.  Sesudah Edward mengantarnya dan ia tiba di rumah. Ia langsung berusaha menelpon Leo. Ia ingat, ini adalah hari terakhir untuk memperjuangkan masa depannya. Sayangnya, pria itu masih belum mengangkat telepon dari Grace. Setelah Grace menelponnya sebanyak tujuh kali. Grace membanting ponselnya di atas kasur. Ia sangat gelisah. "Leo, kenapa kau tidak mengangkat teleponnya" ujar Grace sambil menggigit kuku jari tangannya. Ia mulai berjalan bolak-balik di depan tempat tidurnya. Seperti orang yang kebingungan. Semenit kemudian, ponselnya berbunyi. Awalnya ia mengira itu Leo yang menelpon balik, tetapi justru ayahnya. "Halo.." "Ini sudah hari terakhir, Grace. Tapi kau belum membawa siapapun untuk kujadikan calon mantu. Jadi, kau menerima perjodohan ini." "Tunggu! Ayah ini masih pagi hari. Dan aku akan membawa seseorang untuk kunikahi." "waktumu habis, Grace." "tidak ayah. Ini masih pagi dan belum genap tiga hari waktu yang kuhabiskan. Ayolah Ayah..ku komohon.." Terdengar helaan napas di seberang sana.  "kau hanya memiliki waktu hingga pukul tiga sore."  Grace segera melirik jam tangannya. Baru pukul delapan pagi. Ia masih memiliki cukup waktu. Ia tidak akan bekerja hari ini. Dan ia akan menemui Leo. "baik. Aku pasti akan menikahi pria pilihanku."  "Jika ayah menyetujuinya!" Sambungan telepon terputus.  Grace semakin resah. Ia harus segera menemui Leo untuk bicara dengannya. Ia kembali mencoba menelpon Leo. "Halo." suara bariton di seberang sana membuat Grace mematung seketika. Ia begitu merindukan suara itu. Suara yang kini telah berubah menjadi suara berat-berat seksi , berbeda dengan sepuluh tahun lalu. "Siapa?" Grace berusaha mengerjapkan matanya. Begitu banyak yang ingin Grace sampaikan melalui telepon. Tetapi semua kosakata yang telah ia susun, mendadak menghilang. "Jika tidak penting, akan kumatikan." "Tunggu." akhirnya Grace mengeluarkan suara.  "Apa ini, Leo? Leonardo Pearson?" tanyanya. "Ya. Ini aku. Kau siapa?"  Grace berusaha menetralkan detak jantungnya. "Ini aku, aku. Aku Grace."  "Gracie Dominica?" Grace menganggukkan kepalanya. 'Bodoh, dia tidak akan melihatnya' batin Grace. "Iya, ini aku." "Ada apa Grace?" suaranya terkesan datar. Seperti ada bahagianya sedikitpun ketika Grace menelpon. Berbeda jauh dengan Grace yang mendadak gugup dan tidak tahu harus bicara apa. "Aku ingin bertemu denganmu. Bisa kita bertemu disuatu tempat?"  "Bertemu? Bukankah kita sudah bertemu tadi di jet? Di restoran juga sudah, kan?"  "em. Ada. Begini, ehm. Ada sesuatu yang perlu aku bicarakan." "Tentang apa, Grace? Bicarakan saja sekarang melalui telepon."  "Kita harus bertemu. Aku ingin membicarakan tentang masa lalu. Em, anggap saja kita reuni." "Sebenarnya aku ingin. Tapi aku sedang sibuk sekarang, Grace. Mungkin kita bisa bertemu lain waktu" Tidak. Grace harus bertemu dengan Leo bagaimanapun caranya. "Kumohon hari ini saja. Jam berapa kau bisa? Jam sembilan, sepuluh, sebelas. Kumohon Leo. Hari ini saja."  Tidak terdengar suara di seberang sana. Grace sudah hampir menangis. Ia melihat ke ponselnya, sambungan masih terhubung. "Leo, kumohon.." lirihnya.. "Baik lah. Mungkin sekitar jam dua siang akan aku usahakan. Tapi sepertinya aku akan datang sedikit terlambat."  Grace bernapas lega. "Dimana kita akan bertemu?" tanya nya. "Aku akan mengirimkan alamatnya nanti. Terimakasih, Leo." "Baiklah. Aku harus menutup teleponnya, Grace. Aku harus melanjutkan pekerjaanku. Aku sangat sibuk." "Baiklah. Sekali lagi terimakasih." "Iya, Grace. Selamat pagi. Sampai bertemu nanti." Sambungan telepon diakhiri.  Grace bernapas lega. Ia hanya perlu merangkai kata kata sekarang. Kata kata yang akan ia ucapkan ketika bertemu Edward. Sembari menunggu pukul dua siang. Ia harus mencari kata kata yang pas. Kalau perlu ia akan mencatatnya. ----- "Kau sepertinya terlihat sangat cemerlang hari ini, Ed. Kau juga kelihatannya sangat bersemangat" ucap Alex. "Tentu saja. Aku akan bertunangan malam ini dengan Grace. Akhirnya wanita arogan itu akan menjadi milikku. Ya meskipun dengan cara seperti ini." ujar Edward tanpa menoleh. Ia masih sibuk membaca laporan. "Bisa kutebak, dia pasti akan menolak mentah-mentah." "Dia tidak akan menolak. Ayahnya sendiri yang menjamin itu padaku." ujar Edward menyeringai. "Baiklah. Jadi bagaimana kabar kebiasaan burukmu? Apa kau akan mengakhirinya setelah menikah?" tanya Alex. "Tentu saja."  "Jika sudah menikah, aku memiliki istri yang cantik dan seksi untuk memuaskanku setiap hari. Lalu untuk apa aku harus mencari w************n jika aku sudah memiliki Grace?" ujar Edward. Alex menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Edward. "Aku tidak percaya playboy sepertimu akan mendapatkan hidayah secepat itu."  Edward terkekeh. Ia menyesap kopinya. Kemudian melanjutkan mengecek berkas yang perlu ia tandatangani. "Kita lihat saja nanti." ucap Edward menantang. "Baguslah, aku senang jika kau benar-benar akan berubah. Aku harap Grace adalah wanita yang baik. Aku tidak ingin kau berakhir seperti saat bersama Viona dulu." Edward menghentikan pergerakan matanya. Hatinya terasa nyeri mendengar Alex menyebutkan nama itu. Nama yang sangat ia benci. Nama yang paling tidak ingin ia dengar. Alex menyebutnya dan membuat emosi Edward naik seketika. Ia berusaha menahan emosinya dengan mengepalkan tangan dan memejamkan matanya. "Jangan menyebut nama wanita itu." ujar Edward datar. Meskipun datar, Alex dapat mendengar nada kemarahan dan kekecewaan disana.  "Dan jangan menyamakan Grace dengan wanita itu. Dia terlalu rendahan untuk disebut wanita. Dan sampai kapanpun ia tidak akan bisa menyamai Grace!"  Alex tersenyum getir. "Baiklah." 'Rupanya kau belum juga bisa melupakannya, Ed.'  batin Alex.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN