“Aku sudah diam saat kau memecat Izza kemarin. Tapi kau semakin bertingkah keterlaluan hari ini. Kenapa kau memecat semua pelayan dan pekerja yang ada di sini?! Apa kau sudah gila, Elora?!”
Elora menatap sinis ke arah Stevan yang tiba-tiba saja datang langsung meluapkan seluruh emosinya. Padahal, saat ia menyusulnya di kantor tadi, pria itu sama sekali tidak menunjukkan ketidaksukaan padanya. Justru malah bertengkar dengan Mona.
Elora tidak tahu, sikap manis Stevan yang ditunjukkan padanya di kantor tadi benar-benar tulus atau hanya memainkan drama saja karena sedang ada koleganya?
Entahlah, Elora benar-benar tidak peduli lagi dan cukup senang karena kehadirannya tadi membuat Stevan dan Mona bertengkar. Elora jadi merasa seperti orang ketiganya saja jika keadaannya seperti itu.
“Oh, kau sudah tahu? Apa mereka terlambat mengadu padamu? Padahal niatku datang ke kantormu tadi siang karena ingin mendengar kemarahanmu. Tapi tidak taunya kau justru marah-marah di rumah. Jadi tidak ada yang mendengar sekarang, Steve.”
“Elora, kau pikir ini lelucon? Bagaimana bisa kau bersikap santai begini, hah?!”
Elora menggelung rambut panjangnya, mengabaikan Stevan yang saat ini terlihat semakin emosi. Ia berjalan menjauh, namun langkahnya harus terhenti sebab Stevan menghalanginya.
“Aku belum selesai bicara denganmu. Bisa-bisanya kau meninggalkan aku begitu saja? Di mana sopan santun mu pada suami sendiri, Elora? Kau bahkan semalam pergi ke mana?”
“Haruskah aku bersikap sopan pada suami sepertimu?” sahut Elora dengan berani. Dia sama sekali tak pernah menurunkan pandangannya. Elora sangat anti menundukkan kepala pada Stevan yang menurutnya tak pantas untuk dihormati.
“Dan kenapa juga kau bertanya aku pergi ke mana semalam? Penting memangnya bagimu? Bukankah kepergianku semalam justru membuatmu senang karena kau bisa menyusul selingkuhanmu itu?” lanjut Elora.
Stevan terdiam. Sebab memang semalam pria itu pergi menyusul Mona dan benar-benar tidak peduli saat Elora pergi meninggalkan rumah, setelah pertengkaran hebat mereka.
Stevan berpikir bahwa percuma saja ia mengikuti Elora, karena yang ada mereka pasti akan bertengkar kembali. Maka dari itu, semalam Stevan memilih untuk menyusul Mona saja karena beranggapan bahwa Mona lah yang jauh lebih membutuhkannya semalam. Apalagi, Mona sudah menjadi sasaran empuk Elora sebelumnya.
“Keterdiamanmu berarti benar.” ucap Elora. Kemudian ia mendekat dan lanjut berkata, “dengar ya, Steve. Walaupun kau tak melepaskan aku, jangan harap kau bisa dengan bebas bersenang-senang dengan wanita itu. Sampai kapan pun juga, aku tidak akan pernah membiarkan kau dan wanita itu bahagia barang sedetik pun!”
Stevan bergerak menarik lengan Elora, namun puan itu dengan gerakan cepat langsung menepisnya. Stevan bahkan sampai terkejut dengan reaksi cepat tanggapnya Elora barusan. Seperti bukan Elora yang biasanya.
“Jangan pernah coba-coba menyentuhku dengan tanganmu yang kotor itu!” teriaknya menggema. “Jangan pernah lupakan apa kesalahanmu, Steve.”
“Harus bagaimana lagi aku menjelaskannya padamu jika Mona itu hanya akan dijadikan untuk—”
“Pencetak anak?” sela Elora. “Sumpah demi Tuhan Stevan, apa gunanya kau menikahi ku jika ujung-ujungnya kau ingin mendapatkan anak dari wanita lain?”
“Aku sudah mengatakan apa alasannya dan rasanya aku tidak perlu untuk mengulanginya lagi. Kau mengerti?”
Elora tersenyum kecut dan kembali menyahut, “sudah berapa kali kau bermain dengannya? Berapa kali keluar di dalam? Aku tebak sudah lebih dari 10 kali kan? Atau lebih banyak dari itu? Tiap hari kalian bertemu di kantor, belum yang di luar kantor. Sudah banyak ya? Kenapa tidak jadi-jadi anak jika sudah bermain sebanyak itu?”
“Elora—”
“Oh, apa benihmu tidak bekerja secara maksimal, sayang?”
“ELORA STOP!” bentak Stevan sambil menunjuk wajah sang istri dengan emosi. “Berhenti memancing emosiku! Kau ini sengaja sekali ingin membuat masalah terus menerus denganku. Agar apa? Kau pikir aku akan menceraikanmu? Tidak akan pernah, Elora. Itu tidak akan pernah terjadi. Jadi berhentilah memancingku! Dan untuk masalah pekerja, terserah kau mau memecat semua pekerja yang ada di sini. Aku tidak peduli sama sekali. Asal semua pekerjaan di rumah ini semuanya beres. Mau kau yang lakukan atau kau mau membayar orang untuk melakukannya, terserah. Aku sudah memberikan uang bulanan tersendiri untuk biaya semua pekerja. Jadi semuanya urusanmu, bukan urusanku!”
