Chapter 1
Seorang pria berjalan menerusi jalanan kota Boston sambil sesekali menggerutu. Berkali-kali ia kembali melihat jam tangannya, menunjukkan pukul 01:23. "Ini gara-gara anak-anak klub! Kalau saja mereka tidak membuat masalah, aku tidak perlu pulang selarut ini," keluhnya pada diri sendiri. Ia tidak perlu khawatir dilihat dengan pandangan aneh karena berbicara sendirian. Sebab, jalan yang ia lewati sangat sepi.
PRANG! BRAK! BRUK!
ARGHHH! BRUAK!
Setelah berjalan beberapa blok, ia mendengar suara gaduh dari arah sebuah gang kecil. Merasa penasaran dengan suara aneh yang terdengar, pria itu pun berjalan mendekati asal suara gaduh itu. Semakin ia mendekat, suara-suara ribut itu terdengar semakin jelas.
"Dasar b******k mati kau!"
"Pergilah ke neraka, Angelo!"
Bang! Bang! Bang!
"Setan b******k! Kau tidak pantas hidup!"
"Argh ... tolooong!"
"Tolong ampuni saya!"
Pria itu terkejut mendengar suara permintaan tolong dan suara tembakan pistol. Pikirannya memperingatkan untuk pergi menjauh. Namun di sisi lain, rasa penasarannya amat tinggi. Ia meneguk ludahnya gugup, memberanikan diri berjalan mendekati asal suara teriakan yang terdengar semakin mencekam. Langkahnya terhenti, tatapan matanya terpaku diam.
Seorang pria bertubuh lebih kecil darinya, tengah memukuli sekitar 8 orang pria lain bertubuh besar yang membawa senjata api. Namun pria berambut pirang itu, tidak terlihat kesulitan sedikit pun, justru pria bertubuh kecil itu nampak sedang bersenang-senang. Ekspresi mukanya tampak tenang dan polos. Seolah-olah ia sedang menari, bukannya sedang memukuli beberapa orang hingga tewas.
Entah berapa lama waktu berlalu, perkelahian tidak imbang itu telah selesai. Kini di hadapan pria itu, terlihat jelas seorang pria berambut pirang dengan wajah oriental yang dipenuhi darah lawannya di hampir seluruh tubuhnya.
Pria berambut pirang itu kini berjalan mendekati seorang pria bertubuh tinggi yang dari tadi menonton perkelahiannya. Ia tidak peduli dengan darah lawan yang membanjiri wajah, pakaian, maupun darahnya sendiri yang terus mengalir keluar dari luka tembakan yang terdapat di pinggangnya.
Saat ini, kedua pria itu telah berdiri saling berhadapan dengan jarak yang amat tipis. Seketika itu juga, pria berambut pirang itu tertegun melihat pria bertubuh tinggi di hadapannya. Kontan ia menahan napasnya, diam menatap penuh tanya pada pria bertubuh tinggi di hadapannya itu, tanpa bisa berkata apa pun.
Di lain pihak, pria bertubuh tinggi itu menatap pria berambut pirang dengan gugup. Ia tampak amat gelisah. Akhirnya setelah cukup lama keduanya membisu, tanpa sadar pria bertubuh tinggi mengeluarkan isi pikirannya saat itu juga, tanpa bisa direm lagi.
"Kenapa kamu terlihat begitu senang membunuh mereka? Apakah nyawa manusia sama sekali tidak berarti bagimu? Tidakkah kamu merasa kasihan kepada mereka?" tanya pria bertubuh tinggi yang dengan segera, ia sesali.
"Tidak. Kenapa aku harus merasa kasihan? Mereka yang lebih dulu ingin membunuhku, aku hanya membela diriku," balas pria berambut pirang.
Pria bertubuh tinggi itu merengut melihat reaksi pria berambut pirang. Entah keberaniannya datang dari mana, atau kebodohannya yang muncul mendadak, ia pun kembali berucap dengan lancang pada pembunuh di hadapannya itu.
"Setiap manusia berhak untuk hidup, berhak untuk dimaafkan dan memperoleh kesempatan kedua. Tak seharusnya kamu langsung membunuh mereka saat mereka memohon ampun padamu!"
Pria berambut pirang terdiam tampak berpikir. Mendengar teguran dari pria bertubuh tinggi. Hati pria berambut pirang itu, kembali tergerak setelah sekian lama mati.
Apakah aku juga berhak mendapatkan maaf dan kesempatan kedua? batinnya.
Tanpa disangka-sangka, pria berambut pirang itu menggenggam tangan pria bertubuh tinggi dihadapnya. Hal itu tentu membuat pria itu terkejut, rasa takut mulai merasukinya, mengingat pria bertubuh kecil di hadapannya ini ... baru saja membunuh beberapa orang bertubuh jauh besar lebih besar darinya tanpa belas kasihan.
"Kalau begitu beri aku kesempatan kedua! Maafkan aku dan ajari aku tentang menghargai sebuah nyawa!" pinta pria berambut pirang.
Jika saja pikirannya masih waras, tentu pria bertubuh tinggi akan menolak permintaan pria berambut pirang dan segera pergi menelepon polisi. Mengadukan perbuatan tidak manusiawi pria berambut pirang yang baru saja disaksikannya, tapi mungkin karena terlalu lelah ... pria bertubuh tinggi menjadi tidak cukup waras dan malah menyetujui permintaan pria berambut pirang.
"Baiklah! Namaku Tyler Hitter. Siapa namamu?" ucap pria bertubuh tinggi, mengajak berkenalan.
"Dean Elgio Angelo," balas pria berambut pirang bertubuh kecil itu.