”Ti. Sepertinya Emak sudah enggak bisa lagi mencari utangan buat bayaran sekolahmu. Bapak semakin lemah jadi enggak bisa mburuh nderep ( jadi buruh di sawah orang lain ). Uang hasil kerja ibu cuci baju hanya cukup untuk makan kita berlima saja, bahkan uang sekolah adik-adikmu juga belum ada,” siang itu emak Sarti memberitahu anaknya yang sudah mendapat teguran karena uang pangkal masuk SMA belum dibayar, begitu pun uang SPP sudah nunggak tiga bulan.
Sarti memang pintar, tapi tak dapat beasiswa sehingga untuk sekolah harus membayar. Dia punya dua adik lelaki yang masih kelas 6 dan kelas 3 SD. Tentu ibunya lebih memberatkan anak lelaki karena nanti mereka harus jadi kepala keluarga.
“Injih Mak. Kalau begitu Ti ikut jadi buruh nyuci saja. Enggak usah neruske sekolah,” jawab Sarti dengan manis. Dia memang anak penurut.
“Kamu mau kerja Nduk?” tanya si emak dengan sedih.
“Njih enggak apa-apa. Buat ngeringanin beban Mamake. Kasihan bapake juga enggak bisa nderep sawah lagi,” sahut Sarti. Sebagai anak sulung sudah wajar dia harus ikut meringankan orang tuanya.
“Kemarin, Mbah Surip yang punya sawah bilang Bu Wilda menantune yang istri wakil lurah bilang temannya di kota cari bocah buat momong anake, dari pada buruh nyuci, mending kamu ikut ke kota. Kerja momong lebih ringan dan uangnya lebih besar Nduk,” si emak memberitahu putri sulungnya.
“Boleh Mak, ayok kita ke rumah mbah Surip. Kali saja masih ada lowongan itu,” Sarti yang masih lugu dan polos semangat untuk mengurangi beban orang tuanya.
Sarti dan mamake segera menuju rumah mbah Surip pemilik sawah yang sering bapaknya Sarti garap.
“Ada apa?” tanya mbah Surip. Biasanya orang tua Sarti datang pinjam uang, nanti pengembaliannya dipotong upah nderep sawah. Sekarang bapaknya Sarti sakit, tak bisa kerja. Mau bayar potong upah yang mana?
“Ini Mbah, saya mau tanya tentang lowongan pengasuh anak. Apa masih ada?” tanya Sarti dengan sopan.
“Siapa yang mau bekerja di sana?” tanya mbah Surip.
“Saya Mbah,” jawab Sarti.
“Lha kamu kan sekolah?” mbah Surip sebenarnya tak suka bila ada anak putus sekolah.
“Leres Mbah. Tapi sejak bapake sakit, tak ada lagi biaya sekolah untuk saya. Maka lebih baik saya putus sekolah, yang penting adik-adik masih bisa lanjut,” jawab Sarti dengan penuh kesadaran.
“Sebentar, Mbah tanya dulu ke Wilda, karena yang butuh tenaga pengasuh teman Wilda di kota,” mbah Surip mengambil ponselnya di kamar dan dia coba hubungi menantunya untuk menanyakan pekerjaan yang di kota.
“Sebenarnya itu lowongan kan sudah dua minggu lalu. Jadi kamu jangan terlalu berharap banyak. Takutnya sudah diisi oleh orang lain,” mbah Surip menekan pada Sarti agar tak terlalu berharap yang berujung pada kekecewaan.
“Nasibmu becik. Lowongan itu sudah diisi orang, tapi baru dua hari sudah minta pulang. Jadi sekarang mereka menerima kamu. Besok atau lusa ada yang jemput kamu di sini. Nanti Mbah kabari kalau orang suruhane teman Wilda sudah sampai. Karena orang itu sekarang sedang mengambil hasil panen di desa sebelah. Semoga saja besok tiba di sini,” mbah Surip memberitahu kalau Sarti masih bisa bekerja di kota.
“Paman bukan baru sehari dua hari kerja ikut tuan X, kamu jangan pernah bohong, itu saja kuncinya. Tuan X paling benci pegawai yang bohong. Kalau nyonya juragan tidak banyak omong sama pegawai, nyonya sibuk kerja di pabrik miliknya, maka kamu harus benar merawat den David. Anak mereka baru berumur tujuh bulan.”
“Injih Paman,” Sarti bertekad akan bekerja dengan giat agar adik-adiknya bisa sekolah dengan benar dan tidak putus sekolah seperti dirinya.
≈≈≈≈≈
Sarti dan emaknya segera pulang untuk bersiap-siap agar ketika pegawai orang kota itu datang, mereka tak perlu menunggu. Sarti bukan gadis yang punya banyak baju. Satu tas baju kecil yang kusam itulah bekalnya.
Bekal lain adalah dompet plastik dari toko emas yang dia dapat dari temannya. Isi dompet itu uang 20.000 bekal dari emaknya dan satu buah KTP yang baru dia miliki minggu lalu. Ulang tahun ke 17-nya telah lewat dua bulan tapi KTP nya baru jadi minggu lalu.
“Kamu tidak mabok kan kalau naik mobil?” tanya sopir mobil bak yang membawa hasil panen juragannya.
“Mboten Den,” jawab Sarti.
“Jangan panggil Den, majikan kita sama. Panggil saja Paman Dulah, saya yang biasa ambil panen di desa sekitar sini,” jawab orang yang menjemput Sarti.
“Injih Pamane,” sahut Sarti. Di desanya memang sering ada penambahan hurup E dibelakang sebutan. Misal bapak menjadi bapake, mamak menjadi mamake, dan paman menjadi pamane.
≈≈≈≈≈
“Ini kamarmu. Kamarmu harus selalu rapih dan bersih. Ini baju seragammu. Kamu saya kasih waktu istirahat satu jam. Sesudah itu akan saya kasih tahu letak kamar dan peraturan di sini,” seorang pegawai senior menyambut Sarti. Tidak ramah tapi juga tidak judes.
“Wah aku dapat seragam,” Sarti memperhatikan lima baju dengan warna berbeda. Mungkin agar terlihat dia ganti baju atau tidak. Sarti bersyukur karena tak bingung mencari baju. Maklum baju yang ia miliki sangat lusuh.
Sarti memang kerja hanya lima hari. Bila ada di rumah nyonya majikan akan full bersama putranya tanpa mau ditemani siapa pun.
Kamar yang diberikan untuk Sarti sangat kecil. Hanya ada satu dipan kecil berisi kasur lebar 90Cm dan lemari baju kecil juga meja kecil saja. Tentu saja itu lebih dari cukup untuk Sarti. Di kampung bahkan dia tak punya kasur empuk seperti ini. Dia tidur di bale kayu tanpa kasur.
Sarti segera membongkar tas bawaannya dan dia atur bajunya dalam lemari di kamar itu.
≈≈≈≈≈
“Ini kamar mandi. Karena gantian, maka harus tahu diri. Tak boleh lama kalau mandi. Semua alat mandi kamu bawa ke kamarmu lagi biar tidak saling tuduh siapa yang memakai sabunmu atau odolmu.”
“Ini tempat cuci baju dan jemurnya di sana. Tidak boleh mencuci pakaian di kamar mandi. Ini dapur untuk masak makanan pegawai. Nanti semua harus masak sesuai dengan jadwal piket.
“Ini kamar momonganmu,” Sarti diajak ke lantai dua. Selain kamar ini, kamu tidak boleh masuki dan tidak boleh buka kamar lain.”
Lalu Sarti diajari menyiapkan menu makan David, calon momongannya. Dia juga diajarkan cara memandikan juga memakaikan diapers dan semua hal tentang David.
“Sampai tiga hari ke depan kamu masih didampingi perawat dari yayasan yang memang menjaga David selama tak ada pengasuh. Mulai besok jam enam pagi kamu sudah siap di sini dengan seragammu dan rambut harus diikat rapi atau potong pendek sekalian.”
≈≈≈≈≈
Tak ada yang sulit untuk Sarti. Sudah satu bulan dia menjadi pengasuh David dan hari ini dia menerima gaji pertamanya.
“Kamu masih gaji percobaan. Ini gaji pertamamu,” Pricilla sang nyonya memberikan uang dalam amplop pada Sarti. Saat itu papinya David masuk dan melihat selintas istrinya sedang membayar gaji para pegawai.
Sarti termangu melihat isi amplop. Uang banyak pertama yang ia pegang. Tak terasa dia meneteskan air mata. ‘Bagaimana aku bisa mengirim uang untuk adik-adikku? Aku juga tak punya ponsel untuk saling bertukar khabar. Besok aku akan cari ponsel bekas yang murah agar bisa berkomunikasi dengan adik-adik dan mamake.’
Sarti bahagia, bisa mengurangi beban mamaknya, karena Bagus adiknya yang nomor dua sekarang masuk SMP jadi tentu butuh uang seragam dan buku baru. Bagas adiknya naik kelas empat SD.
≈≈≈≈≈
Sarti kembali ke kamar David. Dia masih tak percaya bisa punya uang hasil kerja sendiri.
“Kenapa kamu sedih? Apa gajimu kurang?”
“Eh tuan Juragan,” Sarti tak enak karena papi David melihatnya sedang termenung. Sarti belum tahu siapa nama juragannya, semua pegawai sini hanya bilang namanya Mr X.
“Kenapa?” sang juragan mendekat.
“Enggak Tuan. Saya senang. Tapi bingung mau kirim berita ke mamake bagaimana dan mau kirim uang ke kampung juga enggak bisa,” jawab Sarti jujur.
“Kamu tidak punya handphone?” sang juragan bingung.
“Saya belum pernah punya handphone tuan. Buat makan saja kami susah. Bahkan saya harus berhenti sekolah karena tak ada biaya,” jelas Sarti jujur.
“Nanti saya kasih handphone kuno saya. Akan saya isi kartu dulu. Jadi kamu dan mamakmu bisa berkomunikasi. Besok uang yang mau kamu mau kirim ke desa juga masukkan amplop dan tulis surat. Akan diantar oleh Dulah, pegawai saya yang waktu itu jemput kamu. Dia kan lusa akan keliling ke desamu,” Sarti senang, juragannya malah baik hati hendak membantu. Tentu saja Sarti sangat senang dibantu majikannya.
≈≈≈≈≈
“Siapa anak itu aku baru melihatnya hari ini, tapi dia sedang menerima gaji dari Pricilla istriku. artinya dia tentu sudah satu bulan bekerja di sini. Apa dia yang mengasuh David ya? Yang waktu itu Dulah bilang ngambil pembantu di desa yang biasa mengambil hasil panen milik Pricilla.”
Namaku Xaverius Liem atau Mr X siapa pun tahu clan Liem adalah pemilik bisnis besar. Aku anak tunggal dan kebetulan laki-laki. Orang tuaku mengharuskan aku punya anak entah perempuan entah lagi pokoknya aku harus punya anak untuk meneruskan clan kami.
Xaverius malas dan tidak suka perempuan putih mulus seperti dari keturunannya. Dia memang keturunan Cina keturunan minoritas di negeri ini. Tapi Xaverius cinta Indonesia. Xaverius lahir dan besar di Indonesia. Jadi dia merasa anak Indonesia asli. Xaverius tak pernah merasa dia lebih dari kebanyakan suku lainnya. Xaverius merasa sama seperti mereka.
Xaverius kecil suka bermain di kampung, bermain bola bermain layangan atau bermain apa pun dengan anak-anak kampung. Orang tuanya tak menyukai itu mereka inginnya dia hanya bergabung dan bergaul dengan anak kalangan atas saja.
Sejak SMP Xaverius dimasukkan sekolah khusus laki-laki dari lingkungan the haves, tak ada kaum menengah ke bawah yang bisa sekolah di sana.
Xaverius semakin tak suka dengan rasis teman-temannya, mereka memandang rendah suku-suku asli Indonesia. Walau tidak semua tapi mayoritas seperti itu menganggap bahwa keturunan mereka itu lebih hebat.
Xaverius suka dengan pengasuhnya yang lembut dan welas asih, tak seperti maminya yang cempreng dan senangnya mendoktrin. Pengasuhnya orang Jawa asli. Kulitnya hitam legam bukan hitam manis. Anak-anaknya pun seperti itu, karena mereka sejak kecil biasa menggembala titik di sawah. Mereka punya itik. Jadi tiap siang sepulang sekolah anak-anak pengasuh Xaverius menggembala itik, sehingga kulit mereka semakin legam. Pengasuhnya tinggal di rumah, anak-anaknya sering datang dan biasanya mami Xaverius akan membeli telur itik hasil peternakan mereka.
Xaverius suka bermain dengan anak-anak kampung dan akhirnya sejak SMP saat mulai ABG, Xaverius mulai mencuri-curi memandang wajah gadis kampung yang dia anggap lebih cantik dari gadis oriental mana pun. Terserah orang bilang dia ndeso yang penting itu type idealnya.