Prologue : Tawaran Menikah
Kiya menangis tersedu-sedu ketika menemukan tunangannya berbaring tidak berdaya di atas kasur rumah sakit dengan alat-alat yang membantu untuk hidup. Sudah lebih dari tiga bulan, Cagas Eros, tunangannya, tidak juga sadarkan diri. Dokter mengatakan bahwa tidak ada perkembangan sama sekali atau respon dari tubuh Cagas. Cagas telah koma untuk waktu yang tidak bisa dipastikan.
Harusnya Kiya dan Cagas menikah lima bulan sebelum Cagas kecelakaan di mana yang tersisa kurang dari dua bulan. Semuanya sudah dipersiapkan, dari tempat pernikahan, pakaian, makanan, undangan, walaupun yang hadir tidak terlalu banyak. Cagas dan Kiya lebih suka merayakan bersama orang-orang penting saja.
Kiya teramat terpukul, tetapi bersikeras untuk menunggu Cagas. Dia tidak peduli, dia hanya ingin Cagas kembali. Lebih dari lima tahun berpacaran bersama Cagas, membuat pria itu menjadi dunianya. Kiya sendiri sangat dekat dengan Kedua orang tua Cagas dan kakak kembar Cagas, Cavas Aresh.
Cavas Aresh adalah kakak kembar hanya berselang beberapa menit dari Cagas. Kembar idientik. Membedakan keduanya hampir mustahil. Sulit. Orang lain tidak akan bisa kalau saja mereka tidak mengubah gaya rambut dan penampilan berbeda untuk membuat orang mudah membedakannya.
Pulang dari bekerja, Kiya akan ke rumah sakit untuk menemani Cagas di ruangan. Dia berbagi jadwal dengan keluarga Cagas. Malam itu setelah sampai di ruangan, Kiya akan menghapus air matanya dan menyajikan senyuman untuk Cagas.
“Hi, Gas. Aku baru pulang, tadi di kantor pada ngegosipin katanya Mas Mas OB di sana simpenan HRD, padahal dua-duanya sudah punya pasangan. Gila ya?” Kiya tertawa getir. Dia mendekat dan memberikan senyuman etelah mencuci tangan.
“Aku mau cium kamu, tapi masih kotor karena baru pulang kerja. Tadi naik MRT, biasa. Aku mandi dulu, baru cium kamu dan kita nonton bareng ya? Ngobrol-ngobrol juga!” seru Kiya bersemangat.
Kiya itu adalah perempuan manis yang terlihat inosen dan tulus. Ada keluguan berbinar di mata Kiya penuh cinta untuk Cagas. Belum lagi wajahnya sangat cantik dengan tubuh mungil, tetapi d**a dan bokongnya besar. Kesukaan para lelaki. Namun, satu-satunya yang bisa mendapatkan Kiya hanya Cagas Erosh. Pria itu berhasil meluluhkan hati Kiya si tukang belajar semasa kuliah sampai sekarang penuh cinta.
Sekitar satu jam kurang Kiya selesai mandi. Dia bahkan membawa skincare dalam travel size dan juga make up karena ingin terlihat cantik di depan Cagas, bahkan ketika Cagas tidak bisa melihatnya. Sebenarnya Kiya berharap mungkin jiwa Cagas ada di ruangan bersamanya, menatapnya. Menunggu waktu yang tepat untuk kembali ke badannya.
Mengira tidak ada siapa-siapa seperti biasa kecuali dirinya, Kiya keluar dari kamar mandi dengan handuk besar melilit tubuhnya, walaupun tetap terlihat minim karena ukuran dadanya yang sebenarnya tidak terlalu besar, tidak terlalu kecil, cukup, sintal, tetapi badan mungilnya membuat ukuran d**a dan bokongnya terlihat besar. Sementara handuk kecilnya dipakai di rambur untuk dikeringkan karena dia tidak membawa hair dryer. Dia tidak mau menimbulkan bising terlebih ketika ada Cagas di sana.
“Kiya.”
“Cagas! Eh—eh, M—mas Aresh.” Kiya terkejut ketika melihat lelaki itu ada di samping Cagas, duduk.
Aresh sama terkejutnya, tetapi tetap terlihat tenang. Memang pembawaan Aresh terlihat lebih diam dan gelap dari Cagas. Namun, ada kebijaksaan di sana. Sepersekian detik, Kiya kira Cagas telah bangun, dia hampir saja berlari dan berhambur untuk memeluk Cagas dalam keadaan masih memakai handuk. Mungkin handuknya akan lepas dan berujung Aresh melihatnya telanjang. Untung saja dia tidak melakukan itu.
“A—aku ke—” Kiya kelimpungan sendiri. Salah tingkah karena memakai handuk mandi super seksi di depan Aresh.
“It’s ok, Mas yang tiba-tiba datang ke sini. Mas yang salah. Mas … kangen Cagas dan mau ngomong sama kamu?”
Kiya berhenti. “Sama aku?”
Kepala Aresh mengangguk. “Iya, sama kamu. Mas bahas ini sama Ayah dan Bunda tadi.”
Membawa ayah dan bundanya Cagas, ditambah dia dan Aresh memang tidak terlalu dekat dan tiba-tiba pria matang itu mengatakan ingin berbicara dengannya, Kiya jadi semakin penasaran. Dia menganggukkan kepalanya. “Y—ya sudah. Tapi Mas….” Kiya menggigit bibir bawahnya.
“Ya?” Mata Aresh tanpa sadar menatap Kiya lebih rinci. Bibir yang digigit, helai rambut yang keluar sedikit dari handuk. Tubuh yang masih basah, ada beberapa titik air, leher yang jenjang. Kulit yang putih pucat. Benar-benar putih pucat. Kalau diremas sedikit pasti akan ada warna kemerahan. Dan … dadanya mengintip. Mata Kiya, mata Kiya indah.
Kiya, tunangan dari adik kembarnya.
“Baju aku di tas. Aku kira kan tadi nggak ada orang. Biasanya soalnya ambil gitu, terus ganti di luar,” ucap Kiya.
Pusing. Aresh sering mendengar bagaimana Kiya berbicara dengan intonasi lembut, diayun, manja, kesukaan Cagas. Sekarang Kiya berbicara padanya. Kiya tidak melakukan disengaja, dia secara natural seperti itu. “Mas ambilin.”
“N—nggak usah Mas nanti ada pakaian dalamnya!” cegah Kiya buru-buru.
Keduanya saling tatap dan kedua wajah mereka merah. “Ya sudah, Kiya yang ambil.” Aresh langsung membuang muka. Membiarkan Kiya berlarian kecil untuk mengambil pakaian. Diam-diam Aresh menoleh dan melihat Kiya sedikit membungkuk untuk mencari pakaian. Ketika selesai, Aresh langsung membuang muka. Kiya segera mengambil langkah seribu untuk pergi dari sana, kembali ke kamar mandi dan memakai pakaian.
Helaan napas Aresh lolos sambil menatap Cagas. “Gas, cewek lo … gue kuat nggak ya nanti? Polos banget,” ucap Cagas.
Beberapa saat kemudian Kiya keluar. Tubuhnya mungil. Aresh membayangkan bagaimana jika tubuh Kiya berada di dalam pelukannya. Baginya Kiya dan Cagas itu keduanya seperti adiknya. Adik manisnya. Dia selalu tertarik pada cara Cagas dan Kiya mencintai satu sama lain. Kiya selalu ramah padanya, beberapa kali membawakan makanan untuk keluarganya termasuk dirinya.
Aresh ingat sekali ketika Kiya memberikan pie s**u buatannya sendiri sambil tersenyum. “Mas Aresh, ini buat Mas. Dimakan ya, Mas.”
Saat itu Aresh hanya mengangguk datar. Tenang. Sebenarnya dia gemas sendiri. Lalu Kiya berlari kecil menuju Cagas yang langsung dipeluk. Aresh selalu waswas kalau Kiya berlari, takut perempuan itu jatuh. Rasanya dia ingin menggandeng tangan Kiya dan menuntun, menjaganya. Tapi, tentu saja itu adalah tugas Cagas. Hak Cagas.
“Iya, kenapa, Mas?” tanya Kiya sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga.
Harum. Kiya selalu harum.
“Duduk dulu,” kata Aresh.
Kiya melihat sekeliling tetapi bangkunya cuma satu. Harusnya ada tiga di sini. Satu-satunya sofa besar yang agak jauh dan nanti malah tidak sopan atau tidak terdengar.
“Diri saja, Mas.”
Aresh ingin bilang agar Kiya bisa duduk di pangkuannya saja, tetapi dia segera bangun. “Duduk, Kiya.”
“Eh, nggak usah Mas Aresh.”
“Duduk.”
Pada akhirnya Kiya duduk sementara Aresh berdiri. Tinggi. Perbedaan menjuntai. Aresh menatap Kiya membuat perempuan itu semakin terlihat kecil di matanya. Membuat Aresh semakin ingin melindungi dan … melakukan hal lain yang tidak seharusnya. Mungkin memang pikirannya sedang kacau.
“Kiya … begini. Tentang Cagas orang-orang memang belum tahu karena sengaja ditutupi dulu, agar tidak memberi kesempatan pada orang-orang yang mau jahat pada keluarga kita.”
Kiya mengangguk-angguk seperti boneka. Aresh membayangkan sepusing apa Cagas saat bersama Kiya, pantas saja perempuan itu sering dibuat mendesah di kamar Cagas. Terlalu sering Kiya diajak ke kamar saat percakapan di ruang tengah. Dan Kiya, Aresh tahu sekali bahwa Kiya sangat penurut. Kiya adalah tipikal perempuan penurut, anak baik, memberikan apa saja.
Belum apa-apa Aresh sudah kacau.
“Ayah dan Bunda juga maunya kamu tetap jadi keluarga kami.”
Wajah Kiya terlihat muram sekarang. “Iya, Mas. Kiya juga maunya begitu. Tapi….” Kiya memandnag Cagas dan matanya berkaca-kaca. “Cagas belum juga ada tanda-tanda membaik atau bangun.”
Aresh menarik napas lagi mengumpulkan semua niat dan keberanian sebelum mengembuskan perlahan. “Ayah dan Bunda sudah memikirkan semuanya dan meminta bantuan Mas. Mas juga setuju.”
“Setuju buat?”
“Kiya … ayo menikah sama Mas.”
Kiya tersentak. Matanya membelalak. “M—mas? Maksud Mas apa? Aku ini tunangan Cagas, Mas. Mas juga nggak ada perasaan sama aku. Kenapa begini?”
“Sebentar, dengar dulu. Jadi … buat sementara Mas bakal pura-pura jadi Cagas selain jadi diri Mas sendiri. Kiya bisa menikah sama Mas yang sebagai Cagas. Ini rahasia. Hanya status sampai menunggu Cagas bangun. Jadi bagaimanapun Kiya tetap jadi bagian keluarga kita. Kiya tetap jadi istri Cagas. Pernikahannya dua bulan lagi kan?”
Kiya terdiam. Dia perlahan mencerna semuanya dan menimbang satu-satu. Ada keraguan dalam dirinya yang terbaca oleh Aresh.
“Kiya … kalau Kiya sayang Cagas, Kiya pasti ngelakuin ini. Aku juga sayang Cagas. Ini semua demi Cagas juga. Kiya juga mau jadi bagian keluarga kita kan? Kita harus melakukan ini sambil mencari siapa yang menabrak Cagas.” Aresh menyentuh lembut pipi Kiya. Dia tidak menyangka akan melakukan seperti ini.
Kiya itu penurut, anak baik, Aresh tahu itu. Aresh tahu kalau Kiya sangat mencintai Cagas dan akan melakukan apa pun. Dia mengambil kesempatan itu. Lagi pula, ini memang untuk kebaikan bersama.
Pada akhirnya Kiya mengangguk. “Iya, Kiya mau menikah dengan Mas Aresh. Mas Aresh yang sebagai Cagas.”
Aresh lega dan lalu menganggukkan kepala. Mereka tidak tahu bagaimana ke depannya akan terjadi. Apakah Aresh bisa menahan diri.
[]