“Cinta itu bukan hanya tentang bahagia tapi juga tentang luka. Karena ketika kau memilih cinta maka kau harus bersedia untuk terluka,” nasihatnya seperti seorang yang sudah paham sekali akan seluk beluk tentang cinta. Mira tertawa, meledek kalimat-kalimat bijak seorang 'patah hati akut' yang dibalas Delia dengan mencubit lengannya hingga gadis itu mengaduh.
“Susah deh yang gak bisa move on. Ngomongnya lukaaaaa mulu!” nyinyir-nya yang mengundang pelototan Delia tapi dibalas wajah konyol Mira. Kedua-nya terkikik. Delia menggelengkan kepalanya lalu memilih membuang muka ke jendela kereta. Bibirnya masih bergetar menahan tawa akibat ulah konyol Mira. “Susah ya luka hati itu,” ucap Mira. Nada suaranya nampak sendu. Matanya menerawang ke langit-langit kereta. Pikirannya melayang-layang pada wajah Wirdan dan Anggun. “Gak ada obatnya,” lanjutnya yang mem-buat Delia geli.
“Kata siapa gak ada obatnya?” goda Delia lalu terkekeh sambil me-nyenggol lengan Mira. “Allah itu menciptakan penyakit, bukan tanpa obat, Mir. Karena Allah pasti menciptakan sesuatu berpasang-pasangan. Sama seperti ketika Allah menciptakan Nabi Adam, Dia tak membiarkan Nabi Adam sendirian. Maka itu, Dia ciptakan Hawa untuk menemaninya. Sama juga seperti kita. Dia menciptakan kita tak sendiri, Dia ciptakan pasangan-pasangan kita. Hanya saja.....,” ucapnya menggantung. Matanya melirik nakal ke arah Wirdan yang sedang asyik mengobrol dengan Fahmi di gerbong sebelah. Mira balas menyenggolnya lalu keduanya terkekeh geli. “Kita belum tahu siapa pasangan kita,” ia menghela, “tapi tak perlu risau. Kalau sudah waktunya pasti akan bertemu kok. Meski bukan seseorang yang kita inginkan. Tapi....yakinlah. Siapa pun orang itu nantinya, ia lah yang terbaik untuk kita.”
Mira diam. Bagi seseorang yang gila—istilah Khayra untuk orang yang jatuh cinta—seperti Mira pasti menginginkan dia. Bukan yang lain. Baginya, lelaki itu haruslah Wirdan.
“Tapi omong-omong obat hati, ada obatnya loh, Mir.”
Kening Mira mengernyit. Sementara Delia menampakan senyum misteriusnya. Mulai deh, Mira mencibir dalam hati. Gadis yang satu ini memang senang sekali membuat orang menunggu hingga merasa penasaran.
“Kata Bang Opick, obat hati itu ada lima perkaranya,” ucapnya lalu memasang gaya ala sales yang sedang mempromosi keunggulan produk kecantikan. Mira mengernyit lalu terkekeh sambil menggelengkan kepala. “Pertama, baca Quran dan maknanya. Kedua, sholat malam. Ketiga, berkumpullah dengan orang-orang soleh. Keempat, perbanyaklah berpuasa. Kelima, zikir malam perpanjanglah.”
“Lalu kau pilih yang mana?”
“Aku pilih solat malam. Karena itu yang paling menenangkan jiwaku, Mir. Aku bisa mengadu apa saja yang tak bisa ku adukan pada siapa pun.”
“Termasuk soal....”
Delia berdeham sebelum mengangguk. “Aku hanya meminta agar perasaan ini hilang saja, Mir. Agar hatiku hampa dan cintaku sepenuhnya hanya kepada Allah. Karena....,” ia menghela nafasnya. “Terkadang aku lelah, Mir. Tapi aku yakin, dibalik kesakitan ini pasti akan ada kesembuhan. Entah kapan itu. Namun ku harap, seseorang akan menggantikannya suatu saat nanti,” ucapnya lalu tersenyum hangat. “So, nikmatin aja rasa sakitnya.” Ia menepuk bahu Mira dengan wajah prihatin. Awalnya, Mira ingin tertawa tapi tak jadi saat mendengar ucapan Delia yang menyentuh hatinya. Wajah gadis itu serius sekali.
“Karena dengan sakit inilah yang akan membuatmu bangkit, kuat, dan tegar. Meski kini masih dia yang kau harapkan, tapi percayalah.....Allah lebih tahu siapa yang terbaik untuk kita.”
Delia benar. Walau masih dia yang Mira inginkan tapi yang paling tahu apa yang terbaik untuknya itu hanyalah Allah. Manusia boleh saja ber-harap. Boleh saja berdoa. Boleh saja berusaha. Tapi apa dayanya ketika bukan nama lelaki itu yang ditakdirkan untuknya?
Ia mendesah. Tangannya menurunkan Quran yang dibacanya. Matanya menerawang ke langit-langit masjid. Ucapan Delia kemarin sore masih terngiang-ngiang di pikirannya. Akankah ia rela jika Wirdan bukan untuknya?
Ia menggeleng lemah. Ia belum bisa merelakannya. Apalagi jika....
Tidak. Tidak. Tidak. Ia menggeleng kuat. Lalu menelungkupkan wajahnya diantara lutut. Hatinya kacau. Kacau hanya dengan berpikir, bagaimana jika Wirdan benar-benar bukan jodoh yang ditakdirkan untuknya?
Ia tertunduk. Menyembunyikan wajah di antara tekukan lututnya. Lalu ter-menung lama. Namun dalam ketermenungannya, ada suara tangis lain yang menggema digendang telinganya. Ia mendongak dan mengernyit heran saat matanya menatap sosok yang sedang bersujud. Sosok itu me-ngadu pada Tuhannya. Mengadu dengan lirih sekali. Tubuh itu bergetar-getar mengeluarkan isaknya. Mengeluarkan sesaknya. Menyampaikan keluh kesahnya pada Pemilik Alam ini. Hal yang membuka pikiran Mira. Kenapa ia tak melakukan hal yang sama?
Namun ia tak jadi beranjak ketika melihat raga itu duduk. Ia tercekat. Walau mata hanya bisa melirik dari samping, tapi ia tahu sekali wajah itu milik siapa. Wajah itu milik sahabatnya. Khayra. Gadis yang selalu nampak tegar di luar itu ternyata sungguhlah rapuh. Gadis yang selalu ceria padahal memendam tangis dihati. Ia tak ubahnya manusia biasa lainnya. “Kenapa?” Mira bertanya ketika gadis itu menyudahi salamnya. Ia memeluk Khayra sama eratnya ketika tangan Khayra balas memeluknya. Segala duka ini sesungguhnya ingin Khayra bagi. Tapi terkadang ia tak kuasa dan memilih memendamnya sendiri.
“Aku belum bisa menjadi manusia yang benar-benar baik, Mir. Nyatanya, masih ada sisi hatiku yang pendengki, pembenci, pendendam.”
Mira hanya diam dalam kebingungan. Ia tak bertanya. Ia hanya menunggu Khayra bicara. Hingga gadis itu melepas pelukannya. Lalu kedua tangan gadis itu menumpu dibahunya. Menekannya dengan kuat. Matanya berkaca-kaca.
“Kau percaya kalau aku ini gadis baik-baik, Mir?” tanyanya sambil mengguncang-guncang bahu Mira. Mira hanya sanggup mengangguk. “Kau salah, Mira!” ucapnya. Kali ini ia melepas tangannya lalu terjatuh dalam pelukan Mira. Ia terisak. “Aku ini tak ubahnya setan yang berubah menjadi malaikat padahal hakikatnya manusia. Ketika cinta-Nya belum menyentuh, aku berpaling. Ketika cinta-Nya sempurna di depanku, baru aku men-dekat,” ucapnya yang sama sekali tak Mira mengerti. “Kau tahu kenapa aku paling menggebu mengingatkanmu menuju kebenaran?” tanyanya sambil menatap tajam Mira. “Kenapa aku paling marah ketika kau berpaling dan berupaya menghindar?” ia malah bertanya dan Mira hanya mampu menggeleng tak paham. Gadis itu menatapnya dalam lalu menumpu kedua telapak tangannya dibahu Mira. Lagi. Tapi kali ini, ada senyum tulus diwajahnya.
“Karena kau sahabatku, Mir. Karena aku tak mau kau tersesat. Karena aku tak mau kau sepertiku.” Ia menarik nafas lalu tangannya luruh begitu saja. Ia menunduk malu. “Setelah tersesat, menghilang dari-Nya, hingga nyaris putus asa baru kembali. Baru berupaya mencari jalan yang benar. Jalan menuju pada-Nya. Tapi aku beruntung karena waktuku masih ada. Aku belum terlambat.”
Ia mendongak lalu menghela nafas. “Hal yang selalu ku takutkan adalah ketika aku telah memperingatimu, lalu kau tetap berpaling namun kau tak dapat kembali. Akhirnya aku hanya mampu menolongmu dengan doa.”
Mira hanya diam. Walau matanya tak berhenti menatap Khayra dan kini ia mulai paham apa yang sedang dibicarakan gadis itu.
“Tapi jelas itu akan sia-sia. Karena ketika raga tak lagi bernyawa, kalau bukan kau sendiri yang berusaha, maka sesal lah yang akan ada. Ketika waktumu habis dan kau belum sempat kembali pada-Nya. Apa kabar dengan doa?”
Ia menghela nafas. Matanya masih menatap Mira dengan dalam. Membuat Mira tak mampu mengerjab sedetik pun. Ia bagai terkunci dalam bola mata hitam milik Khayra yang indah itu. Bola mata yang berlinang itu seolah sedang menceritakan sesuatu. Sesuatu yang bernama masa lalu.
“Ingat sewaktu aku menceramahimu soal cinta?” tanyanya. Kali ini dengan bibir menyungging senyum. Sementara Mira hanya mampu mengangguk. “Aku berkata seperti itu karena aku pernah mengalaminya, Mir. Mencintai seseorang teramat dalam sampai aku buta. Buta akan segala kebaikan dan terjerumus dalam kesesatan. Akhirnya?”
Ia bagai bertanya pada diri sendiri. Lalu wajahnya berubah keruh. “Aku menyesal,” ucapnya penuh kejujuran. Ada beban yang tiba-tiba menimpanya hingga sanggup membuat wajahnya semakin keruh. “Dan.... sesalnya tak bisa hilang, Mir. Sama seperti ketika aku merasa benci dan dendam pada lelaki itu,” lanjutnya tajam tapi berupaya menahan tangisnya disela bibir yang sudah terisak-isak. Emosi yang terakumulasi malah membentuk tangis tak terbendung. Kenyataan pahit dimasa lalu nyatanya masih mampu menoreh luka di masa kini. Tapi ia tak mau tergores lagi di masa depan. Ia menggigit bibirnya. Menahan air matanya yang ingin tumpah bagai rintik-rintik hujan di langit kelam.
“Lelaki yang aku cintai mati-matian. Lelaki yang aku beranikan memberikan semua yang ku punya. Termasuk....,” lirihnya menggantung. Dan kali ini air matanya mengalir deras.Tangannya berusaha menghapus air mata itu tapi ditahan Mira. Ia mendongak.
“Menangislah. Aku sahabatmu bukan? Kau boleh berpura-pura kuat di hadapan yang lain. Tapi tidak denganku!”
Kini giliran Mira yang mengguncang tubuhnya. Membuat Khayra makin terisak lalu balas memeluknya.
“Aku bukan gadis baik-baik, Mir. Terkadang aku tak yakin apakah dosaku akan diampuni oleh-Nya. Terkadang aku bertanya, apa cukup ibadahku kepada-Nya?” suaranya sumbang. Tapi ia terus bicara walau diiringi air mata. “Dosaku menggunung, Mir. Amalku tak seberapa. Tapi aku selalu percaya, Allah pasti memaafkanku. Pasti mengampuniku. Aku percaya....aku percaya....,” lirihnya lalu tergugu.
Mira terkekeh sambil menghapus air matanya yang ikut jatuh. Kini ia paham. Meski merasa lucu akan tingkahnya dan Khayra yang senang sekali menangis haru-haru seperti ini. “Aku belajar untuk terus dijalan-Nya. Walau ku tahu tak mudah. Karena dendam dan benci itu masih membekas. Dan sesal itu masih mengintai.” Ia menarik nafas dalam-dalam. Lalu melepas pelukannya. Matanya kembali bersitatap dengan mata Mira yang berkaca-kaca. “Tapi aku terus bangkit meski berkali-kali aku jatuh. Aku terus berusaha meski berkali-kali aku goyah. Perlahan tapi pasti. Aku yakin, benci dan dendam ini akan menghilang nantinya,” ucapnya pada diri sendiri dengan keinginan yang bercokol kuat dihati. Ia pasti bisa! semangatnya dalam hati.
“Sejak itu aku tahu, Mir. Kenapa harus terjatuh saat mencinta selain kepada-Nya.”
Mira mengulas senyum tipis. Matanya bertanya-tanya, kenapa? Dan dibalas Khayra dengan senyum yang tak kalah tipisnya. Tatapan matanya berubah lembut. “Karena begitu lah cinta yang salah mengajarkan bahwa maksiat itu biasa. Sementara cinta yang benar mengajarkan bahwa maksiat itu dosa. Cinta yang benar tak akan menyesatkan. Cinta yang benar adalah cinta yang lurus kepada-Nya. Cinta yang terjaga fitrah sucinya. Bukan berlandaskan nafsu semata.”
Kini Mira semakin paham, kenapa Khayra begitu mencecarnya tentang cinta dan nafsu. Karena kedua kata itu terlalu tipis perbedaannya. Ia bisa merasakannya ketika bisikan maksiat itu merubungi telinga namun hati mengelabui. Tetap bersikukuh jika itu namanya cinta bukan nafsu. Mata yang selalu ingin melihat. Telinga yang selalu ingin mendengar. Bibir yang selalu ingin bertanya. Jantung yang selalu berdetak tak biasa. Hati yang selalu merindu. Apa itu namanya?
Dikala nafsu menjelma menjadi rindu, mata selalu ingin mencari sosoknya. Dikala nafsu menjelma menjadi rindu, telinga bagai mendengar suaranya. Dikala nafsu menjelma menjadi rindu, bibir tak bisa melepas lengkungannya. Dikala nafsu menjelma menjadi rindu, hati selalu menyebut namanya. Dan....ia selalu tak sadar jika sudah dilingkupi nafsu. Ditipu muslihat setan. Sang penipu daya hati manusia. Dan.... Khayra benar. Cinta yang benar tak kan menyesat-kan. Cinta yang benar akan selalu mengingatkan pada-Nya. Bukan padanya. Jika rindu, menyebut nama-Nya. Bukan namanya. Dan untuk sekarang, cinta semu pada lelaki belum saatnya.
“Lihat lah aku sekarang, Mir. Aku bangkit. Meski masih ada benci dan dendam itu. Tapi aku tak mau kalah dengan mereka. Karena aku percaya.....,” ucapnya yang menggantung sambil tersenyum tipis. “Tak selamanya cinta membuatmu terpuruk. Adakalanya cinta memihak untuk kebahagiaan dimasa depan. Meski harus terluka dimasa lalu. Ku katakan padamu bahwa sesungguhnya cinta itu membangkitkan jiwa.”
Kalimat-kalimat Khayra dan Delia menjadi motivasi tersendiri bagi-nya. Bagaimana logika mencekal perasaan agar tak terlalu larut dalam duka. Lihat lah Khayra yang berhasil bangkit dan sekarang menjadi muslimah sejati. Ia pernah terpuruk dalam cinta. Jatuh berulang kali. Tapi ada kah sekali saja ia menyerah?
Tidak.
Lalu lihat lah Delia yang selalu meyakinkan diri kalau ia pantas mendapatkan lelaki yang lebih baik dari Firman. Gadis itu berkeyakinan, akan ada lelaki lain yang jauh lebih baik dari Firman karena Allah pasti akan memberikan yang terbaik untuknya. Ada kah sekali saja ia ragu?
Tidak.
Dan kini adalah gilirannya. Rasa cinta yang ia punya bukanlah cinta pada waktunya. Karena cinta itu akan datang nantinya. Meski ia belum merasa mampu apakah bisa melupakannya dan memasrahkan diri pada-Nya sepenuhnya. Tapi apa salahnya belajar untuk mencoba?
Belajar untuk bangkit dari keterpurukan cinta yang sesat. Karena cinta yang benar adalah cinta yang lurus kepada-Nya.