Keesokan harinya.
Pagi ini Reno terbangun lebih pagi dari biasanya. Meskipun ia terbangun lebih pagi dari biasanya, tapi ia memilih untuk tetap berada di kamar sesaat setelah ia mandi sekaligus merapihkan kamarnya.
Hal yang sangat jarang sekali terjadi, karena biasanya Reno akan terbangun pukul 5 lewat 30 menit dan tidak akan merapihkan tempat tidurnya.
Saat ini, Reno sedang duduk di sofa. Pria itu berharap apa yang biasa terjadi di pagi-pagi sebelumnya kembali terjadi pada pagi ini. Tapi setelah hampir beberapa menit menunggu, apa yang ia harapkan sama sekali tidak terjadi.
Apa yang sebenarnya Reno harapkan atau apa yang sebenarnya Reno tunggu? Reno berharap kalau Nesya akan datang ke kamarnya, lalu membangunkannya. Hal yang selalu rutin Nesya lakukan di pagi hari, tapi pagi ini hal itu tidak Nesya lakukan.
Reno memutuskan untuk keluar dari kamar, berharap kalau ia melihat Nesya sedang duduk bersama dengan sang Bunda di ruang makan atau mungkin ruang keluarga, tempat di mana biasanya mereka berkumpul untuk sekedar mengobrol sekaligus melepas canda tawa.
Reno memutuskan untuk turun meggunakan lift, mengingat akan membutuhkan waktu yang cukup lama jika ia memilih untuk turun mengunakan anak tangga. Kamarnya terletak di lantai 3, jadi ada banyak anak tangga yang harus ia lalui jika ia ingin sampai di lantai 1.
Begitu pintu lift terbuka, Reno bergegas keluar lift, lalu pergi menuju ruang makan sesaat setelah melihat kalau ruang tengah kosong. Tanpa sadar pria itu mendesah kecewa saat tahu kalau tak ada satu orangpun di ruang tengah, karena itulah Reno lantas melanjutkan langkahnya menuju ruang makan dengan harapan kalau ia akan melihat Nesya dan Rinda yang sedang mengobrol..
Rasa kecewa kembali Reno rasakan tat kala ia melihat kalau hanya ada sang Bunda di ruang makan, tak ada Nesya. Astaga! Sebenarnya kemana Nesya? Kenapa perempuan itu tidak datang untuk membangunkannya? Apa Nesya marah karena semalam tidak ia ajak pergi? Kini ada banyak sekali pertanyaan yang memenuhi pikiran Reno tentang alasan kenapa Nesya tidak datang untuk membangunkannya?
"Selamat pagi Bunda." Seperti biasa, Reno pun menyapa Rinda.
Rinda membalas sapaan Reno, lalu meminta agar putranya itu duduk tepat di samping kanannya. "Tumben jam segini sudah bangun?" Wanita paruh baya tersebut bertanya dengan bingung. Tentu saja Rinda bingung, karena tak biasanya Reno bangun sepagi ini, mengingat Reno biasanya akan terbangun ketika jarum jam pendek hampir mengarah pada angka 6.
"Pagi ini Reno ada meeting penting Bun, makanya Reno bangun pagi." Alasan yang baru saja Reno berikan pada Rinda sama sekali tidak salah, karena pagi ini ia memang akan mengadakan meeting penting. Sebenarnya alasan Reno terbangun pagi ini bukan karena hal itu, tapi karena Nesya, tapi Reno tidak mungkin memberi tahu Rinda tentang alasan yang sebenarnya bukan?
Reno terus melihat ke arah pintu penghubung antara ruang makan dan ruang tengah, seolah sedang menunggu kedatangan seseorang.
Rinda menyadari tingkah laku sang putra yang terlihat sekali resah. Rinda tahu siapa yang Reno cari, tapi meskipun sudah tahu, ia tetap memilih untuk bertanya, sekedar untuk berbasa-basi. "Kamu cari siapa?"
"Nesya Bun. Dia enggak ke sini ya?"
