Saat ini aku tengah menyantap makan siang di salah satu restoran seafood ditemani oleh Mr. Vagaan. Pria keturunan Rusia yang merupakan kenalan lamaku. Dari pria inilah, aku memperoleh persediaan senjata apiku, juga beberapa bodyguard kubeli darinya. Mr. Vagaan adalah seorang mafia yang cukup berpengaruh di negara ini, ia memiliki banyak bisnis kotor.
Pria itu terus tersenyum sejak ia mendudukan bokongnya di restoran ini. Dia selalu begitu jika membahas bisnis denganku. Terus terang aku tidak begitu menyukainya ... dia terlalu rakus.
"Jadi, katakan apa yang membuat pria sibuk seperti mu menemuiku terlebih dahulu, Tuan Angelo?"
"Tentu saja bisnis, Mr. Vagaan."
Pria itu menggosok-gosok kedua telapak tangannya, senyumannya terus merekah memamerkan deretan gigi emasnya yang rapi. Matanya terus menatapku lekat-lekat, ia selalu tahu bagaimana memeras uang orang-orang yang membutuhkan bantuannya dan aku yakin saat ini isi kepalanya penuh dengan rencana untuk menguras uangku. Dasar lintah darat.
"Tentu saja bisnis, apa yang kau inginkan? Senjata baru? Beberapa b***k? Atau wanita? Bercanda. Hehe ... tidak mungkin wanita, bukan?"
"Aku ingin wanita yang menemanimu kemarin malam di night club." Mr. Vagaan langsung terkejut. Untuk sesaat senyumannya sempat hilang terganti dengan raut wajah heran, tapi dengan cepat terganti kembali dengan senyuman liciknya.
"Kau bercanda, Tuan Angelo? Kupikir kau membenci wanita. Sayangnya wanita kemarin itu rekanku, bukan barang dagangan. Tidak bisa kuberikan padamu."
"Huh!? Jangan bercanda, Mr. Vagaan. Semua bisa jadi barang dagangan bagimu, asal ada uang. Berapa pun yang kau mau akan kubayar. Aku tidak ingin membeli wanita itu, aku ingin kau menghancurkannya," ucapku dengan nada bicara dingin.
"Apa yang kau ingin kulakukan padanya?"
Mata pria itu langsung berubah berseri-seri setelah mengetahui kalau ia akan mendapatkan banyak uang dari ku. Lihat? Dia sangat rakus, bahkan rekannya pun rela ia jual selama harganya pantas.
"Jebak perempuan itu. Buat ia berhutang banyak padamu, lalu rampas semua yang dimilikinya. Bila perlu kau culik semua keluarganya, mau dibunuh atau dijual terserah. Asal wanita itu menderita dan hancur sudah cukup untukku. Waktumu 2 minggu. Selesaikan maka Takuto akan datang menemuimu dan memberi bayaran yang pantas, bila tidak sanggup ucapkan selamat tinggal pada urusan bisnis kita."
Mendengar permintaanku, Mr. Vagaan kembali memamerkan deretan gigi emasnya dan dengan sangat yakin ia menyanggupi permintaanku. "Deal! Siapkan uangmu, Tuan Angelo. Apa yang kau minta akan kau dapatkan bahkan kurang dari waktu dua minggu!"
***
Seminggu telah berlalu sejak pertemuanku dengan Mr. Vagaan, kabar kehancuran wanita itu belum juga terdengar sampai di telingaku. Membuatku merasa jengkel. Kesal, bertanya-tanya, apa saja yang dikerjakan oleh pria itu.
Aku sudah tidak sabar mendengar berita yang kutunggu-tunggu dan juga rasa rinduku pada Tyler sudah tidak tertahankan. Kuputuskan untuk pergi ke sekolah tempatnya bekerja, sekadar untuk melihatnya sebentar.
Aku tahu bahwa ia tidak sebaik yang kukira, ia telah mengecewakan harapanku, memilih wanita itu dan melukai harga diriku. Seharusnya aku tidak lagi memedulikannya, tapi nyatanya hatiku berkata lain. Harus kuakui bahwa seorang Tyler Hitter telah membuatku jatuh cinta dan tergila-gila padanya hanya karena satu kalimat nasihatnya.
Aku bukanlah orang yang suka lari dari kenyataan maupun orang yang suka membohongi diriku sendiri. Saat aku menyukai sesuatu maka akan kukatakan aku menyukainya, bila aku menginginkan seseorang maka akan kudapatkan ia, meskipun harus menggunakan cara licik dan keji sekalipun.
Begitu juga mengenai Tyler. Kuakui aku mencintai pria itu, maka akan kubuat ia mencintaiku sebesar aku mencintainya. Bila ia mencintai Emily Dalton, maka akan kulenyapkan wanita itu.
"Hei, Dean!" Aku menoleh ke arah suara seorang remaja laki-laki yang menyapaku. Saat tatapan kami bertemu, aku tersenyum padanya, begitu pun sebaliknya. Remaja itu adalah Greg, salah satu siswa anggota club basket yang dilatih oleh Tyler.
"Hei, Greg. Ada Tyler?"
"Ckck! Sudah seminggu tidak ke sini bukannya memberiku traktiran, malah bertanya tentang pelatih." Remaja berambut mohawk itu malah mengeluh, huh! Dasar anak-anak tidak tahu di untung! Mentang-mentang setiap kali aku ke sini, aku selalu membawakan mereka makanan demi mengambil hati Tyler tentunya, berusaha memberi kesan pria baik hati dan dermawan ... remaja ini malah jadi melonjak.
"Hmm ... tentu, ayo ikut aku ke kantin. Kubayari apa pun yang kau pesan Greg, tapi ingat. Ini tidak gratis!" Tawarku, pada remaja usia tanggung itu sambil memamerkan wajah polosku. Sekadar topeng pria baik-baik tentu saja.
"Kau tahu Dean, pelatih tidak masuk hari ini dan kami tidak ada latihan." Seorang remaja bernama David datang menambahkan.
Ia tidak sendirian, di sampingnya terdapat sekitar belasan remaja seumuran. Ya, mereka adalah seluruh anggota club basket. Mereka semua tersenyum penuh arti padaku, memberi pandangan menginginkan sesuatu. Dasar sekumpulan remaja tukang palak!
"Katakan penawaran kalian! Jika kalian memberiku tawaran yang menarik, maka kalian akan dapatkan apa pun yang kalian inginkan!" Aku menantang sekumpulan remaja putra itu, melihat apa yang bisa mereka berikan padaku sebagai ganti dari kemurahan hatiku.
Mereka saling pandang satu sama lain, berkumpul membentuk lingkaran dan mulai berbisik-bisik menentukan strategi demi barang gratisan dari ku. Kekayaanku sudah tidak diragukan lagi, mudah bagiku untuk membelikan apa pun yang mereka inginkan, tapi sayangnya aku bukanlah santa clause yang dermawan. Aku tidak akan memberi begitu saja tanpa mendapatkan bayaran yang setimpal.
Setelah cukup lama mereka berdiskusi, Greg datang menghampiriku sebagai perwakilan teman-temannya.
"Ehm!" Ia berdeham menetralkan suaranya, lalu mulai dengan penawaran mereka.
"Kami tahu kau naksir dan mengincar pelatih kami, Dean," ucap Greg memulai pembicaraan.
"Ya, lalu? Mau mengancamku? Percuma! Aku ingin tawaran menarik, Greg." Kunaikkan alisku, menuntut jawaban lebih darinya.
"Ah ah ha! Sabar Dean, tentu kami tahu itu. Kami bukan hanya sekadar remaja yang mengerti basket." Remaja itu menggerak-gerakkan jari telunjuknya ke kiri dan ke kanan, tersenyum miring memberi tatapan penuh arti.
"Jadi apa yang kalian pahami?" tanyaku.
"Pertama kami ingin tahu apa yang saja bersedia kau berikan pada kami, informasi dan bantuan kami juga tidak gratis, Dude!" See ... di dunia ini uang bisa membeli segalanya. Bahkan remaja seperti mereka saja tahu caranya memeras orang dewasa seperti ku.
"Apa pun! Makanan, barang bermerek, uang, wanita, dan bahkan mobil keluaran terbaru akan kubelikan ke kalian semua, tapi tergantung dengan seberapa total kalian membantuku."
Begitu kutawarkan harga yang pantas, sekumpulan remaja putra itu langsung menatapku berbinar-binar, mereka saling lirik satu sama lain lalu mengangguk mantap. "Mulai sekarang kami budakmu, Tuan Dean! Semua info dan bantuan demi mendapatkan pelatih akan kami berikan, bahkan kesetiaan. Kami bersumpah pelatih tidak akan pernah tahu perjanjian kita dan kau dapat dukungan penuh dari kami!"
Hahaha ... aku tertawa dalam hati mendengar penuturan sekumpulan remaja itu, dengan uang mereka dengan senang hati berpihak kepadaku. Tamat sudah riwayatmu Tyler, semua anggota tim basketmu telah berpihak kepadaku.
"Baiklah mari pergi dan kita bicarakan mengenai perjanjian, anak-anak!"
Aku menyetujui penawaran yang mereka ajukan, senyuman kemenangan pun menghiasi wajah belasan remaja putra itu. Mereka saling tos ria hingga akhirnya dengan kompak berteriak.
"DEAL!"
Setelah itu, aku membawa 19 orang remaja putra itu ke salah satu restoran yang terletak di hotel bintang 5 milikku. Mereka tampak takjub dan dengan semangat membicarakan rencana penaklukan Tyler. Berjanji akan jadi mata-mataku, membantu menghasut Tyler agar pria itu melihatku. Kami bahkan membuat grup sosial media untuk ini. Sungguh hal terkonyol yang pernah kulakukan demi mendapatkan seorang pria, tapi entah kenapa senyuman bahagia tidak dapat lepas dari wajah manisku.