Chapter 29

1177 Kata
"Tidak perlu bertele-tele. Aku ingin kau segera mengatakannya." ujar Grace ketika Edward menarik kursi, dan mempersilahkan Grace untuk duduk. "Sabarlah , Kita makan dulu. Baru nanti kuceritakan." ujar Edward. Suasananya memang romantis. Namun berbanding terbalik dengan suasana hati Grace yang penasaran dan sedikit berdebar. Dengan terburu-buru Grace menikmati makan malamnya. Ia tidak peduli meskipun Edward menatap heran kearahnya. "Kau, kelaparan?" tanya Edward heran. "Biar cepat" jawab Grace singkat lalu ia melanjutkan acara makannya yang terburu-buru.  Edward meletakkan sendoknya. "Santai saja, aku pasti akan menceritakannya." "Tapi aku sudah sangat penasaran." ucap Grace. Edward menatap Grace sejenak. "Baiklah. Akan kuceritakan sembari kita makan. Agar kau bisa lebih menikmati makananmu." ucap Edward. Grace tersenyum.  "Jadi?" Grace menaikkan satu alisnya. Edward mengambil kembali sendoknya kemudian melanjutkan makan, sementara Grace menanti kelanjutan ucapan Edward. "Daddyku dulu memiliki orang kepercayaan. Namanya Philip."  "Aku ingin tahu tentang Alex Ed. Bukan ajudan Daddymu" protes Grace. "Iya aku tau. Ini aku sedang menceritakannya sayang" ucap Edward.  Grace langsung bungkam seketika. "Ehm." dia berdehem untuk menetralkan detak jantungnya. "baiklah, lanjutkan." "Philip dan istrinya tinggal bersama Daddy dan Mommyku karena mereka memang sangat baik dan setia. Mereka memiliki seorang putra. Setiap hari Philip menghabiskan waktunya untuk menemani Daddyku dan melaksanakan segala tugas yang diperintahkan . Sedangkan istrinya selalu membantu Mommyku dalam hal apapun. Mereka sangat dekat seperti seorang sahabat. Mereka lebih pantas disebut bersaudara daripada tuan dengan tangan kanannya. Philip dan istrinya juga sering membantuku dalam hal apapun saat aku kecil. Mereka benar-benar orang yang baik." "Tapi sepertinya aku tidak pernah melihat pria bernama Philip ketika berkunjung kemansionmu?" ujar Grace. "Itu dia. Saat aku berumur 9 tahun. Mereka pergi untuk berlibur bersama putranya.  Saat itu mereka berlibur ke kampung halamannya. Aku ingin sekali ikut , tapi pada saat itu mereka memberitahu jika mereka hanya ingin melakukan perjalanan itu hanya bertiga. Mereka ingin menjadikan liburan saat itu, liburan yang tak akan terlupakan. Aku senang saat tahu mereka akan segera pulang. Itu artinya aku bisa bertemu dengan putra mereka dan bermain bersama.  Namun, takdir berkata lain.Philip dan istrinya meninggal dalam kecelakaan mobil ketika mereka kembali dari kecelakaan itu. Dan hanya putra mereka yang selamat. Aku sangat sedih kala itu, padahal aku ingin segera bertemu dengan Philip dan menunjukkan sesuatu padanya." terlihat raut kesedihan diwajah Edward. Grace yang merasa tersentuh pun dengan segera menggenggam tangan Edward, bermaksud untuk menguatkannya. "putra mereka adalah Alex. Alex sempat koma beberapa hari karena kecelakaan. Dan saat ia sudah sadar, kedua orang tuanya sudah dimakamkan." Edward menggenggam tangan Grace. Rasanya ia ingin menumpahkan segala kerinduannya pada sosok Philip yang menginspirasi. "Saat itu aku masih saja menangis dan mengamuk. Aku masih marah, karena Philip pergi untuk selamanya. Dan Alex tak bangun dari komanya. Setiap hari, aku hanya menatap Alex  dari pintu kaca. Hingga saat dia sadar , aku menceritakan segalanya. Dan hebatnya, dia tidak menangis ataupun tersedih." "Dia justru tersenyum. Dia mengatakan padaku, 'Ayahku sudah bilang dia akan pergi. Aku ingin ikut. Tapi dia bilang, aku masih harus menemukan harta karun itu bersamamu. Karena itu sangat seru, aku jadi ingin menemukannya. Baru aku bisa ikut ayahku' " Edward memejamkan matanya. "Dia adalah pria yang benar-benar kuat. Di usianya yang saat itu masih 10 tahun . Dia bisa setegar itu. Daddy dan Mommyku pun takjub akan ketabahannya. Dan mulai saat itulah, aku belajar mengikhlaskan Philip, meskipun aku tak akan pernah bisa." "Jadi, bisa dibilang. Alex adalah putra dari anak buah Daddymu?" tanya Grace kemudian. "Atas jasa dan kesetiaan Philip. Daddy dan Mommyku mengangkat Alex sebagai anaknya. Namun Alex menolak, dia bilang Daddy dan Mommyku bukan orangtua angkatnya, tapi Alex sudah menganggap seperti ayah dan ibunya. "Itulah sebabnya dia selalu memanggil Mommyku , seolah Mommyku adalah ibunya. Dia sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Dia sangat baik .Dia selalu mengingatkanku saat berbuat salah. Dan-" Edward menggantungkan ucapannya. "Dan?" tanya Grace penasaran. Edward menatap tangan Grace yang menggengam tangannya. Lalu mengelus-elus tangan Grace dengan lembut. "Dan dia juga selalu membantu usahaku untuk mendapatkanmu." ucap Edward dengan tersenyum sambil menatap Grace.  Grace terdiam. Ia kesulitan menelan ludah. Tiba-tiba Edward berdiri. Ia lalu berpindah tempat. Ia kini berlutut dihadapan Grace.  Kembali menggengam tangan Grace. Edward kini mengecup tangan Grace. Gracepun membulatkan matanya. Detak jantungnya semakin tak terkendali. "Aku mencintaimu Grace. Entah sudah berapa kali aku mengucapkannya dan mengungkapkannya secara terang-terangan padamu. Aku tidak akan pernah bosan melakukannya." ujar Edward dengan menatap mata Grace. "Aku.. Aku, aku sudah mempunyai ke-"  "Entah sudah berapa kali kau mengatakan omong kosong itu. Jujurlah saja Grace, jika kau memang ingin menolakku. Tolak aku dengan kejujuran, bukan dengan kebohongan. Bahkan jika bisa, jangan menolakku" ucap Edward. "Tapi aku-" "Aku ingin kau menjadi milikku Grace, aku ingin kau menjadi kekasihku. will you be mine?" tanya Edward. Edward memang menyatakan cintanya. Hanya dengan mengenggam tangan. Tanpa bunga, cincin, atau kejutan. Hanya sebatas kata. Kata yang mampu menggetarkan hati Grace.. "Maaf. Aku tidak bisa menerimamu. Aku mempunyai seseorang yang-" "Berhentilah berbohong." ujar Edward memotong ucapan Grace. "Tapi aku tidak berbohong. Aku benar-benar mem-" Edward membungkam bibir Grace dengan bibirnya. Mencium Grace dengan lembut. Edward ingin gadis itu berhenti membicarakan sesuatu yang menurutnya hanyalah omong kosong.  Ia juga ingin melampiaskan emosinya karena Grace menolaknya, lagi. Grace hanya terdiam, ia tidak berniat membalas ciuman Edward. Hanya Diam-diam menikmatinya. Ciuman Edward terlalu lembut dan memabukkan.                                     ---- Devani duduk sendiri, sembari mengaduk-aduk kopinya. Ia menatap kearah ponsel yang sedari tadi menyala menandakan ada pesan atau panggilan yang masuk. Namun diabaikannya, itu pasti dari Alex.  Devani menghembuskan napas kasar. Ia merasa masalah tiada henti menimpa dirinya. "Hai.. Boleh aku duduk disini." sapa seorang pria. Devani menoleh dan mendapati pria asing yang menyapanya. Namun pria itu sangat tampan. Devani menaikkan satu alisnya. Ia sedikit curiga. Jangan-jangan pria ini memiliki maksud jahat. "Tenang saja, aku tidak berniat jahat. Aku hanya butuh teman mengobrol. Aku melihatmu hanya melamun. Jadi kuputuskan untuk kemari. Jadi, boleh aku duduk disini?" tanya pria itu lagi. Devani berpikir. Dari cara bicaranya, pria ini terlihat asyik. Baiklah, tidak ada salahnya mencari teman baru. Lagipula disini cukup ramai. Jadi jika terjadi apa-apa, Devani hanya tinggal berteriak. "tentu saja" ujar Devani tersenyum. Pria itu kemudian duduk dan memperkenalkan namanya serta mengulurkan tangan sebagai formalitas untuk berkenalan. "Namaku Leonardo Pearson. Kau bisa memanggilku Leo." ujarnya Devani pun membalas uluran tangan Leo. "Panggil saja aku Devani"  "Maaf lancang. Tapi sepertinya kau terlihat sedang banyak masalah. Mungkin jika kau menceritakannya, aku dapat membantu sedikit." ujar pria yang bernama Leo tersebut. Devani hanya tersenyum canggung, tidak mungkin ia menceritakan masalah pribadinya pada orang asing yang baru lima menit lalu ia ketahui namanya. Sedangkan ia saja belum bercerita pada Grace. "ya baiklah. Itu hakmu jika tak ingin bercerita. Apa kau sedang menunggu seseorang?" tanya Leo. "Tidak." sahut Devani singkat. "Kau sepertinya baru pulang dari bekerja. Apa kau seorang wanita karir?" tanya Leo "Apa aku terlihat seperti ibu beranak satu yang duduk sendiri disebuah kafe." balas Devani cepat. Leo terkekeh, ia melanjutkan pertanyaannya. "Boleh kutahu apa pekerjaanmu?"  "Aku bekerja sebagai sekretaris CEO di perusahaan Dominic. Kau tahu kan perusahaan itu?" Leo menggelengkan kepalanya. "Aku baru tiba di New York." Devani mengerutkan keningnya. Tampaknya obrolan ini akan menjadi sedikit menarik. Setidaknya itu yang Devani pikirkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN