3. Makna Setiap Bunga

1195 Kata
Hari yang sibuk kembali di mulai. Jeva tersenyum menatap bunga bunga di hadapannya. Memikirkan arti dari bunga yang tengah ia rangkai. Setiap bunga memikiki makna dan arti yang berbeda beda, ia pernah belajar hal itu. Maka dari itu, bunga adalah salah satu hadiah yang akan dipilih oleh beberapa orang untuk diberikan kepada orang tersayang. Jeva sangat senang bekerja di toko bunga ini. Ia senang saat melihat orang orang datang untuk membeli bunga di tempat ini untuk orang orang tersayang mereka. Mereka memilih bunga bunga dengan arti dan makna yang berbeda, ada kekasih yang memilih mawar merah sebagai simbol cinta sejati, ada seorang sahabat yang memberian bunga lily sebagai simbol persahabatan dan lain sebagainya. Seperti kali ini, ada seorang pelanggan yang membeli bunga daisy untuk diberikan kepada ibunya sebagai hadiah ulang tahun. Jeva merangkai buket yang sempurna agar ibu dari pelanggannya ini bisa senang. “Igoeyeo.” Jeva memberikan buket bunga daisy kepada pelanggannya. “Gamshahamnida.” pelanggan tersebut memberikan sejumlah uang kepada Jeva setelah menerima buket bunga daisy. "Nde, gamshahamnida," seru Jeva kepada pelanggan tersebut. [Iya, terimakasih.] “Dasi oseyo,” imbuhnya kemudian. [Silahkan datang kembali.] pelanggan tersebut pergi dengan senyum yang mengembang sempurna. Setelah pelangganya pergi, Jeva berkeliling untuk menata bunga bunga di toko itu. Ia mengamati bunga bunga itu, lalu mengambil setangkai bunga lili lalu mencium baunya. Harum. Tring! Pintu tokonya kembali terbuka. "Eoseo osibsio." [Selamat datang] Jeva menoleh ke arah pintu dan tersenyum menyambut tamu yang baru masuk ke dalam tokonya. Jeva menatap wanita paruh baya itu, terlihat anggun dan sangat cantik. Padahal Jeva tahu kalau usia wanita itu sudah tidak muda lagi. Anehnya, wanita itu justru terlihat seperti wanita solo. Wanita khas Asia Tenggara, dengan kulit kuning langsat. “Anyeonghaseo,” sapa Briena kepada pelanggannya yang baru masuk itu. "Anyeonghaseo," sapa orang itu terlihat kikuk. “Naega doul su-isseneun geos-i isseubnikka?” tanya Jeva kemudian. [Ada yang bisa saya bantu?] "Ehm, I'am looking for... flower... Ah, namanya apa ya?" gumam orang itu pelan. Jeva tersenyum mendengar gumaman wanita paruh baya itu. Ternyata benar dugaannya kalau wanita itu dari Asia Tenggara dan yang lebih mengagetkan dia dari kampung halamannya Indonesia. "Anda dari Indonesia?" tanyanya kemudian tersenyum ramah. "Ah, iya!" seru wanita itu heboh, lalu tersenyum malu. "Astaga, saya sudah kebingunan mau mengatakan apa. Saya tidak terlalu lancar berbahasa Korea, saya fikir Anda hanya bisa berbahasa Korea," ocehnya kemudian. "Anda juga orang Indonesia?" Jeva hanya tersenyum. "Hehm, iya. Saya dari Indonesia," jawabnya kemudian. "Wah, saya tidak menyangka akan bertemu orang dari negara yang sama. Saya dari Jakarta. Anda dari mana?" tanyanya kemudian. Rasa canggung dan kikuk hilang sudah entah kemana. "Saya asli Malang," sahut Jeva. "Oh, Malang." Wanita itu mengangguk angguk mengerti. "Ehm, tadi Anda ingin membeli bunga apa?" tanya Jeva kemudian. "Oh, iya. Saya ingin membeli bunga tulip, daisy dan baby breath," jawab wanita itu tersenyum ramah. "Tulip putih?" tanya Jeva memastikan. "Iya, tulip putih." Wanita itu mengangguk. "Lalu satu lagi buket anyelir," imbuhnya kemudian. "Ini untuk satu orang?" tanya Jeva ingin tahu. "Iya." Sekali lagi wanita itu mengangguk. "Bunga tulip melambangkan semangat dan cinta yang sempurna sedangkan bunga anyelir melambangkan cinta yang abadi seperti cinta ibu kepada anak anaknya," gumam Jeva pelan. "Bunga ini pasti untuk orang yang sangat Anda cintai," ujarnya kemudian tersenyum. Tangannya dengan telaten merangkai buket bunga untuk wanita itu. "Anda benar. Bunga ini untuk anak saya. Dia baru saja meresmikan cabang perusahaan di Seoul," celoteh wanita itu tidak dapat menutupi rasa bangganya. Jeva tersenyum