Aresh memilih jas yang akan dipakai untuk pernikahannya—ralat, pernikahan adiknya, Cagas. Dia hanya pengganti agar tidak ada yang sadar bahwa saudara kembarnya sedang terbaring koma di rumah sakit. Menatap ke depan cermin dengan pakaian pernikahan dari salah satu desainer ternama, Aresh memang meminta butik menyiapkan beberapa setelan untuk dicoba satu-persatu sambil memilah mana yang akan Cagas sukai. Melihat sosoknya di cermin, Aresh terdiam sesaat, dia menemukan saudara kembarnya, Cagas, di dalam dirinya. Harusnya saat ini Cagas yang berada di sini, berdiri, memakai tuxedo untuk pernikahannya nanti. Kenyataan bahwa wajah mereka sangat mirip membuat segalanya menjadi lebih sakit. Dia benar-benar seakan melihat dirinya sendiri.
Tangan Aresh mengepal dengan rahang mengeras. “Gue bakal menemukan yang bikin lo sampai terluka dan harus berbaring di rumah sakit, Gas. Pasti. Dan gue bakal menjaga Kiya jangan sampai sesuatu terjadi sama dia.”
“Mas Aresh….”
Itu suara Kiya. Merdu, lembut seperti gumpalan awan, mengambang dan meniup seperti angin. Aresh lantas menoleh. “Kena—”
Diam. Membeku. Termangu.
Aresh bahkan tidak dapat melanjutkan kalimatnya selain bibir yang sedikit terbuka karena terpaku.
Kiya cantik sekali. Sangat cantik.
Gaun putih vivienne westwood terbalut ditubuh indah milik Kiya. Hanya satu—pasti sudah dipesan jauh-jauh dari hari oleh Cagas. Aresh yakin itu. Menikah dengan gaun milik Vivienne Westwood yang anggun adalah mimpi beberapa perempuan, tetapi sulit mendapatkannya, terlebih ketika sang desainer utama bahkan sudah tidak ada lagi di dunia. Mencari edisi tertentu tidaklah mudah.
Bahu sempit Kiya terlihat, kulit pucatnya nampang, gaunnya jatuh, tidak ketat, tidak juga mengambang, tetapi fit di tubuh perempuan itu. Veil menghiasi rambut dengan make up tipis yang dikenakan karena memang bukan pada hari pernikahan, tetapi kecantikannya semakin nampak. Aresh suka bibir merah Kiya dan pipi yang kemerah-merahan. Kalau mata … jangan ditanya.
“M—mas Aresh?” panggil Kiya lagi dengan lembut. Ada kebingungan di wajah perempuan itu karena tidak juga mendapatkan respon.
Panggilan Kiya berhasil menarik Aresh ke dalam kenyataan. Dia menghela napas sambil mengerjapkan mata beberapa kali. Rasanya ingin memukul kepala sendiri sambil mengingatkan bahwa perempuan di depannya ini adalah kekasih adik tirinya, Cagas. Kekasih Cagas. Calon istri Cagas.
Dan sekalipun dia yang menikah, dia hanya mewakili Cagas. Cagaslah yang nanti pada akhirnya akan menikah dengan Kiya.
“Y—ya?” jawab Aresh terbata-bata.
“Gaunnya, apa bagus?” tanya Kiya ragu-ragu. Dia bingung sendiri apakah harus menanyakan ini pada Aresh, sebab mereka begitu asing dan perniakhan ini bahkan bukan karena cinta. “Maksud aku bertanya hanya meminta pendapat saja. Bukan memaksa Mas Aresh untuk suka karena—”
“Cantik. Cantik sekali.”
Berdebar. d**a Kiya berdebar tidak karuan karena sekalipun yang mengatakan adalah Aresh, kenyataan wajah mereka benar-benar mirip, kembar idientik, membuat Kiya nyaris ingin menangis karena mengingat Cagas. Matanya sudah berkaca-kaca, dia takut tidak tahan lagi, dia langsung berbalik tanpa mengatakan apa pun.
“Kiya, tunggu!” Aresh menahan tangannya. Telapak tangannya sedikit kasar karena sering dpakai untuk membuat desain banguna. Tipikal arsitek. Namun, tidak menjadi begitu buruk karena ada rasa hangat dan malah terlihat gagah. Kiya merutuk dalam hati karena sampai ukuran tangan sekalipun, dia bisa merasakan Cagas di dalamnya.
“Sebentar mas aku mau—”
Aresh merutuki diri sendiri yang menarik Kiya ke dalam pelukannya. Mendekap begitu erat. “Kiya kalau mau menangis, nggak masalah. Tapi, jangan sendirian. Kalau ada Mas, nangisnya sama Mas saja. Kita sama-sama melalui duka serupa. Kita sama-sama berharap Cagas bangun. Kita sama-sama merindukan dan kehilangan Cagas. Tapi, kita harus percaya kalau Cagas akan bangun. Pasti.”
Harum Cagas dan Aresh berbeda, mereka memakai parfum yang tidak sama, mungkin ini adalah perbedaan paling mencolok, sebab Kiya ingat parfum Cagas. Namun, di sisi lain ada pilu dia rasakan karena harum sabun dan shampoonya sama persis. Begitu sama. Dia harus menahan diri untuk tidak memeluk balik.
“Mas Aresh … benar-benar mirip Cagas.”
Iya, Aresh tahu itu.
“Cocok, Mas. Tampan.”
Raut wajah Aresh seketika berubah menjadi kemerahan. Malu.
“Terima kasih,” ucap Aresh langsung beralih pergi. Menghindari tatapan Kiya bagaimanapun.
“Wah bagus sekali. Indah. Kalian sangat cocok!” ucap salah satu pegawai.
Dia mendekat dan tersenyum, seolah sedang membawa Kiya untuk ditampilkan. Aresh menahan napas. Cantik. Benar-benar cantik. Kiya dengan riasan tipis saja sudah berbeda dengan perempuan yang biasa bersamanya. Dia tidak pernah berdebar seperti ini selain bersama Kiya.
Kiya sendiri dapat mendengar bisik-bisik para pegawai perempuan di sana yang heboh dengan ketampanan Aresh. Surai tembaga dimainkan, bertolak belakang dengan warna hitam lekat gagah di tubuh Aresh yang dibungkus. Namun, semakin tampan. Bahkan otot-otot Aresh terlihat tampak sekalipun ditutup dengan pakaian.
Kiya tersenyum simpul karena dia juga setuju, tetapi yang dia lihat tetaplah Cagas tunangannya.
Aresh telah berganti pakaian terlebih dahulu dan menunggu di sofa sampai Kiya selesai. Dia memainkan ponsel melihat nilai sahamnya yang semakin tinggi. Kalau yang terjadi pada Cagas tersiar ke mana-mana, pasti nilai saham mereka akan anjlok. Rasa marah selalu meluap setiap mengingat ada yang berani menyentuh adiknya.
“Perimisi,” ucap Kiya pelan. Kepalanya muncul dari balik ruang ganti dengan malu-malu.
Aresh langsung sigap bangun. “Ya?”
“Mas, pegawainya mana ya?”
Mata Aresh meliar ke segala arah, dia tidak menemukannya, tumben sekali. “Aku bisa carikan dulu. Apa ini urgent?” Sebelum pergi dari sana, Aresh harus memastikan bahwa Kiya bisa menunggu.
Bibir Kiya digigit, dia meringis. “Veil aku menyangkut ke ritsleting gaun. Aku takut rusak. Bisakah bantu lepaskan atasnya saja?”
Aresh menganggukkan kepalanya. “Bisa.” Lantas dia segera mendekat, masuk ke dalam ruang ganti.
Aresh membelakangi Kiya yang menatap ke cermin dengan malu-malu. Tangan Aresh menyentuh kulit punggung Kiya, hingga membuat perempuan itu menahan napas. Berdebar tidak karuan, kemudian pada akhirnya, Aresh berhasil menurunkan ritleting dan melepeas veil tanpa rusak sama sekali.
“N—nggak usah terlalu bawah, Mas. Sampai sini saha,” ucap Kiya buru-buru. Dia tidak ingin ditelanjangi.
“Ehm.”
Mereka tidak sedang berhadapan, tetapi cermin membuat keduanya salah tingkah, sebab saling bisa melihat satu sama lain.
“Anggap saja aku Cagas yang sedang berlatih.”
“Berlatih?”
“Ya, malam pertama nanti pasti Cagas akan melepas gaunmu kan?”
Wajah Kiya berhasil dibuat seperti kepiting rebus.
Alih-alih langsung pergi, Aresh mencium pundak Kiya yang terekspos. Menghirup aroma manis di sana. Aroma musim gugur.
“Ahn—n M—mas Aresh sedang apa?” tanya Kiya terbata-bata.
Ketika kesadaran Aresh kembali, dia langsung memberi jarak. “M—maf. Aku … aku….” Aresh berusaha berpikir apa yang harus dia katakan. “Aku berusaha menjadi Cagas?”
“Menjadi Cagas?”
“Iya, Kiya pasti rindu pada Cagas. Pasti sedih karena moment ini harusnya dilakukan bersama Cagas, maka aku akan berpura-pura menjadi Cagas walaupun hanya sejenak. Aku cium Kiya karena itu.”
Hening beberapa saat sampai Kiya mengangguk sambil memegang baju bagian dadanya agar tidak jatuh dan terlepas hingga menampakkan dadanya. “Te—terima kasih kalau begitu,” jawab Kiya terbata-bata.
“Anytime. Aku keluar dulu.
Aresh buru-buru keluar dan langsung duduk di sofa dengan begitu kacau. Dia menutup wajahnya dengan tangan sambil menengadah menatap langit-langit. Apa yang sebenarnya baru saja dia lakukan? Mengapa dia melakukan itu? Mengapa Kiya begitu polos dan percaya saja dengan b******n sepertinya?!
Dia semakin ingin bertanggung jawab menjaga Kiya dari pria-pria sepertinya, atau lebih darinya.
[]