Setelah mengatakannya, Stevan langsung berlalu pergi dari sana, meninggalkan Elora yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Kedua tangan Elora mengepal kuat dengan mata yang sudah berkaca-kaca, hampir menangis. Ia pikir, sisi lemahnya ini tak akan ada yang melihat, sebab Stevan sudah berlalu pergi. Namun sayangnya, ada seseorang yang tengah berdiri tak jauh dari tempatnya saat ini.
Elora tentu saja terkejut dan buru-buru mengalihkan wajah. Ia benci sekali ada orang yang melihatnya tengah seperti ini. Damian, kenapa pria itu kembali lagi?!
“Mau apa—”
“Aku ada perlu dengan Stevan.” sela pria itu, sebelum Elora berhasil menyelesaikan tanyanya.
Elora tak lagi bertanya, dan membiarkan Damian masuk menyusul Stevan. Entah ada keperluan apa pria itu datang jam segini. Elora benar-benar tidak mengerti dengan Damian. Kenapa betah sekali bolak-balik ke tempatnya?!
+++
Damian melangkah jauh lebih lebar dari sebelumnya, agar tak terpaut jauh dengan langkah Stevan di depan sana. Ia mempercepat langkahnya, dan mulai bersiul.
Siulannya itu berhasil membuat langkah Stevan terhenti dan terpaksa berbalik badan. Dari ekspresi wajahnya saja sudah bisa ditebak jika Stevan agaknya bosan melihat Damian lagi, Damian lagi.
“Apa kau tidak punya pekerjaan? Hampir tiap hari kau kemari.” seru Stevan tanpa tedeng aling-aling. “Ada apa?”
“Ya Tuhan, tidak yang laki-laki, tidak yang perempuan ternyata sama saja ya? Sama-sama galak sekali. Pantas kau dan Elora menikah.”
“Langsung saja ke intinya, Damian. Aku sedang malas mendengar omonganmu.”
“Aku izin tinggal di sini.” ujar Damian dengan cepat, dan tanpa basa-basi sama sekali. Bahkan Stevan sedikit kaget mendengarnya, namun tak memiliki rasa curiga sedikit pun.
“Kau punya rumah sendiri—”
“Belum jadi.” sela Damian. “Bahkan atapnya saja belum ada. Kau pikir membangun rumah bisa selesai hanya dalam waktu satu atau dua bulan?”
“Kau ada apartment. Jangan kau pikir aku tidak tahu jika kau baru saja membeli sebuah apartment di dekat kantor agensimu.”
“Aku sewakan pada salah satu aktor pendatang. Baru saja deal.”
“Batalkan saja,”
“Sudah deal, bodoh! Lagi pula aku sudah menerima uangnya untuk 3 bulan ke depan.” sahut Damian. Lalu ia berjalan lebih mendekat lagi pada sang kakak. “Sudahlah, izinkan saja aku tinggal di sini. Lagi pula ada banyak kamar kosong di sini, Steve. Jangan pelit-pelit pada adik sendiri.”
“Coba kau tanya pada Elora. Jika dia mengizinkanmu tinggal di sini, maka akan aku izinkan.”
Damian yang mendengar itu langsung tertawa. Tentu saja tawanya tersebut mengundang tanda tanya besar Stevan.
“Kau ini benar-benar lucu ya? Untuk apa coba bertanya pada istrimu? Tempat ini adalah milikmu, Steve. Tidak ada hubungannya dengan Elora. Kau yang berhak memutuskan, apakah aku boleh tinggal di sini atau tidak. Lagi pula harga diri lah, Steve. Kau kan baru saja berdebat dengannya. Masa iya tiba-tiba kau menyuruhku untuk bertanya pada Elora? Dan kau akan menyetujui jika Elora memberikan izin. Kau tidak berpikir ya jika Elora nanti akan besar kepala?”
Damian, si mulut beracun yang mulai menghasut lawan bicaranya. Bukan tanpa alasan dia bicara demikian di depan sang kakak, sebab Damian tidak ingin melibatkan Elora dalam hal ini. Karena Damian yakin, Elora tidak akan membiarkannya tinggal di sini, dan berakhir menolaknya.
Jadi, sebisa mungkin Damian berusaha agar mendapatkan izin dari Stevan tanpa harus meminta izin dari Elora. Dan sepertinya, apa yang Damian inginkan akan terwujud.
Stevan tampak tengah berpikir keras.
“Bagaimana Steve? Boleh kan aku tinggal di sini untuk sementara? Aku sudah bawa koper, tinggal membawanya masuk saja kemari.”
Tak sampai semenit, Stevan akhirnya mengangguk mengizinkan.
“Bagus! Kau sebagai kakak harus ada gunanya.” ujar Damian, diakhiri dengan senyuman lebar. “Ya sudah, aku ambil koperku dul—”
“Damian tunggu!” sela Stevan dengan cepat.
Stevan menatap sang adik dengan tatapan serius. Pun pandangannya sama sekali tak berubah. Ada hal yang ingin Stevan tanyakan sekarang juga. Sebab ia teringat sesuatu.
“Bagaimana kau tahu jika aku dan Elora baru saja berdebat? Kau dengar omongan kami dari awal?”