Hari ini sama seperti kemarin, aku kembali datang mengunjungi sekolah tempat Tyler mengajar. Aku bahkan membatalkan meeting-ku demi bertemu dengannya. Sosok seorang Tyler Hitter telah merasuki kehidupanku. Rasanya begitu sulit melewati hari tanpa menatap wajahnya.
Aku berjalan dengan riang menuju ruang konseling. Karena ini masih pagi dan Tyler selalu ada di ruangan itu hingga jam pelajaran berakhir, menunggu siswa yang membutuhkan pengarahan darinya.
Tok ... tok ....
Kuketuk pintu ruang konseling dengan sopan, menunggu hingga pria itu mempersilakan ku untuk masuk. "Masuk!" Tak lama, suara bass milik Tyler terdengar. Aku pun membuka pintu dengan senyuman menghiasi bibirku. Namun sayangnya, senyumanku langsung lenyap seketika lantaran mataku bertemu tatap dengan seorang wanita berambut panjang ikal. Ia tengah duduk di samping Tyler, memamerkan kemesraan mereka.
"Oh ... kau rupanya Dean, kebetulan sekali. Perkenalkan, ini kekasihku Emily Dalton." Tyler dengan bangga mengenalkan wanita itu kepadaku.
Emily segera berdiri menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan denganku sambil tersenyum yang menurutnya amat manis, tapi menurutku amat menjijikkan. Jadi aku tidak menggubrisnya, malah justru mendengus tidak suka dan langsung duduk di kursi terjauh dari wanita itu.
Sikapku itu membuat Emily tersinggung dan Tyler menjadi marah. "Dean! Aku mengenalkan kekasihku, kenapa sikapmu seburuk itu kepada Emily? Ia bahkan bersikap ramah padamu!" tanya Tyler, setengah membentak.
"Sudah jelas bukan, karena aku tidak menyukai wanita itu," ucapku cuek sambil memainkan tabletku.
Kulirik sekilas reaksi keduanya, Tyler tampak semakin marah begitu juga Emily yang sudah cemberut. Tapi itu tidak menggangguku. Karena aku benar-benar membenci Emily dan alasannya karena:
1. Emily adalah seorang wanita – wells, sejak kecil aku sangat membenci kaum hawa.
2. Wanita itu adalah kekasih Tyler – sepertinya aku menyukai Tyler.
3. Aku berharap mereka segera putus – sudah jelas, karena aku menginginkan Tyler menjadi milikku.
Tiga alasan itu tercetak jelas di otakku. Namun tidak kuucapkan, aku hanya duduk menunggu wanita itu pergi dari sini. Tapi sayang sekali, ia tidak pergi dan malah berteriak padaku. "Apa masalahmu! Kenapa kamu begitu tidak menyukaiku? Padahal ini pertama kalinya kita bertemu!"
Kupandangi Emily dengan ekspresi datar, menaikan sebelah alisku menilai lalu kuhina ia. "Kau tidak pantas untuk Tyler, Nona Dalton."
Dengan emosi yang meluap-luap, Emily mengayunkan tangan kanannya. Berniat menamparku, tapi dengan cepat kutangkis tangannya dengan tablet yang kugenggam hingga tablet itu terlempar jatuh ke lantai marmer ruang konseling ini. Lebih baik tabletku rusak daripada membiarkan tangannya menyentuh kulitku.
"Lebih baik kau hentikan sikap menyebalkanmu, Nona. Aku tidak sudi jika harus tersentuh oleh tangan kotormu." Kata-kata dingin merendahkan keluar dari mulutku begitu saja. Awalnya aku ingin sedikit menahan diri, tapi mengingat tadi wanita ini hampir saja menyentuhku, membuatku kehilangan kesabaran.
BRUAK!!
Tiba-tiba saja Tyler melayangkan tinjunya tepat mengenai rahangku. Biasanya aku bisa langsung menghindar, tapi kali ini karena terlalu terkejut, aku tidak sempat menghindari pukulannya. Darah segar mengalir dari sudut bibirku, meninggalkan rasa perih di sana.
"Keluar! Kau bukan lagi temanku! Aku tidak sudi berteman dengan orang yang tidak bisa menghargai wanita yang kucintai!" Tyler membentak, mengusirku penuh amarah. Rahangnya mengeras, matanya melotot, dadanya turun naik bernapas berat menahan emosi.
"Kau memukulku, Tyler ... kupikir kamu akan memberiku kesempatan kedua?" ucapku sarkastik.
"Aku sudah memberimu kesempatan itu dan kau menyia-siakannya. Kau b******k Dean! Pergi sekarang juga!" bentak Tyler sekali lagi.
"Huh!? Kau akan menyesal memilih membela wanita jalang itu, dibandingkan denganku. Suatu saat ketika ia berbalik menggigitmu, kau akan tahu bahwa tak seorang pun wanita yang dapat dipercaya!"
Kutatap Tyler dengan pandangan penuh arti sebelum meninggalkan ruang ini, tapi pria itu membalas tatapanku penuh kemarahan. Kemudian ia berbalik merangkul Emily yang sudah terisak ke pelukannya. Meninggalkan rasa sesak di dadaku. Kupejamkan mataku sejenak, menarik napas kecil, mengembuskannya.
Harusnya aku tidak berharap padanya. Pada akhirnya Tyler sama seperti orang lain. Pria itu menyisakan rongga kosong di hatiku. Sesaat setelahnya, kurasakan kekecewaan yang amat besar.
***
Dengan perasaan dilindung kekecewaan berat, aku menghabiskan malamku ditemani oleh beberapa botol gin. Saat ini aku sedang berada di bar gay yang terletak di pinggiran kota Boston. Sesekali saat perlu pelampiasan, aku datang ke bar ini demi beberapa gelas alkohol atau seorang teman kencan satu malam.
Ya, aku seorang gay. Sejak berusia 12 tahun, orientasi seksualku telah berubah.
"Hei, mau kutemani, Baby?" Seorang pria datang menghampiri dan merayuku.
Sesaat kutatap ia dari ujung kaki hingga ujung rambut. Wajahnya lumayan tampan dengan rambut berwarna dark brown yang senada dengan warna bola matanya. Bibinya seksi dengan p****t bulat berisi membuat sesuatu dalam diriku terbangun. Baiklah, malam ini aku akan bersenang-senang dengannya.
"Tentu tampan. Ikut denganku!" Kulemparkan sebuah senyuman menggoda kepadanya. Mengajaknya berjalan mengikutiku. Tanpa ragu sedikit pun, pria itu berjalan berdamping denganku. Kini tangannya telah berada di pundakku, merangkulku ke dalam pelukannya. Ia menatap mataku intens yang kubalas dengan kecupan singkat di bibirnya. Lalu tersenyum kecil sok manis.
"Kau bisa memanggilku, Bryan. Siapa namamu, Baby?" tanya sambil berbisik. Berlanjut dengan menjilati telingaku.
"Dean. Apa kau membawa mobil? Mau ikut mobilku atau tidak?"
"Tentu aku ikut ke mana pun kau pergi Dean sayang, tapi kita akan ke mana?"
"Ke rumahku, tidak jauh dari sini." Kuremas bokongnya keras membuat ia mengerang, menggoda dulu baru jalan.
Kami lalu masuk ke Lamborghini merahku dan melaju menembus malam menuju ke salah satu rumah milikku yang kukhususkan untuk mengajak pria one night stand.
Begitu pintu rumah tertutup, tanpa perlu repot-repot menyalakan lampu, kami sudah saling melumat satu sama lain, melepas pakaian yang kami kenakan dengan terburu-buru melemparinya ke sembarangan tempat. Nafsu telah menguasai kami.
"Sabar, Bryan. Ayo ke kamar." Dengan napas terengah-engah, aku menuntun Bryan memasuki kamar utama yang terletak di lantai dasar. Tanpa peringatan, langsung kudorong tubuhnya dengan kasar hingga jatuh ke kasur. Dengan segera kunaiki tubuhnya, kembali menikmati bibir seksi yang menggoda.
Kugigit pelan bibir bawahnya, membuat mulutnya terbuka. Tanpa melewatkan kesempatan, lidahku langsung masuk menerusuri rongga mulutnya, bermain dengan lidahnya. Dengan antusias, Bryan mengisap lidahku yang tengah bermain di dalam mulutnya.
"Hmm." Aku mengerang, meraba kejantanannya. Miliknya yang sudah tegak berdiri membuat napasnya menjadi lebih berat.
"Dean, aku sudah tidak tahan. Biarkan aku memasukimu," ucap Bryan. Setelah bibir kami terlepas. Mendengar itu, aku terkekeh. Kutarik kedua tangan Bryan ke atas kepalanya, memborgolnya dengan borgol yang sudah tersedia di tiang tepian kasur.
"Tidak Bryan sayang, kau yang akan kumasuki," godaku.
Pria itu tampak tidak senang. Aku sangat yakin ia ingin mendominasi, tapi aku lebih ingin mendominasi dan jelas aku lebih kuat darinya. Meskipun tubuhku jauh lebih kecil darinya.
"Tidak, Dean. Lepaskan borgol ini dan biarkan aku menyentuhmu. Aku berjanji akan memuaskanmu," bujuknya.
"Tidak. Kau yang diam dan nikmati," balasku dengan nada bicara memerintah. Tak peduli dengan keinginannya. Aku tak sebaik itu, untuk mau berkompromi dengan orang yang akan kulupakan esok hari.
Kuambil kotak mainanku di bawah ranjang. Tersenyum licik yang membuat Bryan mengerutkan alisnya, tapi ia cukup pintar untuk paham bahwa ia sedang tidak dalam keadaan menguntungkan untuk protes.
Saat kuambil sebuah jarum suntik berisikan cairan bening, begitu Bryan melihatnya ia langsung panik. "Wah! Santai Dean ... apa itu, jangan gunakan obat-obatan." Menolak dengan keras ideku.
"Jangan khawatir, ini akan membuatmu merasa nikmat." Masa bodoh, memang siapa yang mau mendengarkan? Tanpa ragu kutusuk jarum suntik itu ke pergelangan tangan Bryan. Cairan bening itu pun mengalir mengikuti aliran darahnya, hanya butuh lima menit hingga obat perangsang itu bereaksi.
"Ah ... Dean! Sudah cukup! Lakukanlah." Membuat Bryan kehilangan pikirannya, memohon dengan napas berat putus asa.
"Mari bersenang-senang, Bryan." Aku tersenyum semanis mungkin, menikmati kemenanganku. Kemudian kujilati leher jenjangnya, perlahan-lahan turun ke d**a bidangnya. Kuhisap salah satu putingnya dengan keras, membuat tubuh Bryan melengkung, mendekat ke mulutku. Tanganku yang lain sibuk melintir p****g yang satunya, sambil terus mengelus pelan kejantanan pria itu yang terus berdenyut-denyut.
Ia menjerit, memintaku berhenti bermain-main. Namun, aku malah menggerakan tanganku naik turun mengocok miliknya. Sengaja menggoda Bryan. Raut mukanya semakin memerah, napasnya makin berat. Cairan precum terus keluar membuat kejantanannya menjadi begitu licin.
"Aaah ...." Pria itu terus mendesah, sementara kuselipkan jari tengahku ke lubang miliknya. "Dean ... aku sudah tidak tahan ... aah!" Bergerak-gerak melonggarkan otot-otot miliknya.
"Sabar, sayang." Kulumat kembali bibir seksinya, sambil terus mengelus ujung kejantanannya membentuk pola melingkar sementara tanganku yang lain masih sibuk membuka bagian belakang.
Tubuhnya menegang, miliknya yang besar semakin berdenyut jelas menunjukkan kalau ia akan segera menembakkan cairannya, tapi tidak akan kuizinkan. Kami baru mulai. Maka dari itu, segera kugenggam erat pangkal batangnya membuat muatannya tidak dapat keluar.
"Tidak, Bryan. Kau tidak boleh keluar sebelum kuizinkan," ucapku sambil terkekeh. Lalu mengambil tali pendek di dalam kotak mainanku. Menggunakan tali itu untuk kejantanannya. Membiarkannya tegak berdenyut-denyut, sementara kumainkan jari-jariku padanya.
"s**t!! Kumohon ... Dean!" Bryan mengumpat sambil mendesah membuatku semakin bersemangat. Sekarang kejantananku telah berdiri tegak, ingin segera memasukinya.
Kuhisap telinganya, memasukan jari ketigaku. Bergerak keluar masuk, menusuk-nusuk tonjolan bulat di dalam, membuat pria itu semakin mendesah putus asa. Baru kali ini, ia merasakan sensasi diporak-porandakan oleh seorang laki-laki.
"Kau ingin aku berhenti?" Aku sengaja menggoda saat ia sudah pasrah. Menarik keluar jari-jariku, membiarnya terbaring tanpa sentuhan sedikit pun.
Bryan bernapas terputus-putus, matanya sayu tidak fokus. Aku tahu ia sudah tidak tahan lagi.
"f**k!! f**k me harder, Dean!" bentaknya dengan frustrasi, membuatku semakin ingin mempermainkannya. Kuremas-remas kembali miliknya, yang kini telah memerah membengkak menahan o*****e.
"Itu bukan caranya memohon, Bryan. Apakah sekarang kau masih ingin memasukiku?" tanyaku menggoda, sambil menjilat ujung kejantanan Bryan yang sudah sangat basah oleh cairan precumnya.
Ia semakin mendesah, tubuhnya bergerak-gerak mencari kenikmatan. Terlihat sangat putus asa. Aku lalu menggigit putingnya keras, memainkan tubuhnya sesukaku.
Air mata pria itu turun menetas di tepian matanya, membuatku semakin senang. Aku tersenyum saat ia akhirnya memohon dengan untuk dimasuki. Dengan suara yang serak dan gemetaran.
Kuberikan apa yang ia mau, memasukinya dengan satu kali dorongan keras. Berhenti di dalam, menikmati sempitnya dinding yang tengah meremasku. "Bergeraklah," pintanya, tentu saja kukabulkan karena aku juga sudah tidak tahan.
Kudorong kejantananku dengan keras menusuk prostatnya, membuat Bryan menjerit nikmat. Kehilangan segala harga diri dan kewarasannya. Kuhentak-hentakkan pinggulku semakin keras, semakin cepat dalam tiap dorongan. Merasakan nikmatnya lubang milik Bryan yang ketat. Mengisap-isap milikku membuatku begitu dekat.
Kuremas kembali miliknya, sambil memompa kejantananku di dalamnya. Memberi kenikmatan di dua titik sensitifnya, tapi tidak dengan sebuah akhir yang ia inginkan.
Jeritan pria itu semakin keras, membuatku semakin ingin menggodanya, mempermainkannya, membuatnya gila akan rasa nikmat. Kuremas miliknya semakin keras, memompanya dengan liar sejadi-jadinya.
Semakin lama napasku semakin memburu, bisa kurasakan milikku berdenyut-denyut tanda akan keluar. Kuangkat bokongnya, meremasnya keras sambil menusuk dengan kasar. Setelah beberapa hentakan, kubiarkan ia merasakan pelepasannya.
Pria itu memuntahkan muatannya, membasahi perut dan dadanya. Tubuhnya bergetar hebat menyambut orgasmenya. Kumanfaatkan saat itu untuk menusuknya lebih keras, lebih dalam.
Mengajaknya kembali ke dalam permainan. Bersenang-senang, membuatnya menjerit saat tubuhnya yang tengah bergetar kupompa. Setelah beberapa kali hentakan, aku pun menembakkan muatanku di dalam lubang sempit miliknya.
Lalu kucabut kejantananku dari lubang miliknya, membuat Bryan mengernyit kehilangan. Barulah kulepas borgol di tangannya, menjatuhkan tubuhku yang lemas menimpanya. Bryan tidak keberatan, pria itu menarikku semakin mendekat padanya. Dengan napas terengah-engah, kami berbaring berpelukan hingga benar-benar terlelap.