14. Perempuan Bernama Jeva

1019 Kata
Prasta kembali ke ruangannya setelah sebelumnya menemui klien di restoran depan perusahaan. Pria itu duduk di kursi kebangsaannya, ia merenung sejenak memikirkan pertemuannya tadi dengan salah satu pegawainya di depan lift. Seharusnya dia tidak perlu memikirkannya, dia tidak merasa mengenal pegawai itu dan seharusnya tidak perlu terganggu. Tapi semakin ia mencoba untuk mengenyahkan fikirannya dari orang itu, ia justru semakin terganggu. “Ini kali kedua,” gumam Prasta kemudian. Mengingat pertemuan pertamanya dengan Jeva, dimana ia juga merasa ada yang aneh dengan perempuan itu. “Kenapa aku merasa kalau Jeva selalu menghindariku? Dia seperti menyembunyikan sesuatu, padahal aku merasa tidak pernah mengenal perempuan itu sebelumnya,” imbuhnya pelan. "Apa yang membuat Jeva menghindar?" Prasta memutar kursinya ke arah dinding kaca yang menampilkan view kota Seoul dari ketinggian. Pria itu mengeluarkan ponselnya dari saku jasnya lalu menghubungi ibunya. Mungkin saja ia lupa kalau dulu mereka pernah saling mengenal, ia akan mencoba bertanya kepada ibunya. “Halo, Sayang,” sapa ibunya Prasta dari ujung telfon. “Halo, Ma,” sapa balik Prasta. “Kenapa menelfon?” tanya Shinta pada putranya. “Ehm, Ma.” Prasta diam sejenak. Bingung harus memulai darimana, ia belum pernah bertanya tentang perempuan lain selain Belva kepada ibunya. "Ada apa? Kau baik baik saja 'kan?" tanya Shinta yang menyadari nada ragu dalam suara putranya. “Apa Mama tahu perempuan bernama Jeva?” tanya Prasta pada akhirnya. “Hehm? Jeva?" Shinta sedikit terkejut saat Prasta menyebutkan nama seseorang. Nama perempuan selain Belva. "Mama mengenalnya? Atau mungkin mama tahu kalau aku mengenalnya?" tanya Prasta karena Shinta terdiam. "Mama tidak pernah mendengar nama itu,” ujar Shinta jujur. “Memangnya kenapa?” tanyanya kemudian. “Tidak. Tidak apa apa,” sahut Prasta. Ia fikir Jeva adalah seseorang yang dikenalnya dulu. Ternyata bukan. Memang bukan. Ia tak pernah mengenal Jeva sebelumnya. ***** Jeva dan Elsa duduk berdua di halte bus dekat gedung DoubleU. Mereka baru saja pulang kerja dan bersiap untuk pulang. Elsa bermain dengan ponselnya, sesekali melirik ke arah Jeva yang duduk di sampingnya. Sedari tadi Jeva hanya diam saja, perempuan itu memang sering melakukan hal itu. Jadi Elsa diam saja dan menunggu Jeva untuk memulai pembicaraan jika memang ingin. Bus tujuan apartemen mereka tiba dan mereka pun naik bersama. Mereka duduk di bangku nomer tiga dari belakang. Jeva masih diam saja, perempuan itu menoleh ke luar jendela. Entah benar benar menikmati jutaan lampu gemerlap kota atau sedang memikirkan sesuatu. Bahkan saat mereka sampai di apartemen, Jeva masih diam saja. “Ah, lelahnya,” gumam Elsa begitu masuk ke dalam apartemen. Perempuan itu bahkan langsung menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur Jeva. Jeva sendiri langsung menaruh tasnya di tempat gantungan, lalu memakai sandal rumahan dan terakhir ganti baju. Ia juga membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap fikirannya tidak menerus memikirkan pria kembar yang sejak tadi pagi menyita perhatiannya. “El, ganti baju dan cuci mukamu sana! Jangan sampai kau tertidur dan mengomel di pagi hari karena lupa membersihkan make up,” omel Jeva setelah keluar dari kamar mandi. Akhirnya, perempuan itu berbicara. “Yayaya, cerewet sekali kau seperti ibuku,” celoteh Elsa, dalam hati ia senang karena Jeva mengomel seperti biasanya. Perempuan itu berjalan gontai menuju kamar mandi. Jeva hanya geleng geleng kepala kemudian mengambil tas milik Elsa dan menaruhnya di gantungan tas. Perempuan itu kemudian memutuskan untuk berbaring tidur, tubuh dan fikirannya terasa lelah. “Kau sudah tidur?” tanya Elsa saat perempuan itu keluar dari kamar mandi. Tidak ada jawaban dari Jeva. Perempuan itu memang pura pura tidur. Ia tahun kalau Elsa akan bertanya banyak hal padanya dan ia belum siap menjawab pertanyaannya. Melihat Jeva tidak merespon pertanyaannya, Elsa memutuskan untuk mengambil ponselnya di atas meja lalu naik ke atas ranjangnya. Ia bermain ponsel sampai akhirnya tertidur karena malam semakin larut. ***** Keesokan harinya saat Jeva baru bangun tidur, ia melihat Elsa sedang memasak di dapur. Perempuan itu mengamati sahabatnya dengan tatapan heran. Tidak biasanya Elsa bangun lebih pagi darinya, di tambah lagi dia memasak sarapan pagi. “Good morning!” sapa Elsa tersenyum ceria. Perempuan itu menaruh sup kimchi di depan meja makan. Ada berbagai macam lauk pauk lainnya yang akan menemani sup kimchi buatannya. “Kita sarapan dulu, baru setelah itu siap siap,” serunya kemudian. Jeva duduk di kursi makan dalam diam, ia masih menatap Elsa dengan tatapan aneh. “Apa kau semala mimpi buruk?” tanyanya kemudian. “Hah? Tidak.” Elsa menggeleng pelan. “Lalu ada apa dengan pagi ini? Kau bangun lebih pagi dariku, menyiapkan makanan sebanyak ini dan kau bahkan bersih bersih.” Jeva melihat ke sekelilingnya, ia melihat apartemen sudah rapi dan bersih. “Aku hanya terbangun saat subuh dan tidak bisa tidur lagi. Makanya aku melakukan tugasmu,” celoteh Elsa mengangkat bahunya tak acuh. “Yak! Hari ini kau harus bersikap baik padaku. Aku melakukan semua ini untukmmu,” imbuhnya kemudian. “Cih, lalu kau juga harus bersikap baik padaku setiap hari karena aku melakukan seperti ini setiap hari,” omel Jeva kemudian namun tak urung tertawa. Elsa tertawa kecil melihat ekspresi Jeva saat ini. Ia senang bisa melihat senyum dan tawa Jeva lagi. Diamnya Jeva itu sangta menakutkan. “Ayo makan!” serunya kemudian. Mereka makan dalam diam. Elsa selalu mengomel tentang apapun. Ia menceritakan atasannya di kantor yang sangat menyebalkan. Juga teman kantornya yang super seksi dan sering menggoda karyawan lain. “Kau iri padanya karena bentuk tubuhmu rata,” komentar Jeva pedas. “Apa? Ya! Siapa yang rata? Tubuhku ini profesional,” oceh Elsa tidak terima dibilang rata. “Oh, ya?” Jeva senang sekali menggoda Elsa. “Ck,kau fikir tubuhmu tidak rata. Tubuh kita itu sebelas duabelas,” oceh Elsa kemudian. “Setidaknya aku tidak berfikir untuk menggoda para pria di luaran sana,” balas Jeva. “Kenapa? Kau ingin mereka yang menggodamu,” cibir Elsa. “Tidak. Aku tidak tertarik menjalin hubungan semacam itu,” balas Jeva tak acuh. Sendok di tangan Elsa berhenti di udara. “Jev, bagaimana kala...” “Aku sudah selesai,” potong Jeva. “Aku akan mandi duluan. Cuci mangkukku!” imbuhnya kemudian berjalan menuju kamar mandi. Elsa menatap pintu kamar mandi yang tertutup. Ia menghela nafasnya pelan. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN