03. Senyuman Itu

1615 Kata
"Satu hal yang sangat aku inginkan saat ini adalah melihat senyuman yang terpatri di wajahmu yang sendu itu." ( Muhammad Zayyan Altair ) *** Acara tahlilan di kediaman Ina berjalan dengan khidmat. Banyak handal taulan, rekan sejawat dan sanak saudara hadir dalam acara itu. Dan Zayyan termasuk di antara tamu yang hadir di sana. Ia mengenakan baju kemeja berwarna navy dan sarung bercorak hitam bercampur coklat dilengkapi dengan peci berwarna senada dengan bajunya. Ia terlihat menawan dengan kacamata yang bertengger di hidung bangirnya. Dan jangan lupakan mata yang tajam bagaikan elang dihiasi alis yang tebal menambahkan ketampanannya itu. Pukul sepuluh lewat dua puluh malam semuanya sudah kembali ke rumah masing-masing. Hanya yang terdekat saja yang masih tinggal dan duduk berbincang-bincang. Bahkan terdengar riuh rendah suara dari para lelaki di halaman rumah yang masih beralaskan tikar dan ambal. Santri putri dan putra masih sibuk berkeliaran mengangkut piring-piring dan gelas bekasan makanan dan minuman yang sudah raib dari wadahnya. Bahkan Ina sendiri juga ikut membantu dan sibuk di dapur. Mereka membersihkan dan meletakkan kembali barang-barang yang dipakai tadi ke tempat semula. Walaupun para santri putri sudah meminta Ina untuk istirahat, tapi gadis mungil berlesung pipit itu bersikukuh untuk turun tangan langsung. Dalam kesibukannya, Ina menyempatkan diri untuk berbaur dengan sepupu-sepupu yang masih tinggal. "Kak Ina tidak istirahatkah?" Salma, sepupu dari pihak abinya mendekat dan duduk di samping Ina. "Belum, masa Kakak tidur duluan sedangkan kalian enggak," ujar Ina tersenyum hangat seolah mewakilkan keadaan hatinya. Matanya masih terlihat sembab. Salma tidak bertanya lagi dan mereka larut dalam obrolan yang tidak ada ujungnya itu. Acara tahlilan kali ini Zayyan datang sendiri tanpa abi dan ummi. Ia berharap akan melihat Ina walau hanya sekejap mata. Namun sayang, sampai waktunya Zayyan pamit pulang Ina tak kunjung keluar. Pupus sudah harapan Zayyan untuk melihat Ina walau hanya dari jarak jauh. *** Sebulan sudah sejak kepergian ibunda tercinta. Kini Ina sudah terlihat tenang walau sesekali rindu itu datang menyapa. Namun, Ina sudah ikhlas dan ridha atas segala ketentuan Sang Pemilik jiwa. Mata yang sembab kini kembali ceria. Senyum yang pudar kembali berwarna. Sejak siang tadi ia terlihat sibuk dengan kegiatannya membuat kue pesanan Ummi Dini. Semalam Ummi Dini menghubungi Ina, minta dibuatkan kue lapis dan kue bolu karamel. Ummi Dini jatuh cinta dengan kue buatan Ina ketika Ummi Dini bertandang kembali pada hari kelima. Ummi Dini semakin yakin untuk menjadikan Ina sebagai menantunya. Sudahlah shalihah, pinter masak pula. Ibu mana yang tidak sudi menerima sebagai menantu, maka rugilah ia, karena menyia-nyiakan seorang wanita shalihah, penyejuk hati, pelipur lara, dan penentram jiwa sang suami tercinta. Ummi Dini sudah berjanji akan datang sebentar lagi. Ina bergegas menyelesaikan kegiatannya membuat kue. Namun, sepertinya tidak akan selesai tepat waktu karena Rayyan, keponakannya dari Jiya ikut andil dalam mengacaukan aktivitasnya. "Rayyan, Sayang..., please! jangan gangguin Khallaty, ya. Bentar lagi yang punya kue datang loh. Rayyan nggak mau, kan, kalau Khallaty dimarahin sama yang punya kue nanti? Duduk sini dulu, ya, Sayangnya Khallaty...," perintah Ina pada Rayyan, bocah kecil berumur dua tahun itu. "Ayyan au tue, Aty. Tue Aty nak, Ayyan au...," rengek Rayyan dengan suara cadelnya membuat Ina mencubit pipi gembilnya gemas. "Rayyan mau kue?" Angguk Rayyan cepat. "Kalau Rayyan mau kue, Rayyan mesti dengar cakap Khallaty, ya...?" lanjut Ina