"Barang siapa berdo'a kepadaKu, akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepadaKu, akan Aku beri. Siapa yang memohon ampun kepadaKu, akan Aku ampuni hingga terbit fajar."
(HR. Bukhari)
***
"Zayyan, Abi sama Ummi mau ke Lhokseumawe. Kamu ikut atau tinggal?"
Zayyan yang sedang membaca kitab Bulughul Maram, menoleh dari bacaannya sejenak.
"Ngapain ke Lhokseumawe, Bi?" tanya Zayyan melihat abi dan ummi sudah siap-siap akan berangkat.
"Ke tempat sahabat Ummi, Bang, Ummi dapat kabar kalau sahabat Ummi meninggal tadi sore. Ini sekarang Abi sama Ummi mau ke sana, Abang ikut nggak?"
Innalillahi wa inna ilaihi raji'un...!
Batin Zayyan dalam hati.
"Ikut, Mi, tunggu Abang siap-siap dulu, ya." Zayyan beranjak dari duduknya dan meletakkan kitab di atas lemari samping nakas yang ada di dalam kamarnya yang luas itu.
Selama satu jam perjalanan tidak ada yang berbicara. Zayyan fokus mengemudi. Sepanjang jalan lisannya berzikir dan matanya mengamati agar tidak ada yang dilewatkan. Baru pertama kali dia ke tempat sahabat abi dan umminya ini.
Mereka sampai di kediaman duka sudah memasuki waktu shalat magrib. Sebelum Zayyan memarkirkan mobil di tempat yang mudah dijangkau, dia menurunkan abi dan ummi terlebih dahulu. Setelahnya dia bergegas menuju Mushalla di bagian kanan sisi belakang rumah.
Zayyan memasuki Mushalla ketika jama'ah sudah selesai shalat dan berzikir. Dia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru Mushalla. Tanpa sengaja dia melihat seorang wanita mungil nan manis dengan balutan mukena putih sedang khusyu' membaca Al-Qur'an. Hatinya hangat dan berdesir.
Sadar waktu magrib hampir lewat, Zayyan langsung beristighfar dan mulai melaksanakan shalatnya. Dia bermunajat pada sang pemilik 'Arsy agar memudahkan dan meringankan segala urusan gadis mungil itu. Walau dia tidak mengenal gadis itu, namun dia merasakan kedekatan yang sangat kuat dengannya.
***
Di luar, tamu semakin ramai. Banyak yang datang untuk berdo'a bersama.
Zayyan sedang memperhatikan sekitar. Di sudut kanan terdapat satu rumah panggung kecil yang dindingnya hanya sebatas punggung lelaki dewasa ketika duduk, biasanya itu disebut dengan balee atau balai.
Dia kagum dengan dekorasinya, walaupun sederhana namun terlihat indah dan nyaman kalau duduk santai atau istirahat di sana.
Setelah puas dengan kekagumannya, Zayyan mendekati abi yang sedang duduk dengan seorang laki-laki yang terlihat familier. Begitu dia sampai di sana, Zayyan terkejut dan tidak percaya bahwa rumah duka ini adalah rumah kenalannya, Hauzan Lutfia.
"Assalamu'alaikum...."
"Wa'alaikumussalam, ahlan wa sahlan ya akhi Zayyan..., akhirnya antum bertandang juga ke rumah ane walaupun dalam keadaan dan suasana duka begini, hehehe...."
Hauzan bangun dari duduknya dan menyambut salam Zayyan serta merangkulnya dengan tersenyum. Dia dan Zayyan pertama sekali bertemu dan dekat ketika mereka sama-sama masih mondok di pesantren salafi.
Namun mereka tidak satu kabilah. Hauzan kabilah wilayah Lhokseumawe, sedangkan Zayyan kabilah wilayah Bireuen. Tetapi mereka satu kelas selama lima tahun. Karena dua tahun setelahnya, Hauzan kembali ke rumah dan menikahi Zahratul Aulia. Teman masa kecilnya dahulu.
"Tidak masalah dalam keadaan apapun, semua sudah ditentukan oleh-Nya." Senyum Zayyan membalas pelukan hangat sang sahabat.
Pertemuan antara Zayyan dengan Hauzan yang sudah lama berpisah membuat Zayyan tampak bahagia. Senyum semringah tidak lepas dari wajahnya.
"Ane turut berduka atas meninggalnya Ibumu, Zan. Semoga Allah menempatkannya bersama orang-orang yang shalihin."
"Aamiin, Allahumma Aamiin...! Syukran laka ya Akhi fillah." Hauzan mengaminkan do'a dari sahabatnya itu.
"Mari kita ke dalam," ajak Hauzan kemudian pada abi dan Zayyan.
Di dalam, Zahra dan Jiya masih sibuk dengan tamu-tamu yang datang melayat. Hauzan memanggil Jiya untuk menyiapkan makanan buat keluarga Zayyan yang datang dari jauh. Zahra yang melihat suaminya masuk langsung mendekat.
"Ada apa, Bang?" tanya Zahra pada Hauzan, suaminya.
"Ini, Abang suruh Jiya untuk menyiapkan makanan buat keluarga Zayyan. Apa masih lama?" Hauzan mengedarkan pandangannya. "Adek mana? Panggil dia agar ikut makan sekali bersama keluarga Zayyan. Jangan biarkan dia sendiri, dia masih lemas itu," lanjut Hauzan yang sejak tadi tidak melihat Ina.
Tanpa banyak lagi bertanya, Zahra meninggalkan suaminya untuk memanggil Ina yang belum keluar sedari tadi sejak ia masuk ke dalam kamar.
"Ina ... Ina ... Dek, bangun! Kamu belum makan dari tadi. Ayuk kita keluar, Abang mencarimu untuk makan bersama." Zahra menepuk pelan lengan Ina.
Perlahan Ina membuka matanya yang masih sembab, wajahnya pun tampak kuyu. Rasa kehilangan membuatnya tidak berdaya. Begitu melihat Zahra, Ina kembali menangis.
"Hussttt...,! Sudah Ina, kamu jangan nangis lagi. Ingat, Sayang, nanti Ibu tersiksa di sana melihatmu menangis seperti ini." Zahra mengelus bahu Ina dengan pelan dan lembut, seakan-akan sentuhannya itu akan menyakiti Ina.
"Mana Ina yang biasanya kuat dan tegar? Kak Zahra pun sedih tapi kita mesti bersabar, Ina. Kak Zahra nggak mau lihat Ina menangis lagi. Yuk, ke kamar mandi dan basuh wajahmu biar nggak kelihatan sembab begitu," lanjut Zahra menenangkan adik bungsu suaminya yang terlihat rapuh itu.
Setelah merasa tenang, Ina bangun dari tidurnya, melepas mukena yang belum dibukanya tadi dan menuju ke kamar mandi yang ada di sudut kamarnya.
"Kak, tungguin Ina, ya," pintanya sebelum masuk kamar mandi.
"Iya, Sayang...."
Selagi Ina di kamar mandi, Zahra melipat mukena dan membereskan tempat tidur Ina.
***
Sepuluh menit kemudian Zahra dan Ina keluar dari kamar. Ina mencoba tersenyum pada setiap orang yang menyapanya. Tangannya masih menggenggam tangan Zahra.
"Dek, sini kita makan bersama," panggil Hauzan.
Ina mendekat dan duduk di samping Hauzan. Dia masih menunduk dalam, tidak berani menatap orang yang ada di sekelilingnya.
Melihat Ina yang diam tanpa bicara, Ummi Dini berinisiatif mendekat dan memeluk Ina dengan sayang.
"Ina Sayang, sabar, ya, Nak. Anggap saja Ummi sebagai Ibumu kalau kamu berkenan. Ummi sangat menyayangimu, Sayang. Ina mau ya, Nak, jadi anak Ummi? Lagian Ummi juga nggak ada anak perempuan yang ada cuma anak bujang, satu-satunya pula tuh." Kekeh Ummi Dini menenangkan dan merangkul Ina dengan sayang.
Ummi Dini melirik anaknya yang tersenyum simpul karena diikutsertakan dalam candaan umminya itu.
Jadi ini adiknya Hauzan? MasyaAllah, cantiknya. Astaghfirullah!
Batin Zayyan ketika melihat Ina, dan begitu sadar dia langsung beristighfar memohon ampun pada Allah.
Makanan sudah dihidangkan oleh Jiya dan Zahra. Zahra dan Jiya tidak ikut makan bersama dengan Ummi Dini dan keluarganya karena keduanya sibuk dengan tamu-tamu yang lain.
Zayyan sesekali menatap wajah Ina dan itu tidak luput dari perhatian Ummi Dini. Melihat tingkah anaknya, terbersit satu ide di pikiran Ummi Dini untuk mendekatkan mereka berdua.
"Ehmm...! Ina sudah ada calon belum, Nak Hauzan?" Mendengar pertanyaan ummi Dini membuat Zayyan tersedak dengan makanannya. Ia batuk-batuk sambil memukul dadanya pelan.
Dengan cepat Ina menyodorkan air minum dan menyerahkannya ke tangan Zayyan. Ina tidak menyadari bahwa gelas yang dia berikan adalah gelas air minum yang ada di depannya untuk Zayyan. Dengan kata lain, gelas itu adalah gelasnya yang baru diminum seteguk tadi. Sedangkan Zayyan, tanpa mengetahui siapa yang memberinya air minum langsung dia sambar dan meminumnya hingga tandas. Ummi Dini tersenyum puas.
"InsyaAllah, belum Ummi." Hauzan melihat Ina dengan tersenyum kemudian beralih ke Zayyan. Sepertinya ia paham maksud dari pada pertanyaan Ummi Dini.
"Abi, gimana kalau kita menyambung kembali silaturahim dengan keluarga Nak Hauzan? Apalagi dulu masa gadis-gadis Ummi dulu, Ummi pernah berencana berbesanan dengan Almarhumah. Gimana, Bi, setuju nggak?" bisik ummi pada abi.
"Sssttt...!!! Ummi ini nggak lihat waktu dan tempat. Ini masih dalam keadaan duka, Mi. Nanti-nanti kita bahas lagi." abi balas berbisik.
Mendengar bisikan abi, ummi langsung diam dan melanjutkan makannya. Tapi ummi bertekad dalam hati untuk meminang Ina menjadi menantunya. Ummi sudah jatuh cinta dengan pesona Ina. Padahal Ina tidak melakukan apa-apa.
Ina melihat Zayyan, kemudian dia sadar kalau gelas air minum tadi adalah gelasnya, bekas minumannya. Semburat merah hadir begitu saja di pipinya yang sedikit chubby.
Ya Allah, kenapa aku salah memberinya air bekasan minumku. Bagaimana ini, ya Allah?
Cemas Ina dalam hati. Dia tidak bermaksud memberinya air yang salah. Dia berharap tidak ada yang menyadari itu.
Setelah makan dan berbincang sejenak, Zayyan dan kedua orang tuanya pamit pulang.
Begitu duduk di dalam mobil, Ummi Dini langsung mengungkapkan kembali rencananya tadi pada abi. Zayyan yang tidak tahu apa-apa hanya diam saja dan mengemudi mobil membelah jalan raya dengan kecepatan sedang.
Malam sudah agak larut. Namun jalanan tidak pernah sepi dari hiruk-pikuk aktifitas para manusia yang masih mencari rezeki untuk keluarga mereka.
Banyak penjaja makanan di sepanjang jalan. Melihat itu Zayyan merasa sangat bersyukur bahwa Allah telah memberinya begitu banyak kenikmatan yang tidak akan sanggup untuk diperhitungkan.
Selama satu jam perjalanan pulang Zayyan hanya mendengar obrolan antara abi dan umminya. Begitu mendengar namanya disebut, Zayyan menimpali sekedar saja karena ia belum paham ke mana arah pembicaraan kedua orang yang sangat dia kasihi dan sayangi itu.
"Ummi sangat senang kalau Abang menikah dengan Nak Ina, apa Abang sudi dengan keinginan Ummi, Bang?"
Mendengar pertanyaan ummi, Zayyan menoleh ke belakang. Sekarang mereka sedang berada di perempatan lampu merah, sehingga membuat Zayyan leluasa mendengar dan ikut mengobrol dengan abi dan ummi.
Melihat mata ummi yang berbinar dan penuh harap seperti itu membuat Zayan terkekeh menggelengkan kepalanya.
"Mi, Ummi mau Abang nikah? Apa Ummi nggak keberatan kalau Abang ninggalin Ummi lagi nanti?"
"Kalau sama Nak Ina, Ummi izinkan, Bang. Lagian Abang kan bisa bawa Ina pulang ke rumah kita. Biar Ummi ada temennya, selama ini Ummi sendirian aja nggak ada temen. Apa Abang nggak kasihan lihat Ummi sendirian terus?" Ummi mengerucutkan bibirnya mencoba merayu anak semata wayang yang tampan menawan itu tanpa peduli dengan tatapan suaminya yang terlihat merajuk.
"Mi, jadi selama ini Ummi anggap Abi apa?" nah kan! Abinya merajuk.
Zayyan terkekeh geli melihat drama dadakan abi dan umminya.
Tak terasa mereka sampai di rumah tepat pukul setengah dua belas malam. Perjalanan yang melelahkan, namun juga menyenangkan.
Zayyan bergegas melangkahkan kakinya ke dalam kamar meninggalkan abi dan ummi.
Abi yang akan membuka pintu kamar langsung dicegat oleh ummi. Abi mengernyit bingung sebagai pertanyaan atas kelakuan istri tercintanya.
"Bi, Abi setuju kan apa yang Ummi bilang tadi?" ternyata isterinya ini masih keukeuh ingin bermenantukan Ina menjadi istri Zayyan.
"Ummi tanya dulu sama yang bersangkutan, mau tidak? Abi mah ikut saja mana pilihan Zayyan. Yang penting wanita shaliha, jangan wanita barbar yang akan menjadi pendampingnya nanti," jelas abi panjang lebar.
Sebuah senyuman terbit di wajah ummi. Menandakan bahwa rencananya sudah final. Apalagi suaminya tidak keberatan dan sekarang tinggal tunggu jawaban dari Zayyan. Semoga semua berjalan sesuai rencana.
Dalam sujud panjang, Zayyan memohon ampunan Yang Maha Kuasa atas kesilapan yang dia lakukan sepanjang hari ini, baik tersengaja ataupun tidak sengaja. Karena dia hanyalah seorang hamba yang penuh dosa.
Zayyan juga meminta agar Allah menghadirkan wanita shaliha sebagai penyejuk jiwa, pelipur lara dan pemuas dahaga. Terbersit nama Ghalin Zayyina di hatinya. Dengan hati yang khusyu' ia bermunajat pada Sang Pencipta.
"Ya Allah, bila dia adalah jodohku dan yang terbaik untukku, dekatkanlah hatinya dengan hatiku. Bila dia bukanlah jodohku dan yang terbaik untukku, maka jauhkanlah dia dariku dan hapuskanlah rasa ini di hatiku agar aku tidak sia-sia dalam menantinya."
Tanpa ia tahu dan sadari bahwa di atas sajadah dan dalam sujud panjang yang lain, seorang wanita juga bermunajat kepada Sang Penguasa Hati manusia. Ia meminta diberikan yang terbaik dalam segala urusan. Terutama hatinya.
Setelah kepergian ibu serasa ada yang hilang di hatinya. Kosong. Selama ini hanya ibunyalah yang menjadi tumpuan kasih dan sayang. Sekarang semua sudah berbeda. Sekalipun abang dan kakaknya ada, tapi tidak akan sama seperti ketika ibu masih ada di antara mereka.
Dan malam itu ditutup dengan harapan dan impian setiap makhluk yang menghamba pada Tuhan.
TBC