melihat ekspresi bahagia yang tergambar jelas di wajah wanita yang sudah tidak muda lagi itu. “Silahkan.” Jeva menyerahkan dua buket bunga kepada wanita itu. “Terimakasih. Berapa total semuanya?” tanya wanita itu. Jeva menyebutkan sejumlah nominal uang dan wanita itu membayarnya dengan nominal yang sama. “Terimakasih. Silahkan datang kembali!” seru Jeva mengantarkan wanita itu keluar dari toko. Wanita paruh baya itu tersenyum ke arah Jeva sebelum masuk ke dalam mobil. Roda empat berwarna hitam yang tadi terparkir di depan toko bunga melaju pelan dan bergabung dengan kendaraan di jalan raya. “Huff.” Jeva menghela nafasnya pelan lalu masuk kembali ke dalam toko. Ia kembali mengatur bunga bunganya. Menyirami dengan semprotan khusus. Mencatat daftar bunga yang stoknya menipis. Tring! Ponsel milik Jeva berbunyi nyaring. “Yeoboseyeo?” sapa Jeva kepada si penelpon. Rupanya yang menelfon adalah ahjuma pemilik kedai resto dan bar di Itaewon. Setelah bekerja di toko bunga, seharusnya Briena bekerja di sana. “Ah, geuraeyo? Nde, nde, alghaeseumnida.” Jeva mengangguk mengerti. “Nde!” Sambungan terputus. “Libur,” gumam Jeva pelan. Tring! Kembali ponsel milik Jeva berdering, bukan dering panjang melainkan dering pendek. Ada pesan singkat yang masuk ke dalam ponselnya. Pesan itu dari Subin eonnie. Jeva segera membuka pesan tersebut. Subin Eonnie │ Jeje! I’am sorry. It seems like today the flower shop has to close faster because I can’t go there. You can go home now. Lock the flower shop. I’ll get the key in your apartement tomorrow. Goodbye! Kembali Jeva menghela nafasnya. Toko juga libur. Itu artinya setelah ini ia akan menganggur sampai jam 12 malam nanti. Terbiasa bekerja seharian, Jeva merasa aneh saat tidak melakukan apa apa. Setelah memrapikan bunga bunga di toko dan mengecek semuanya, Jeva meraih tasnya lalu keluar dari toko. Tak lupa ia menguncinya, lalu bergegas pulang. Ia hanya perlu naik bus dan menunggu 3 kali terminal baru setelah itu turun di terminal ke tiga. Jeva berjalan santai menuju apartemennya. Sampai di apartemen, ia melihat Elsa tengah rebahan dengan menggunakan masker sembari membaca komik. “Kau tidak bekerja?” tanya Jeva. “Kau sendiri kenapa sudah pulang?” tanya balik Elsa. “Subin eonnie memintaku untuk menutup tokonya lebih cepat. Dia juga menyuruhku untuk pulang lebih awal,” jawab Jeva. “Sekarang jelaskan kenapa kau masih di apartemen dan bukannya bekerja di cafe shop?” tanyanya kepada teman sekamarnya. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal satu apartemen agar lebih hemat. Hidup di negara orang tentu saja mereka harus memikirkan pengeluaran. Sekalipun selama 3 tahun ini Jeva sudah cukup berhemat. “Aku mengambil cuti. Aku bosan, perlu hiburan,” celoteh Elsa dengan santainya. “Cih.” Jeva hanya mendengkus. Tiba tiba Elsa bangkit duduk, ia melepas masker di wajahnya. “Yak! Bagaimana kalau kita jalan jalan saja?” ocehnya kemudian. “Jalan jalan?” tanya Jeva tak mengerti. Di saat seperti ini temannya itu malah mengajaknya jalan jalan. “Ayolah, Jev! Aku yakin selama di Korea, kau tidak pernah jalan jalan. Iya kan?” celoteh Elsa berusaha membujuk Jeva. Jeva diam sejenak, memikirkan tawaran Elsa barusan. Kalau di fikir fikir apa yang dikatakan oleh Elsa memang benar. Wanita itu memang tidak pernah pergi jalan-jalan, kecuali saat ia menginjakkan kakinya di negeri gingseng ini 3 tahun yang lalu. Itu pun hanya di Itaewon. “Je! Ayolah! Mau ya? Kita jalan-jalan!” Elsa masih berusaha membujuk Jeva. “Huft.” Jeva menghela nafasnya pelan. “Baiklah. Aku ikut!” ujar Jeva pada akhirnya menerima tawaran Elsa. “Yeay!” seru Elsa heboh sendiri. Tidak ada salahnya untuk mengistirahatkan tubuh dan terutama hatinya. Mungkin dengan jalan-jalan, hatinya bisa sedikit terobati. Hanya sedikit. Jeva tidak bisa berharap banyak. Setidaknya, rasa sakit di hatinya bisa berkurang. Sedikit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN