“Dia sudah menikah”
Wanita itu tertegun menatap kalimat yang tertera pada layar laptopnya. Sudah lebih dari satu jam ia terdiam disana, meraba-raba perasaan macam apa yang kini tengah berkecamuk didada.
Apakah ini yang disebut kecewa?
Apakah ini yang dinamakan patah hati?
Mungkinkah rasa sakit ini adalah manifestasi perasaan yang ia tekan selama ini?
Perasaan itu menyeruak, berhamburan, membanjiri seluruh diri.
Apakah ini penyesalan yang harus ia hadapi?
Ia tidak tahu, yang jelas ada badai kecil tengah terjadi di dalam sana. Badai yang ia tekan dalam-dalam agar tidak membesar.
Awalnya, dia berpikir bahwa perasaan ini hanya akan bertahan selama beberapa jam. Sebagai bentuk rasa terkejut atas kabar yang baru ia dengar. Lalu, ternyata perasaan itu bertahan selama sehari, dan dia masih berpikir bahwa ini adalah efek kecewa atas tidak adanya kalimat penjelasan apa pun yang pria itu ucapkan.
Hari semakin berlalu dan ia semakin tidak bisa melupakan hal itu begitu saja, sudah satu bulan ia mencoba meredam badai di dalam dadaa dan ternyata kegagalannya berujung pada isak tangis ditegah hari pada saat ia sedang sibuk-sibuknya menyelesaikan pendidikannya.
Damn! Waktu yang tidak tepat untuk menangisi seorang pria!
Ia menyerah. Ia kalah dan mengakui perasaan yang selama ini dipungkirinya. Ia telah jatuh cinta, bertahun-tahun lalu pada pria tak berwajah yang selama ini ia puja di dalam kepalanya.
Tidak ada satu buku pun yang bukan dirinya sebagai tokoh utama.
Tidak ada satu filmpun yang bukan dirinya sebagai pemeran pria.
Tidak ada satu tulisanpun yang bukan dia sebagai karakternya.
Tidak ada satu lagupun yang bukan tentang personanya.
Tidak ada yang berhasil mengusir dia dari benaknya.
Tidak ada.
Semuanya tentang Sang iblis nocturnal yang menemani hari-harinya. Siang dan malam.
Dahulu, ia selalu menolak kenyataan tersebut, ia akan berdalih bahwa ini adalah ikatan persahabatan yang dalam dan efek dari tingkat kekaguman yang tinggi. Ia mengagumi apapun yang ada didalam pria itu, walau tak berwajah tapi khayalannya berkata bahwa pria itu tampan, walau tak pernah jumpa tapi ia tahu pria itu baik dan ramah. Walau tak pernah berdekatan, tapi ia terikat begitu kuat pada tali asing yang tak terlihat.
Dunia seakan mencemoohnya. Baru saja kehilangan dan baru saja disadarkan akan perasaannya.
Ia kecewa pada dirinya sendiri yang selama ini telah menolak semua perasaan itu.
Kenapa tidak mengakuinya saja. Kenapa?
Tapi logikanya yang masih berusaha waras berkata bahwa tidak mungkin jatuh cinta pada pria yang kau temui didalam permainan dunia maya. Tidak mungkin perasaan itu nyata. Kau bahkan tidak tahu rupa dan akhlaknya. Kau bahkan tidak tahu siapa dia sebenarnya. Yang kau tahu hanya karakter pahlawan yang dia mainkan dan percakapan menyenangkan yang kalian miliki selama beberapa tahun yang telah lewat.
Hanya obrolan!
TIDAK LEBIH!
Apa yang kamu harapkan? Dunia memutar waktunya dan kembali ke masa lalu untuk bisa berkata “ya” pada ajakan pria itu untuk berjumpa?
Bullshit!
Online lovey dovey is bullshit!
Online dating is bullshit!
Online matchmaking is bullshit!
Tidak ingat pada Rina? Pada Dewi? Pada Anggun? Yang telah mengalami penipuan dating online itu?
Ingat baik-baik alasan kenapa dulu kau menolak untuk bertemu semua teman game onlinemu!
Karena kau telah melihat bagaimana hancurnya hati teman-temanmu yang telah tertipu pria bangsatt yang mereka temui di internet. Dan kamu enggan menjadi salah satu korbannya!
Lagi pula, pria itu menghilang. Bertahun-tahun tak pernah menampakan batang hidungnya. Tidak pernah online barang sedetik. Tidak pernah mengirim pesan barang sekata. Tidak pernah memberikanmu kesempatan untuk menjelaskan apapun. Tidak pernah.
Sudah lima tahun, dan kamu masih mau menunggu?
Pertanyaan itu membuat tangisnya pecah semakin kencang, hingga membuatnya sengaja memaksimalkan volume radio agar suara pilunya tak terdengar dan diketahui oleh siapapun yang ada diluar sana karena tempat parkirnya dekat sekali dengan jalan raya.
Sekarang adalah jam istirahat oleh karena itu jalanan sedang ramai oleh orang yang sedang mengisi warung-warung tenda untuk makan siang atau sekedar merokok dan minum kopi.
Suara emosional Rascal Flatts yang sedang menyanyikan What hurts the most memenuhi mobilnya yang menjadi saksi betapa besar luapan perasaan yang tak terbendung lagi dihatinya. Ia sudah melakukan upaya terbaik untuk menahan perasaannya, tapi sungguh ini benar-benar tak tertahankan.
Dadaanya ngilu, perasaanya berkecamuk. Oleh karena itu ia memilih untuk mengabaikan semua pekerjaan dan mengasingkan diri di dalam mobil karena tidak mungkin ia menangisi pria asing di depan temannya. Pria yang bahkan belum pernah ia bertatap muka dengannya. Pria yang bahkan telah menghilang sejak lama. Pria yang selalu ia rindukan. Pria yang mengisi mimpi-mimpinya.
Wajahnya tertelungkup makin dalam dikemudi mobil. Tidak mungkin untuknya bersikap baik-baik saja didepan semuanya, semua orang yang mau tidak mau harus ia hadapi lagi beberapa menit kedepan, dengan riasanya yang kini terlihat sangat kacau balau. Karena tidak mungkin ia menjelaskan semua perasaan ini pada siapapun.
Siapapun.
Karena tidak ada yang akan pernah bisa mengerti perasaanya. Bahkan dirinya sendiri.
Ia benci pada perasaanya.
Ia benci pada keterlambatannya.
Ia benci kepada waktu yang telah tidak berbaik hati padanya.
Kenapa?
Kenapa begitu lambat untuk menyadari semua ini.
Kenapa ia harus penyesalan yang harus ia dapati.
Kenapa ia melewatkan hal sepenting ini.
Kenapa waktunya tidak pernah tepat.
Lagu mengalun begitu emosional di radionya.
Getting up, getting dressed, livin’ with this regret
But I know if I could do it over
I would trade give away all the words that I saved in my heart
That I left unspoken
What hurts the most
Is being so close
And having so much to say
And watching you walk away
And never knowing
What could have been
And not seeing that loving you
Is what I was trying to do
Rascal Flatts – What hurts the most
Rascal Flatts sialan. Kenapa dia harus bernyanyi se-emosional itu hanya untuk mengingatkannya pada kenyataan bahwa kini yang bisa ia lakukan hanyalah membiarkan pria itu pergi sementara masih banyak kata yang tak sempat terucap. Bahwa kini, ia harus melanjutkan hidup dengan penyesalan yang ada.
Bahwa kini, pria nya sudah menjadi milik wanita lain.
***