"Enggak tuh. Bunda juga dari tadi nungguin Nesya, tapi Nesyanya enggak datang-datang." Bagi Rinda, Nesya itu sudah seperti putrinya sendiri mengingat ia sama sekali tidak mempunyai anak perempuan. Rinda sangat menyayangi Nesya, dan terkadang perempuan baya tersebut akan lupa pada Reno jika sudah ada Nesya di sampingnya.
Reno sama sekali tidak merasa cemburu ataupun iri ketika melihat kalau Rinda sangat menyayangi Nesya, dan terkadang lebih memperhatikan Nesya ketimbang dirinya, karena ia juga begitu menyayangi Nesya dan ia malah merasa senang tat kala melihat sang Bunda akrab dengan Nesya.
"Kenapa ya? Kok tumben banget dia enggak kesini?" Reno bertanya bingung, sama bingungnya dengan Rinda.
"Apa kamu dan Nesya sedang bertengkar?" Rinda membalas ucapan Reno dengan pertanyaan, tentu saja tanpa menjawab pertanyaan putranya tersebut.
"Enggak kok Bun." Reno menyahut dengan ragu dan Rinda menyadari keraguan Reno.
Rinda menatap Reno dengan mata memicing penuh curiga. "Yakin kalau kalian enggak lagi bertengkar?" tanyanya penuh penekanan.
Biasanya hanya ada 2 alasan ketika Nesya tidak datang berkunjung. Alasan pertama karena Nesya sedang sakit, karena itulah perempuan itu tidak bisa datang berkunjung dan alasan lainnya karena sedang bertengkar dengan Reno.
"Mungkin Nesya marah Bun." Reno akhirnya berani untuk mengeluarkan pendapatnya.
"Marah? Marah karena apa?" Rinda menatap bingung sang putra. Memang apa yang sudah Reno lakukan sampai-sampai membuat Nesya marah.
"Marah karena semalam tidak Reno ajak pergi keluar," cicit Reno dengan bola mata yang bergerak gelisah. Reno tidak berani membalas tatapan Rinda yang sejak tadi terus menatapnya dengan tajam.
"Memangnya semalam Abang pergi ke mana?" Kemarin sore Rinda pergi keluar dan ia baru saja pulang pukul 11 malam, jadi ia tidak tahu kemana saja Reno pergi. Saat ia sampai di rumah, Reno sudah tidur mengingat hari yang sudah beranjak malam.
Reno mulai menjelaskan kemana ia pergi, secara rinci. Sesaat setelah Reno selesai memberi penjelasan, Rinda pun yakin kalau Nesya memang marah pada Reno karena putranya tidak mengajaknya pergi.
"Sepertinya dia memang marah sama Abang karena tidak Abang ajak pergi keluar."
Reno mengangguk di iringi helaan nafasnya yang terdengar berat. "Iya Bun, sepertinya Nesya memang marah sama Abang," lirihnya sambil berdecak.
"Memang kenapa Nesya tidak Abang ajak pergi? Abang pergi sama pacar Abang? Makanya Abang enggak mau ajak Nesya?"
"Uhuk... Uhuk... Uhuk...." Reno yang baru saja menenggak air putih lantas tersedak begitu mendengar pertanyaan Rinda.
Rinda meringis, merasa kasihan sekaligus bersalah ketika melihat Reno tersedak. Pasti rasanya sangat sakit, karena itulah Rinda segera meminta maaf. Rinda tahu, pasti Reno terkejut begitu mendengar pertanyaan yang tadi ia ajukan, karena itulah Reno sampai tersedak.
"Bunda, Abang itu belum punya pacar."
"Kalau punya juga enggak masalah kok." Rinda menyahut dengan nada menggoda, tak lupa memberi Reno kedipan mata.
Reno hanya menggeleng. "Bun, Abang pergi ke rumah Bunda Anita ya."
"Enggak mau sarapan dulu?"
"Enggak ah Bun, Abang sarapan di rumah Bunda Anita aja."
"Ya sudah sana pergi." Dengan isyarat tangan, Rinda mengusir Reno.
"Iya-iya, Reno pergi." Reno beranjak dari duduknya dan sebelum pergi meninggalkan meja makan, Reno tak lupa untuk berpamitan pada Rinda.
Tak butuh waktu lama bagi Reno untuk sampai di kediaman kedua orang tua Nesya, karena jarak rumah kedua orang tua mereka memang dekat.
Sebelum memasuki rumah, Reno terlebih dahulu melewati pos satpam. Pak satpam yang sedang berjaga segera membuka pintu gerbang ketika tahu kalau yang datang adalah Reno.
Reno memarkirkan kendaraannya di tempat parkir, lalu memasuki rumah begitu melihat pintu rumah terbuka lebar.
Pintu rumah dalam keadaan terbuka, karena itulah Reno bisa masuk tanpa harus menekan bel atau menunggu pelayan untuk membukakan pintunya.
"Selamat pagi Bunda."
Anita yang sedang membaca majalah lantas menoleh, tersenyum lebar saat melihat siapa yang datang dan baru saja menyapanya.
"Selamat pagi Bang." Sama seperti Rinda yang sudah menganggap Nesya seperti anaknya sendiri, Anita juga melakukan hal yang sama pada Reno.
Reno menyalami Anita, lalu duduk di samping Anita sesaat setelah Anita memintanya untuk duduk.
"Abang sudah sarapan?"
"Belum Bun, Abang belum sarapan."
"Ya sudah, nanti sarapan di sini saja, bareng Mamah dan yang lainnya."
Reno hanya mengangguk, sama sekali tidak menolak tawaran yang Anita berikan.
"Ayah mana Bunda?"
"Ayah masih di kamar, mungkin masih siap-siap."
"Kalau Nesya mana Bun" Akhirnya pertanyaan yang sejak tadi ingin Reno ajukan pun terlontar.
"Nesya masih di kamarnya Bang. Coba Abang lihat saja sendiri dan kalau belum bangun, tolong bangunkan ya." Tadi Anita sudah memeriksa Nesya dan Nesya pun sudah terbangun. Seharusnya jika Nesya tidak tidur lagi, maka Nesya sudah siap dan siap untuk berangkat kerja.
Reno pamit undur diri pada Anita, menaiki lift menuju lantai 3 di mana kamar Nesya berada.
Rumah kedua orang tuanya dan rumah kedua orang tua Nesya memang hampir sama karena di desain oleh orang yang sama pula, dan itu karena Rinda dan Anita memang ingin memiliki rumah yang sama persis. Hanya ada beberapa bagian yang berbeda, contohnya letak kamar, letak ruang tamu dan juga letak kolam sekaligus taman bunga. Sisanya sama persis, hanya nuansa dan interiornya saja yang berbeda.
Kini Reno sudah berdiri di depan pintu kamar Nesya yang berwarna hitam mengkilap. Reno tidak langsung membukanya, karena ia takut kalau akan terjadi hal buruk jika ia langsung membukanya. Reno terlebih dahulu mengetuk pintu kamar Nesya, menunggu jawaban dari Nesya sebelum nanti membuka pintunya.
"Iya, siapa ya?" Teriak Nesya ketika hanya mendengar pintu kamarnya di ketuk tanpa di barengi dengan sebuah panggilan.
"Nesya, ini Abang. Sudah siap atau belum?"
"Sudah!" Teriak Nesya sebagai balasan. Singkat, padat dan jelas, iulah jawaban yang Nesya berikan pada Reno.
"Boleh Abang ma—"
"Enggak boleh!" Nesya sudah terlebih menyela ketika ia tahu apa yang akan Reno katakan.
"Abang masuk ya!" Reno sama sekali tidak peduli pada jawaban yang Nesya berikan.
"Masuk aja kalau bisa." Nesya menyahut ketus.
Reno mencoba membuka pintu kamar Nesya, tapi ternyata tidak bisa, dan itu karena Nesya mengunci pintu kamarnya. Pantas saja Nesya menantangnya, itu karena ia tidak bisa membuka pintu kamar tersebut.
"Buka pintu Nesya, ayo kita berangkat bersama." Reno tahu kalau Nesya pasti marah padanya karena semalam ia tidak mengajak Nesya pergi bersamanya, karena itu ia harus membujuk Nesya agar perempuan itu tidak lagi marah padanya. Apapun akan Reno lalukan untuk membuat Nesya tidak lagi marah padanya.
"Nesya mau berangkat sama Abang Arsa, enggak mau sama Abang!" Nesya menjawab penuh emosi.
"Yakin enggak mau berangkat sama Abang?" Reno bertanya dengan nada menggoda.
Tidak ada tanggapan dari Nesya, tapi terdengar suara kunci pintu terbuka, dan selang beberapa detik kemudian pintu kamar Nesya pun terbuka.
Tanpa sadar Reno bergerak mundur sebanyak 2 langkah, dan ketika ia baru saja akan bertanya, Nesya sudah pergi meninggalkannya. Perempuan itu berlalu begitu saja, bahkan tanpa menyapanya terlebih dahulu.
Reno segera menyusul Nesya yang sudah memasuki lift. Reno meminta Nesya agar menekan tombol supaya pintu lift tidak tertutup, tapi Nesya malah menekan akan pintu lift segera tertutup.
Reno mendengus, kesal pada dirinya sendiri yang tidak bisa segera menyusul Nesya. Reno akhirnya memilih untuk turun menggunakan anak tangga, berharap kalau ia masih bisa mengejar Nesya meskipun ia tahu kalau itu percuma. Tapi tak ada salahnya kalau mencoba, siapa tahu ia berhasil.
Reno tidak menuruni anak tangga dengan langkah santai, tapi ia berlari dan begitu ia sampai di lantai 1, nafasnya pun tersengal-sengal. Lelah? Sudah pasti lelah, mengingat anak tangga yang baru saja ia turuni sangat banyak.
Reno melihat Nesya memasuki ruang makan, dan ia pun segera menuju ruang makan untuk menyusul Nesya. Syukurlah kalau Nesya memasuki ruang makan, karena tadinya ia berpikir kalau Nesya akan segera pergi ke kantor tanpa pamit pada kedua orang tuanya.
Reno sebenarnya tahu kalau Nesya tidak akan melakukan hal itu. Nesya tidak mungkin pergi tanpa pamit pada kedua orang tuanya.
Saat memasuki ruang makan, Nesya sudah melihat ada Bastian serta Anita yang sedang berbincang. Keduanya menyadari kehadiran Nesya, karena itulah obrolan antara keudanya pun terhenti.
Nesya menyapa keduanya, bukan hanya sekedar menyapanya, tapi juga mencium pipi kedua orang tuanya secara bergantian.
Nesya memang sudah dewasa, tapi kegiatan itu selalu Nesya lalukan, mulai dari sejak ia kecil sampai sekarang ia tumbuh dewasa.
Tak berselang lama setelah kedatangan Nesya, Reno pun datang. Reno menyapa Bastian, karena ia memang belum bertemu dengan Bastian.
Reno duduk tepat di hadapan Anita, sedangkan Nesya duduk di samping Anita.
"Bunda, Abang Arsa mana?" Nesya tentu saja bingung ketika tidak melihat Arsa di ruang makan. Padahal biasanya, Arsa sudah terlebih dahulu berada di ruang makan sebelum dirinya.
"Kak Arsa baru saja berangkat." Bukan Anita yang menjawab pertanyaan Nesya, tapi Bastian.
"Berangkat ke mana Yah?" tanya Nesya, nyaris berteriak. Nesya tentu sangat terkejut, tak menyangka kalau ternyata Arsa sudah pergi meninggalkannya. Padahal semalam ia sudah bilang pada Arsa kalau pagi ini ia ingin berangkat ke kantor di antar oleh Abangnya itu. Arsa lupa, atau bagaimana? Kenapa tiba-tiba pergi tanpa menunggunya? Membuatnya kesal saja.
"Ayah enggak tahu karena Abang enggak bilang apapun, tapi Abang terlihat buru-buru, mungkin ada hal penting," jelas Bastian, jujur apa adanya. Tadi ketika ia keluar dari lift, ia bertemu dengan Arsa yang sudah akan pergi. Arsa meminta agar dirinya memberi tahu Anita kalau pagi ini tidak bisa sarapan bersama.