lembut dan tersenyum melihat Rayyan dengan semangat menuruti semua perintahnya. Ina tidak tahu bahwa aktivitasnya di dapur bersama ponakan tersayang mendapat perhatian seseorang. Melihat senyuman gadis itu untuk pertama sekali terbit setelah beberapa hari ke belakang masih dalam keadaan sendu, membuat hati sang empunya mata berdesir syahdu. Terekam di memori kejadian beberapa minggu yang lalu di mana ia pertama sekali melihat wajah ayu, namun sendu itu mengisi hati tanpa ia sadari. Wanita mungil berhijab syar'i kini ia nantikan kehadirannya untuk mengisi kekosongan hati. Melihat sang pujaan hati tersenyum manis bak bidadari, menularkan senyum di bibirnya sehingga membuat Hauzan yang baru lewat terperangah dibuatnya. "Hei...! Kenapa senyum-senyum, nih? Adakah yang menarik perhatianmu, Shahib?" Tepukan lembut di pundaknya membuat Zayyan terkejut dan mengelus-elus dadanya pelan. Ya, lelaki itu adalah Zayyan. Hauzan mengedarkan pandangannya mencari sesuatu yang menarik perhatian Zayyan tadi. Tidak ada seorang pun di sana, yang ada hanya Ina dan Rayyan yang sedang sibuk dengan adonan-adonan kue pesanan Ummi Dini. Dan itu semakin membuat Hauzan penasaran akan tingkah Zayyan, sahabatnya. "Astaghfirullah...!" Hanya istighfar dan salah tingkah sebagai jawaban yang diberikan Zayyan. Hauzan tersenyum melihat Zayyan. Baru kali ini ia melihat Zayyan salah tingkah seperti itu. Karena setahu dia, Zayyan adalah sosok yang tenang dan berwibawa. Sosok yang lembut lagi bijaksana. "Lagi mandangin Adekku, ya, Zay?" Seakan tiada puasnya, Hauzan malah menggoda Zayyan dengan pertanyaan dan seringaiannya yang semakin membuat Zayyan gugup salah tingkah. "Awas loh, nanti zina mata jadinya. Halalkan saja dia, biar antum puas memadang kapan saja," lanjutnya terkekeh pelan namun menggoda. Sudah sepuluh menit yang lalu Zayyan tiba di kediaman keluarga Hauzan. Ia menemani ummi untuk mengambil pesanan kuenya. Kemudian ia pamit ke kamar mandi yang ada di samping dapur di mana Ina sekarang berada. Setelah dari kamar mandi, Zayyan mendengar suara lembut seorang wanita dibarengi suara cadel yang menggemaskan membuat Zayyan berhenti seketika dan mengalihkan perhatiannya. Melihat Ina di sana membuat ia lupa kembali ke ruang tamu bergabung dengan ummi dan yang lainnya. "Ehmmm...!" Zayyan berdeham pelan. Tanpa menanggapi ucapan Hauzan yang menggodanya, dia beranjak dari sana dengan senyum mengulum malu. Melihat itu semakin membuat Hauzan terkekeh. Sungguh, Hauzan senang sekali melihat reaksi Zayyan seperti itu. Setelah Zayyan hilang dari pandangannya, Hauzan kini beralih mendekati Ina yang masih belum menyadari kejadian tadi. "Sudah siap Dek, kuenya?" "Belum Bang, tinggal bolu tuh yang masih di dalam oven," tunjuk Ina ke arah oven yang masih menyala. "Ammi au tue?" Rayyan mengulurkan tangannya yang berisi kue untuk Hauzan. "Ammi ndak au tue Ayyan, tue Ayyan ndak enak," goda Hauzan pada ponakannya dengan meniru suara cadel Rayyan. "Isk, Abang ni! Suka sekali godain Rayyan. Nanti kalau dia nangis Abang harus tanggung jawab tuh!" Ina mendelik pada Hauzan. "Ada Mak-nya yang diamin 'ntar." Enteng sekali jawaban Hauzan, jangan lupa juga kekehannya yang semakin lebar itu. Entah angin apa yang membuat Hauzan senang sekali menggoda Zayyan dan Ina hari ini. Ada semacam rasa bahagia tersendiri di dalam hatinya melihat adiknya tidak lagi bermuram durja sejak ditinggal ibunda tercinta. Rayyan yang tidak mengerti dengan obrolan Ammi dan Khallaty-nya melanjutkan memakan kue lapisnya. "Ummi Dini udah datang, Bang?" Ina mengalihkan pertanyaannya setelah melihat Rayyan anteng dengan makanannya. "Udah dari tadi." "Ya Allah! Abang kenapa nggak bilang sama Ina? Apa udah disuguhi air sama Kak Zahra, Bang?" "Belum, ini Abang ke dapur mau bilangin Adek buatin minum sekalian kuenya," ujar Hauzan. Tangannya tidak lepas mengusap-usap kepala Rayyan dengan lembut. Sebelum beranjak dari duduknya, Ina bertanya lagi ke abangnya siapa saja yang ada di depan. Setelah mendapatkan jawabannya, Ina langsung menyeduh teh dan kopi. Sedangkan Hauzan kembali bergabung dengan Zayyan dan umminya di depan meninggalkan Rayyan dan Ina. Selang lima menit kemudian seduhan teh dan kue yang tadinya masih di dalam oven kini sudah tersaji cantik di atas nampan tinggal membawanya ke depan. Hati-hati Ina melangkahkan kakinya menuju ruang tamu dengan membawa nampan yang penuh dengan makanan dan minuman. Di belakangnya Rayyan mengikuti dengan langkah kaki yang masih tertatih-tatih. "Masya Allah, Nak Ina! Kenapa merepotkan diri, Sayang? Sini ... Ummi bantu." Ummi Dini yang pertama sekali melihat Ina langsung bangun menyambut kedatangannya seraya mengulurkan tangan untuk mengambil nampan di tangan Ina. Mendengar nama Ina disebut, Zayyan yang sedang berbincang dengan Hauzan langsung menolehkan wajahnya menatap Ina dengan tatapan mata yang menyiratkan rindu, karena beberapa minggu tak bertemu setelah pertemuan pertama yang lalu. Dan itu semua tidak luput dari perhatian Hauzan yang menilik dengan senyum yang dikulum. Ina menata cangkir minuman dan kue dibantu oleh Ummi Dini di atas meja. Ternyata di sana hanya abangnya yang menemani Ummi Dini dan Zayyan. "Kak Zahra mana, Bang?" tanya Ina setelah meletakkan cangkir-cangkir minuman ke atas meja. "Udah masuk, Syameel mau tidur dia," jawab Hauzan pada Ina, kemudian mempersilakan Ummi Dini dan Zayyan untuk minum dan mencicipi kue alakadarnya. "Ini udah sangat istimewa loh, Nak Hauzan, apalagi kena sentuhan tangan Ina pasti enak." Ummi Dini merespon ucapan Hauzan dengan tersenyum dan melirik ke arah Ina sembari mengambil kue lapis. "Aty, Aty, Ayyan au mpat Umi cama Abi. Ayyan au ulan." Merasa bajunya ditarik-tarik, Ina menunduk dan menyejajarkan tubuhnya dengan Rayyan. "Rayyan mau pulang?" Angguk Rayyan. "Tapi Abi sama Umi Rayyan lagi nggak ada di rumah, gimana? Apa Rayyan tetep mau pulang?" lanjut Ina lagi. Ada keraguan di sana. Tapi akhirnya Rayyan minta ditemani tidur di kamar Ina saja. Ina minta undur diri dan beranjak dari tempatnya tadi dengan menggandeng tangan Rayyan memasuki kamarnya. Dia minta maaf karena tidak bisa menemani Ummi Dini. "Ke mana Nak Jiya sama Abizar?" "Jiya menemani suaminya bertemu dengan rekan bisnisnya di kota, Mi." Hauzan menjawab pertanyaan Ummi Dini. "Owh...! Pantes dari tadi nggak kelihatan." Selanjutnya Zayyan hanya mendengar obrolan umminya bersama Hauzan. Sesekali ia menimpalinya. Setelah menidurkan Rayyan, Ina kembali keluar menuju dapur untuk membungkus kue pesanan ummi ke dalam kotak lalu ia masukkan ke dalam paper bag. Kini kue-kue itu sudah berpindah tangan ke Ummi Dini. Ina berkali-kali meminta maaf karena tidak sempat menemani Ummi Dini tadi. Dan ketika dia sudah bebas dari Rayyan, Ummi Dini malah pamit mau pulang. "Maaf Ummi, Ina merasa tak sedap hati lah, Mi. Sekali-sekala Ummi datang, Ina malah tinggal ke kamar," ujar Ina dengan nada manja. Mendengar nada manja yang keluar dari mulutnya, Ina langsung memukul pelan bibirnya dan itu tidak luput dari pandangan Zayyan. Zayyan terkekeh pelan melihatnya. Sungguh, andai ia berani pasti akan ia dekati. Namun, semua itu tidak ia kuasai. Ia takut memulai. Hanya pada Allah sajalah ia berserah diri semoga gadis di depannya menjadi bidadari hati yang di gariskan untuknya di azali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN