"Lepaskan aku!"
Tidak peduli seberapa banyak Ziya memberontak dan berusaha mendorong Reinan. Semua usahanya sia-sia. Karena efek dari minuman yang diberi obat oleh pria ini, tenaga yang bisa dikeluarkan oleh Ziya menjadi semakin lemah.
Rasa panas di sekujur tubuhnya terasa sangat mengganggu. Tiap kali kulitnya bersentuhan dengan Reinan, dia merasakan perasaan haus dan dingin. Dia menginginkannya, lebih banyak.
Reinan menyambar bibir merah Ziya, menciumnya dengan kasar. Awalnya dia sudah bersiap dengan kemungkinan kalau dia akan merasa jijik saat melakukan kontak fisik dengan wanita ini. Tapi nyatanya, ini di luar dugaannya. Rasa jijik akibat OCD akutnya akan wanita tidak muncul, dia beralih mengendus leher Ziya dengan seduktif. Memberikan rangsangan melalui sentuhan intim pada leher yang menjadi titik sensitif wanita di bawahnya.
"Apa kamu menyukainya?" Suaranya serak, bibirnya terulur mengulum daun telinga Ziya hingga membuat wanita itu menggeliat tidak nyaman di bawahnya.
"Aku sama sekali tidak menyukainya, cepat pergi tinggalkan aku!" Ziya masih berusaha keras melawan keinginan primitif taburan telah terpicu obat. Tapi dorongan tangannya malah terasa seolah dia sedang menggoda pria itu.
"Kenapa kamu tidak jujur dengan tubuhmu. Lihatlah, reaksi tubuhmu justru berkata sebaliknya." Reinan menikmati melihat perlawanan sia-sia dari Ziya. Seolah sedang melihat mangsa yang berusaha melawan tanpa ada jalan keluar.
"Kamu, kenapa rasanya semakin panas ..." Ziya tidak tahan lagi, dia berusaha untuk membuka resleting dress miliknya dengan susah payah. Tubuhnya tidak berhenti bergerak gelisah sejak tadi. Persetan dengan tatapan buas Reinan saat ini, akal sehatnya semakin kabur dan dia tidak bisa berpikir jernih.
"Apa kamu sudah tidak sabar lagi?" Reinan berbisik dengan suara dalam di telinga Ziya. Napasnya juga mulai memburu.
Benar, saat ini bukan hanya Ziya yang tengah berjuang untuk melawan keinginan primitif dalam diri mereka. Karena Reinan juga mengalaminya. Dia sebelumnya telah dibius oleh seseorang. Hanya saja kadarnya jauh lebih sedikit dari apa yang dia berikan pada minuman Ziya. Tapi sekarang, dia sudah berada di ambang batas untuk bisa menahannya. Jika dia tidak memiliki ketahanan diri yang cukup tinggi, sudah sejak tadi Reinan telah merobek gaun malam yang dikenakan istrinya.
"Obat sialan ini!" Reinan hanya bisa mengumpat dalam hati, tapi tidak bisa dipungkiri kalau malam ini sosok istrinya terlihat sangat berbeda dan jauh lebih cantik dari biasanya. Bahkan dia sempat berpikir tanpa obat perangsang pun, dia pasti bisa melakukannya dengan suka rela untuk saat ini.
Melihat belahan milik Ziya terpampang dengan jelas di depannya, tatapan mata Reinan yang sebutan obsidian menjadi semakin memanas. Dia melonggarkan dasinya, melepaskannya dengan tidak sabaran. Membuka sebagian kancing kemejanya, hingga menampakkan perut bagian atasnya yang berlekuk. Otot perut penuh dengan hormon kedewasaan yang kokoh dan tampak menggoda.
"Berikan padaku ...," Ziya tahu dia sudah gila, memohon pada pria ini untuk memuaskan keinginan primitif karena rangsangan obat. Tapi dia tidak punya pilihan lain, rasanya sangat tersiksa dan dia tidak bisa berpikir jernih sama sekali. Hanya ada hasrat menggebu dalam matanya.
Ziya menjadi tidak sabaran, dia menarik dengan kencang kemeja Reinan. Hal itu menyebabkan kancing kemeja yang tersisa seketika lepas dan menggelinding tak beraturan di lantai yang dingin.
"Kamu menjadi semakin tidak sabaran. Jangan pernah menyesalinya nanti."
"Karena aku tidak akan pernah menyesali malam ini!" Ada seringai kecil yang muncul di bibir Reinan, dia kembali mencium wanita di bawahnya tanpa ampun. Memberikan banyak tanda di sekujur tubuhnya tanpa terkecuali.
Suara leguhan dan pekikan tertahan terdengar cukup intens dalam kamar luas yang biasanya sepi dan sunyi. Hasrat tertahan yang telah menumpuk akhirnya melebur menjadi satu. Menimbulkan riak yang kian berombak hingga rasa haus dalam diri masing-masing merasa terpuaskan.
Pertemuan pertama mereka, akan menjadi hal paling tidak terlupakan. Saling berbagi hasrat, hingga lupa waktu.
*
Saat membuka mata, tatapan mata Ziya tampak rumit. Dia melihat ke bawah, terdapat tumpukan bajunya di lantai yang berbaur dengan baju milik Reinan. Rasa sakit di sekujur tubuhnya tidak bisa memungkiri apa yang telah terjadi semalam.
Dia memejamkan kedua matanya, menutupi wajahnya dengan sebelah tangannya seolah merutuki sikapnya semalam yang seperti wanita jalang haus belaian. Seumur hidupnya, itu adalah momen paling memalukan dan aib dalam hidupnya. Memohon pada seorang pria yang dia benci untuk melakukan hal-hal tidak beradab seperti itu. Dia rasanya ingin menampar wajahnya sekeras mungkin. Namun menyesal juga tidak ada gunanya, semuanya sudah terlanjur terjadi. Lebih baik segera membersihkan diri dan bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi semalam.
"Kemana kamu akan pergi?"
Ziya yang baru saja menginjakkan kakinya di lantai seketika terhenti. Dia tidak menolehkan kepalanya ke arah Reinan yang masih duduk bersandar pada kepala ranjang.
"Bukan urusanmu!" Sikapnya langsung berubah drastis. Tidak ada sosok lemah dan penuh hasrat seperti semalam. Ziya merasa lelah, dia ingin segera membersihkan tubuhnya yang terasa lengket dan tidak nyaman. Terutama sakit di bagian intinya, dia semakin membenci pria di belakangnya saat ini.
Ziya berdiri, tapi dia seketika harus berpegangan saat rasa sakit yang kuat membuatnya hampir terjatuh. Dalam hati dia hanya bisa merutuki sikap buas Reinan semalam yang membuat tubuhnya terasa remuk redam. Rasanya sangat tidak nyaman dan dia ingin tidur seharian. Tapi dengan keberadaan pria itu di satu ranjang yang sama dengannya, membuat Ziya semakin enggan untuk melanjutkan tidurnya yang kurang. Dia ingin pergi secepatnya dan menjauhi pria ini.
"Butuh bantuan?"
"Tidak perlu merepotkanmu."
Meski Ziya masih agak tertatih saat berjalan, dia tetap memaksakan diri untuk sampai ke kamar mandi. Sama sekali enggan untuk melihat Reinan yang dia sadari tidak berhenti menatap punggungnya. Dia tidak suka diperhatikan dalam kondisi memalukan seperti ini. Seolah tatapan pria itu tengah mengulitinya dan bisa memakannya saat ini juga.
"Berhenti melihatku dengan tatapan buasmu." Ziya akhirnya menolehkan kepalanya ke arah Reinan, sebelum dia menutup pintu kamar mandi dengan suara keras.
Sudut bibir Reinan naik ke atas, dia berjalan ke arah lemari. Mengambil handuk dan melingkarkan di pinggangnya. Berjalan ke samping jendela besar yang terbuka, dia menyelipkan sebatang rokok di antara jari-jari rampingnya, lalu memantiknya.
Kepulan asap rokok mengelilingi sekitarnya, obsidian itu menatap lurus ke depan. "Siapa kamu sebenarnya?"
Sementara di dalam kamar mandi, Ziya berdiri di depan cermin besar yang bisa memantulkan dirinya secara penuh. Ada begitu banyak tanda kemerahan di sana. Tatapan matanya menajam, dia hanya bisa mendecih kesal karenanya. Mengambil sabun cair dan menggosoknya dengan keras. Namun tidak peduli seberapa keras dia menggosoknya, jejak kemerahan tersebut tidak akan menghilang begitu saja. Entah butuh berapa hari untuk bisa menghilangkan jejak ini, Ziya sangat membencinya.
"Maafkan aku Zea. Aku, tidak bermaksud melakukannya." Mendongakkan kepalanya ke atas, tanpa terasa sebulir air mata menetes di antara pipinya. Berpadu dengan guyuran air hangat dari shower yang membasahi seluruh tubuhnya.
Selama hidupnya, ini adalah kali pertama dia dilanda rasa bersalah dan tidak berdaya dalam hidupnya. Kedua tangannya mengepal, berjanji pada dirinya sendiri untuk segera menemuka dalang kematian saudaranya.