"Abang juga enggak bilang apa-apa sama Bunda?" Atensi Nesya kini tertuju pada Anita yang sedang mengisi piring sang Ayah dengan lauk pauk.
"Bunda malah enggak tahu kalau Bang Arsa sudah pergi." Arsa memang tidak pamit pada Anita, hanya pamit pada Bastian, itupun tanpa memberi tahu Bastian kemana akan pergi sekaligus kenapa terlihat buru-buru.
"Abang menyebalkan," gerutu Nesya dengan raut wajah masam. Kalau begini, gagal sudah rencananya untuk menghindari Reno.
"Sudah, sekarang kita sarapan dulu." Titah tegas dari Bastian tentu saja tidak mendapat penolakan dari siapapun.
Mereka berempat pun menikmati sarapan dengan khusus tanpa adanya obrolan. Bastian itu sangat tegas, sejak dulu sudah melarang adanya pembicaraan ketika mereka sedang makan. Jika sebelum makan boleh, tapi ketika sudah makan, maka di larang untuk mengobrol.
Lagipula, makan sambil berbicara itu sangat berbahaya. Kemungkinan untuk tersedak sangat besar, dan ketika makanan masuk ke dalam lubang yang salah, maka akan sangat berbahaya dan nyawapun bisa jadi taruhannya.
Seusai sarapan, Nesya pamit begitupun dengan Reno. Reno segera mengejar Nesya ketika melihat Nesya sudah mau sampai teras depan.
"Ayo naik, biar Abang yang antar." Reno mencekal pergelangan tangan kanan Nesya, membuat langkah Nesya terhenti dan mau tak mau, Nesya pun berbalik menghadap Reno.
"Enggak usah, Nesya mau pakai supir saja." Nesya masih menolak tawaran Reno.
"Naik Nesya, kalau kamu enggak mau naik nanti Abang cium." Reno mengatakannya dengan nada sungguh-sungguh, tapi Nesya malah mengabaikan ucapan Reno, itu karena Nesya berpikir kalau ancaman itu hanyalah bualan semata.
Nesya mencoba untuk melepaskan pergelangan tangannya dari cekalan tangan Reno. "Abang, lepasin!" Nesya akhirnya berteriak, kesal karena Reno malah semakin mempererat genggamannya.
"Masuk dulu ke mobil, baru nanti Abang lepasin." Reno menarik Nesya menuju mobilnya, dan Nesya tentu saja memberontak. Tapi perlawanan yang Nesya berikan sama sekali tidak berarti bagi Reno, karena tenaga Reno memang jauh lebih besar ketimbang tenaga yang Nesya miliki.
"Masuk Sya." Reno membuka pintu mobil, meminta agar Nesya memasuki mobilnya, tapi Nesya tetap menolak.
"Enggak mau!" Nesya tetap kekeh, menolak untuk Reno antar, karena ia memang tidak mau berada 1 mobil dengan pria di hadapannya ini.
Reno berdecak, lalu menarik Nesya, membuat tubuh Nesya membentur tubuhnya dan tanpa Nesya duga, Reno mengecup pipi kanannya, dekat sekali dengan sudut bibirnya. Nesya jelas shock, tak menyangka kalau pria di hadapannya ini akan berani untuk menciumnya walau hanya di pipi.
Reno menjauhkan wajahnya untuk melihat bagaimana reaksi Nesya. Reno terkekeh, gemas ketika melihat mimik wajah Nesya yang terlihat lucu sekaligus menggemaskan.
"Aa-abang cium Nesya," gumam Nesya dengan begitu polosnya.
"Kan Abang sudah bilang kalau Abang akan cium kamu kalau kamu tidak mau menuruti Abang. Sekarang kamu masuk, kita harus segera ke kantor sebelum terlambat." Reno mendorong Nesya agar memasuki mobilnya dan kali ini, Nesya sama sekali tidak mengalami menolak. Perempuan itu memasuki mobil dengan sukarela.
Reno segera menutup pintu mobil sesaat setelah ia memastikan kalau Nesya memakai sabuk pengaman, lalu ia pun berlari menuju kemudi untuk melajukan mobilnya menuju kantor Nesya sebelum nanti ke kantornya sendiri.