“Bagaimana ini, Steve? Aku takut—”
“Tidak perlu takut, dan jangan pikirkan apapun.” Stevan menyela seraya memegangi kedua pundak Mona—selingkuhannya. “Sekarang kau pulang dulu. Biar aku yang mengurus Elora.”
“Bagaimana bisa aku tidak kepikiran, Steve? Kita sudah ketahuan. Kau sih tidak mau mendengarkan aku. Dari awal aku tidak mau kau ajak kemari. Tapi kau malah nekat membawaku kemari.”
“Memangnya aku tahu jika Elora tidak jadi pergi ke Phuket?! Sejak tadi juga aku terus bersamamu. Jika tahu pun, mana mungkin aku membawamu kemari, Mona! Pikir!”
Mona berdecak. “Sekarang bagaimana jadinya? Istrimu sudah tahu soal kita. Dan aku tidak mau jika sampai orang-orang kantor mengetahui hal ini. Mau taruh dimana wajahku, Steve?!”
“Jangan berteriak di hadapanku!” peringat Stevan, tepat di depan wajah Mona dengan tatapan tajam.
“Aku sedang panik sekarang, mengertilah! Di sini aku lah yang paling dirugikan, Steve. Kau paham atau tidak sebenarnya?!” marah Mona kesal. Meski tahu jika posisinya salah, tapi dia tetap tidak mau jika namanya menjadi buruk di kalangan para karyawan di kantor. “Istrimu itu, kau pasti jauh lebih paham bagaimana sifatnya.”
Stevan menyugar rambutnya ke belakang dengan raut wajah sedikit frustasi. Tapi seperkian detik kemudian ekspresinya berubah. Hal itu membuat Mona semakin kebingungan.
“Steve, coba pikirkan cara supaya istrimu tetap bungkam soal hubungan kita. Jangan diam saja seperti ini! Aku benar-benar tidak mau sampai namaku tercoreng.”
Mona benar-benar tidak mau reputasinya sebagai sekretaris yang baik menjadi hancur karena hubungan terlarangnya ketahuan. Susah-susah ia mempertahankan nama baiknya, lalu hancurkan begitu saja? Tentu saja ia tak mau itu terjadi.
“Sudah aku bilang, kau tenang saja! Serahkan semuanya padaku. Mengerti?”
“Steve—”
“Sekali lagi aku katakan padamu, kau tenang saja. Biar aku yang akan mengurus semuanya.” Stevan menyela. Dia lantas mengusap pipi Mona dan kembali melanjutkan, “sekarang pulanglah. Jangan sampai Elora tahu kau masih ada di sini.”
Mona berakhir pasrah. Dia melimpahkan semua rasa kepercayaannya pada Stevan untuk mengurus semuanya. Karena bagaimana pun juga, mereka ketahuan juga ulah Stevan yang tidak mau mendengarkannya.
“Ya sudah, aku pulang sekarang. Tapi pastikan semuanya baik-baik saja, hm? Aku percayakan semuanya padamu, Stevan. I love you!”
Mona berjinjit dan mengecup bibir Stevan. Di saat yang seperti ini, dua orang yang sudah ketahuan berselingkuh itu masih sempat-sempatnya beradegan manis di teras depan mansion. Akal sehat keduanya memang patut dipertanyakan.
“b******k kalian berdua!” seru Elora yang tiba-tiba saja muncul mengagetkan Mona dan juga Stevan. “Aku menyuruhmu untuk mengusirnya dari sini, tapi bisa-bisanya kau bermesraan dengan jalang sialan ini di teras?! Atau kau mau dia melayanimu sekalian di sini, hah?!”
Stevan menatap malas ke arah Elora. Teriakan Elora benar-benar menganggu pendengaran Stevan. Bukannya merasa bersalah atau menyahuti, Stevan justru membisikkan sesuatu pada Mona dan berakhir Mona langsung masuk ke dalam mobil. Ya, pria itu meminta Mona untuk segera pergi daripada puan itu kembali menjadi sasaran Elora.
“Sebegitunya kau melindungi selingkuhanmu itu, Steve?” seru Elora seraya berjalan mendekat. “Coba katakan padaku, apa alasan kau berselingkuh dariku? Apa salahku—ah, tidak.” Elora menggeleng.
“Apapun kesalahanku seharusnya tidak bisa kau jadikan alasan untuk berselingkuh. Karena aku yakin, hubungan kotormu dengan sekretarismu itu tercipta dalam keadaan sadar. Atas dasar mau sama mau, dan saling tertarik. Kau pria yang tidak tahu diri dan wanita itu benar-benar wanita gatal! Jika dia wanita waras, tidak mungkin mau didekati oleh suami orang!”
Elora mempercayai bahwa tidak ada perselingkuhan yang terjadi akibat terpaksa dan alasannya hanya karena tak menyukai salah satu sifat pasangannya.
“Dimana-mana memang peselingkuh tidak pernah mau disalahkan. Dan berlagak menjadi korban untuk menghalalkan hubungan perselingkuhannya. Kau, benar-benar sialan! Sekarang, pilih aku atau wanita itu?”
“Kau tidak punya hak untuk mengajukan pertanyaan seperti itu padaku, Elora!” jawab Stevan, menekan ucapannya. Ia tidak mau memilih sama sekali. Karena memang ia menginginkan keduanya.
“Pilih salah satu, Stevan! Jangan serakah.”
“Aku tidak mau memilih. Kau dan Mona adalah milikku.” sahut Stevan tidak tahu diri. “Mona akan melahirkan anak untuk kita berdua.”
Elora menggeleng. Masih tidak mengerti dengan jalan pikiran Stevan yang aneh ini. “Aku bisa memberikanmu anak, Stevan! Kenapa harus dari wanita lain, hah?! Aku tidak akan pernah sudi menerimanya!”
“Apa kau sudah lupa apa yang pernah aku katakan padamu sebelumnya? Aku tidak mau kau melahirkan anak sendiri! Aku tidak mau kau kesakitan saat melahirkan anak sendiri. Karena itulah, aku mencari wanita lain agar bisa memberikan kita anak.”
“Kau tidak perlu sampai beralasan gila seperti ini, Steve! Bilang saja jika memang kau suka dengannya. Jangan beralasan gila dan mengaku seolah-olah kau takut aku kenapa-kenapa!”
“Aku memang takut kau kenapa-kenapa, Elora! Jadi biarkan wanita lain saja yang akan merasakan sakit saat melahirkan anak nanti. Kau tinggal duduk diam dan menunggu calon anak kita lahir ke dunia, apa susahnya?”
“Sinting! Kau benar-benar sudah sinting, Steve!” sahut Elora marah. “Sampai kapan pun aku tidak akan pernah mau menerima hal ini. Lebih baik kau ceraikan aku saja!”
Stevan menarik lengan Elora dengan kasar. Lalu mengapit dagunya, sampai Elora meringis kesakitan. “Sampai kapan pun, aku tidak akan menceraikan dirimu. Tidak akan pernah, Elora!”
“Kalau begitu, akhiri hubunganmu dengan Mona.”
“Kau tahu apa jawabanku.”
“Dan kau juga harus tahu apa keinginanku, Steve! Aku mau bercerai! Ceraikan aku! Sampai kapan pun aku tidak mau dimadu!”
“Aku tidak akan menikahinya! Kau satu-satunya yang akan tetap menjadi istriku, Elora!”
Elora menggeleng. “Tapi aku tidak mau memiliki suami tukang selingkuh sepertimu! Aku tetap ingin bercerai!”
Elora tetap teguh pada keinginannya untuk bercerai, sebab Stevan tak bisa melepaskan Mona sama sekali. Wanita mana yang mau jika suaminya memiliki wanita lain di luar sana?
Sementara itu, tatapan Stevan sontak semakin tajam. Pria itu benar-benar dibuat marah oleh Elora yang terus berteriak minta berpisah.
“Apa kau lupa dari mana dirimu berasal, Elora? Apa kau lupa juga siapa yang membiayai pengobatan ayahmu yang sampai sekarang masih dirawat intens di rumah sakit?”
Elora yang awalnya memberontak mendadak langsung terdiam. Dia benar-benar tengah disadarkan saat ini. Ucapan Stevan membuatnya seolah jatuh ke dasar.
“Kau minta bercerai, bukan? Kalau begitu aku akan turuti keinginanmu untuk bercerai, asal kau bisa mengganti semua biaya yang sudah aku keluarkan untuk membiayai pengobatan ayahmu. Jangan lupa juga semua hutang-hutang ayahmu yang mencapai ratusan juta dollar itu. Kembalikan juga biaya pendidikanmu. Lalu semua yang sudah kau gunakan untuk mempercantik diri dan belanja. Ganti semuanya dalam waktu kurang dari 24 jam, maka aku akan menceraikanmu. Bagaimana? Sanggup?”
Elora meremas ujung pakaiannya dengan kuat. Dia benar-benar dibuat bungkam oleh Stevan. Bahkan disadarkan dengan fakta bahwa dia bukan siapa-siapa tanpa bantuan pria itu.
Ingin sekali Elora membalas ucapan Stevan, tapi ia saat ini tak mampu melakukannya. Karena sadar bahwa dia tak memiliki apapun. Semua yang melekat pada tubuhnya adalah milik Stevan.
Elora benar-benar terpaksa dibuat bungkam seperti ini. Lalu, bagaimana caranya ia lepas dari Stevan?