Wanita Aneh

799 Kata
Mereka berkeliling tugu Monas, mengambil foto bersama di tugu Monas itu, mencicipi beberapa makanan yang di jual di sekitar Monas, membeli kaos Jakarta yang selalu menjadi pilihan oleh-oleh bagi turis lokal maupun turis mancanegara. Setelah lelah berkeliling mereka memutuskan untuk pulang dan beristirahat. “Bee maaf ya kencan kita jadi kacau hari ini.” Adi berbisik pelan ke telinga Bintang, membuat pipi Bintang merona merah, ia hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan, Adi tersenyum manis dan mengusap puncak kepala Bintang. Mereka berjalan bersama menuju parkiran motor. Walau kencan mereka malam ini terkesan kacau, namun Bintang menikmati kebersamaannya bersama Adi. Sungguh, malam ini adalah hari terbahagia untuknya. Lelaki yang biasanya hanya bisa ia pandangi dari kejauhan, kini berada begitu dekat. Semua ini bagai mimpi yang menjadi nyata, sampai-sampai Bintang takut semuanya akan lenyap begitu ia membuka mata. Ingin rasanya ia terus terlelap, jika kejadian hari ini hanyalah sekedar bunga tidur. “Lo mau kemana?” Bastian menarik lengan Bintang yang hendak meninggalkan mereka bertiga. Bintang menoleh dan menatap lelaki itu penuh amarah. Hatinya terlalu gembira karena percakapan kecilnya bersama Adi, hingga ia lupa ada lelaki menyebalkan seperti Bastian. “Ya pulanglah,” Bintang berkata ketus. “Naik.” Bastian menaiki motor dan mengarahkan dagunya ke tempat duduk di belakangnya. Ia tak lagi melihat Bintang, melainkan memfokuskan pandangannya ke depan. Bintang terpaku, berusaha mencerna perkataan lelaki itu barusan. Lelaki itu tak kunjung merespon, lebih memilih diam. Bintang dapat melihat raut kesal pada wajahnya. Lelaki itu berdecak sebal karna Bintang yang tak kunjung menuruti perintahnya. Ia berdecak sebal, lalu menoleh ke arah Bintang. “Naik!” “Hah?” Bintang mengerutkan kening, masih tak mengerti dengan perkataan singkat itu. “Lo tuli ya? gue suruh lo naik motor gue.” Bastian mendengkus kesal. “Ogah gue, lo mau nganterin gue nggak ikhlas gitu nanti malah kenapa-napa lagi.” “Nona Bintang Mahesti yang terhormat, silahkan naik ke motor gue ini, gue akan anterin lo sampai ke rumah dengan selamat.” Bastian melembutkan nada bicaranya dan meminta Bintang untuk naik ke atas motornya. “Bintang dianterin Bastian ya, nanti aku telfon lagi, aku anterin Patricia, hati-hati ya Bee.” Adi mengelus lengan Bintang sembari tersenyum tipis dan senyuman itu menular pada Bintang. Bintang mengangguk pelan. Walaupun Adi merasa kecewa karna tidak dapat mengantarkan Bintang, tapi ia tidak mau menjadi orang yang tidak bertanggung jawab dengan keegoisannya. Dirinya yang mengajak Patricia untuk bergabung dalam kencan mereka, maka ia tak bisa menelantarkan wanita itu begitu saja. Salahkan saja betapa pengecut dirinya yang takut mendadak canggung saat bersama dengan Bintang yang begitu dipujanya. “Rumah lo di mana?” Bastian bertanya pada Bintang yang sudah duduk di bangku belakang motornya, Bintang menghela nafas, ia masih tidak rela harus diantar oleh Bastian. “Lo tuli apa emang suka melamun ya?” Bastian berkata dengan sarkastis. “Nyesel gue naik motor lo, anterin gue ke café Jonas aja, yang di daerah menteng itu.” “Lo ngapain udah malam gini ke café? Kurang puas jalan-jalannya” “Banyak nanya yah!” Bintang berdecak sebal, mulai merasa risih dengan wawancara eksklusif yang lelaki itu lakukan padanya. “Lo mau gue anterin ke sana apa nggak?” Bintang memutar kedua bola mata dengan jengah. Mau tak mau ia pun harus menjawab pertanyaan lelaki itu dengan tidak ikhlas. “Gue kerja part time di situ,” Bintang mendengus kesal. Ingin rasanya ia segera mengakhiri kebersamaan mereka. Bastian menganggukkan kepalanya dan melajukan motornya menuju café yang disebutkan oleh Bintang, café itu adalah café yang cukup terkenal di kalangan remaja seperti mereka, tanpa menanyakan alamat lengkap café tersebut Bastian sudah tahu ke arah mana ia harus mengendarai motornya. “Lo kenapa nggak bilang kalau lo harus kerja? Emang lo nggak capek?” “Kalau gue bilang, kalian ‘kan pasti jadinya tergesa-gesa, mana ada jalan-jalan yang harus tergesa-gesa, kita nggak bakalan bisa menikmati perjalanan kita kalau kita melakukannya dengan tergesa-gesa.” Bintang tersenyum kecil. “Lo orang teraneh yang gue kenal.” “Bagus, dong. Berarti  hidup lo sekarang lebih berwarna, perbedaan itu indah.” Mereka kembali ke dalam keheningan, Mungkin nih cewek adalah robot yang nggak pernah bisa kelelahan, takdir ini memang tidak dapat dimengerti. Kenapa gue bisa kenal cewek begini? Tapi setidaknya dia lebih baik dibandingkan cewek yang selalu ngejer uang gue. Bastian larut dalam pikirannya sendiri. Menit demi menit berlalu hingga akhirnya mereka sampai di tempat tujuan mereka. “Makasih ya, Bas,” Bintang memberikan senyuman termanisnya kepada Bastian. “Lo pulang sama siapa? Mau gue jemput?” Bastian memandang sekelilingnya dan menatap Bintang lembut, namun Bintang bergendik ngeri mendengarkan tawaran Bastian. Tak masuk akal bagaimana musuh barunya itu mendadak bisa menjadi baik. Mungkin saja, pria itu ingin menculik atau kembali mengajaknya bertengkar. Bintang tak sebodoh itu untuk menerima tawaran dari lelaki yang dibencinya.  “Motor gue di parkir di sana. Makasih tawarannya.” Bintang mengarahkan jari telunjuknya ke arah motor matic berwarna putih yang berada di parkiran café. Bastian mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Gue pulang dulu,” ucap Bastian seraya menutup kaca helmnya, “Oh ya, selamat bekerja dan hati-hati,” lanjutnya, lalu mengangkat tangan di udara, menyampaikan salam perpisahan pada Bintang. Bintang terpaku di tempatnya berdiri. Bulu kuduknya berdiri dan ia tak mampu mengusir rasa ngeri yang mulai menjalar ke penjuru hati. Ia mengusap-usap lengannya. Dia gila!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN