28. Fokus! Fokus!

1030 Kata
DoubleU Corporation, Seoul, Korea Selatan. Jeva mengemasi barang barangnya, pekerjaannya sudah selesai dan ia bergegas untuk pulang. Perempuan itu melirik jendela ruang kerja Daska, atasannya itu masih fous bekerja di balik meja kerjanya. Akhir akhir ini, Daska memang tengah disibukan oleh beberapa pekerjaan. Project baru akan segera diluncurkan sehingga membuat semua orang menjadi sibuk. Daska dan Prasta sering lembur dan pulang sampai larut malam. Prasta bahkan sering menginap di kantor, untung saja di ruangannya disediakan satu ruangan khusus yang bisa di jadikan tempat untuk beristirahat. Jadi Prasta tidak perlu melakukan perjalanan pulang ke apartemen dan membuat tubuhnya semakin lelah karena terjebak kemacetan. “Jev! Ayo pulang!” seru Naya mengajak Jeva untuk pulang bersama. Meskipun rumah mereka tidak searah, mereka akan berjalan bersama menuju halte bis dan menunggu bersama sampai bus tujuan mereka tiba. Kecuali saat Naya di jemput kekasihnya. “Hehm, kau duluan saja!" Jeva menolak ajakan Naya. "Aku masih harus menunggu Elsa, dia masih lembur katanya,” sahut Jeva tersenyum ramah. “Oh.” Naya mengangguk mengerti. “Ya sudah aku pergi dulu ya, Jev. Bye!” pamitnya kemudian. “Hehm, hati hati di jalan.” Jeva tersenyum mengiringi kepergian Naya. Perempuan itu duduk santai di kursinya sembari bermain ponsel. Sesekali melirik ke arah ruang kerja Daska yang pemiliknya masih berada di sana. Sudah lama sekali ia tidak melihat wajah serius Daska saat bekerja. Dulu saat mereka masih pacara, ia sering menemani pria itu bekerja. Di apartemen pria itu, hal yang sering membuat Jeva kesal karena Daska membawa pekerjaan ke rumah. “Lho, Jev? Kau belum pulang?” tanya Ervan yang baru masuk ke ruangan. Pria itu baru saja selesai meeting dengan Pak Prasta. “Hah?” Jeva menoleh ke arah pria itu. Sedikit terkejut karena takut tingkahnya barusan di ketahui oleh rekan kerjanya itu. “Aku sedang menunggu Elsa, dia masih harus mengerjakan beberapa laporan,” ujarnya kemudian tersenyum canggung. “Oh.” Ervan mengangguk mengerti. “Kau mau pulang sekarang?” tanya Jeva kemudian. “Tidak.” Ervan menggeleng malas. “Aku harus lembur dengan Pak Prasta untuk membahas pekerjaan kita besok,” imbuhnya kemudian tersenyum kecut. “Haish, padahal hari ini aku ada janji kencan,” gumam Ervan menjatuhkan tubuhnya ke kursi kerjanya. Jeva tersenyum kecil mendengar omelan Ervan barusan. "Kencang dengan siapa? Bukankah kau tidak sedang dekat dengan seseorang," kementar Jeva menyipitkan matanya ke arah Ervan. "Hahahaha, aku baru saja berkenalan dengan seseorang di aplikasi matchlove. Kau juga harus mencobanya! Seru sekali, Jev, lumayan untuk menemani kesendirian kita di negeri orang. Aku akan mengirim linknya padamu," celoteh Ervan bagaikan tim pemasaran dari aplikasi yang ia sebut matchlove tadi. "Terimakasih atas tawarannya, tapi aku tidak membutuhkannya," tolak Jeva mentah mentah. "Nikmati saja kencanmu dengan siapapun itu." "Kenapa? Kau sudah memiliki teman dekat?" tanya Ervan ingin tahu. "Ah, sepertinya belum. Aku tidak pernah melihatmu bersama teman kencan." Ervan terlihat sanksi. "Atau jangan jangan LDR ya? Kekasihmu ada di Indonesia?" Pria itu tak menyerah untuk mengorek informasi dari Jeva yang memang tertutup. "Tidak tidak." Jeva menggeleng. "Aku memang belum tertarik untuk mencari pasangan," jelasnya kemudian sebelum Ervan semakin ngawur dan salah paham. "Oh, mau fokus karir dulu?" tanya Ervan mengerti. "Begitulah." Jeva tersenyum tipis. Padahal alasan terbesarnya adalah karena ia belum siap memulai kisah yang baru. Dddrrrt... Dddrrtt...... Ponsel milik Jeva bergetar beberapa kali. Perempuan itu segera mengecek pesan yang masuk ke ponselnya. Elsa | Jev, mian. | Sepertinya kita tidak bisa pulang bersama. | Pekerjaanku bertambah banyak karena Hee Jin salah input data. | Kau pulang duluan saja ya... Jeva menghela nafas begitu membaca pesan dari Elsa, ia lalu mengetik pesan balasan untuk Elsa. Jeva | Baiklah | Hati hati nanti pulangnya | Bye, sampai ketemu di rumah. Jeva kemudian menaruh ponselnya ke dalam tas, ia lalu beranjak berdiri dan bersiap untuk pulang. “Elsa sudah pulang?” tanya Ervan yang melihat Jeva hendak pergi. “No.” Jeva menggeleng pelan. “Pekerjaannya masih banyak dan ia menyuruhku untuk pulang lebih dulu,” sahutnya kemudian. “Oh, ya sudah hati hati di jalan,” ujar Ervan tersenyum ramah. “Hehm.” Jeva hanya bergumam dan berlalu meninggalkan ruangan Unit Keuangan. Daska melirik kepergian Jeva dari ruang kerjanya. Meskipun ia menghadap ke arah komputer dan mencoba fokus untuk bekerja, namun fikirannya selalu berputar pada Jeva. Ia seringkali mencuri pandang ke arah perempuan itu. Menghindar saat Jeva tengah menatap ke ruang kerjanya. “Haish! s**t!” Daska memukul keyboard di hadapannya sedikit kencang. “Astaga!” seru Ervan yang kaget karena teriakan Daska barusan. Daska menoleh ke arah pintu masuk . “Hehm.” Pia itu berdeham untuk menunjukan wibawanya sebagai seorang atasan. “Ada apa?” tanyanya kemudian, bersikap santai setelah sebelumnya berteriak memaki. “Tidak apa apa, Pak.” Ervan menggeleng gelengkan kepalanya. “Kalau memang Pak Daska masih sibuk, saya akan datang stengah jam lagi,” ujarnya kemdian. Ia baru masuk ke dalam ruangan karena ketukannya tak mendapat respon dari Daska. Namun atasannya itu justru memakinya. “Tidak, saya tidak sibuk. Ada apa?” tanya Daska lagi. Dalam hati merutuki sikapnya yang memalukan tadi. Ervan masih terlihat gugup, ia kemudian menyerahkan proposal di tangannya kepada Daska. “Ini adalah hasil rapat saya tadi bersama dengan Pak Prasta. Beliau meminta Anda untuk mengeceknya dan 1 jam lagi Anda di tunggu di ruangannya untuk konsultasi terkait pekerjaan besok,” jelasnya panjang lebar. “Baiklah.” Daska menerima proposal yang diberikan oleh Ervan. “Ada lagi?” tanyanya kemudian menoleh ke arah Ervan yang masih berdiri di depannya. “Tidak, Pak,” sahut Ervan cepat. “Saya pamit pergi,” imbuhnya kemudian. “Eh, Van!” Daska memanggil Ervan sebelum pria itu mencapai daun pintu. Ervan menoleh ke arah Daska. “Ada apa ya, Pak?” tanyanya takut takut. “Ehm...” Daska dia sejenak. “Tadi itu saya tidak berteriak padamu, jadi tidak usah takut dan gugup seperti itu,” ujar Daska pada akhirnya. Ervan hanya mengangguk sekilas, lalu pamit pergi. “Ck, memalukan,” gumam Daska mengacak acak rambutnya. Di ruang ruangan, Ervan bergumam sendiri melihat sikap Daska yang aneh barusan. "Kenapa dengan Pak Daska? Apa dia baru saja putus cinta? Seram sekali saat ia marah marah seperti tadi," dumel Ervan sembari menyelesaikan laporan. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN