Pria Aneh

1074 Kata
“Kalian ke sini naik apa? Kan nggak lucu kalau kita perginya pisah-pisah.” Adi mengalihkan pandangannya ke arah Bintang. “Dianterin supirnya Patricia.” “Kamu naik apa Bas?” “Naik motor.” Bastian mengendikkan bahunya tak acuh “Aku juga naik motor. Ya udah, kalau gitu Bintang sama aku. Patricia sama Bastian ya.” “Aku nggak mau sama Bastian. Kak. Aku mau sama kak Adi.” Patricia memeluk lengan Adi erat seakan tidak mau dipisahkan dari Adi. “Hmm ... ya udah kamu sama aku, Bintang sama Bastian ya?” terlihat jelas kekecewaan di wajah Adi saat mengatakan perkataan yang tidak ingin diucapkannya. “Aku nggak mau sama Bastian.” “Siapa juga yang mau bonceng lo. Jalan aja sana sampe ke Monas, nanti motor gue bisa jadi kotor kalau gue bonceng lo.” Bastian berkata sarkastis. “Gue juga nggak sudi buat deket-deket sama lo. Badan gue bisa gatel-gatel kalau naik motor lo.” Bintang melipatkan kedua tangannya di dadanya dan melebarkan kedua matanya. “Bee ... sekali ini aja gue bareng kak Adi. Gue nggak bakalan rebut kak Adi, kok. Gue nggak mau bareng Bastian karna gue nggak kenal dia. Lo ‘kan tahu, gue nggak suka deket-deket sama cowok yang nggak gue kenal.” Patricia berbisik pelan ke telinga Bintang. “Tapi Pat, gu ...” “Nggak pake tapi-tapian” Patricia memotong perkataan Bintang. “Lo nggak mau gue bonceng ‘kan? Lo pergi aja sendiri sana, kita ketemuan di Monas.” Bastian berkata sarkastis, lalu berjalan meninggalkan mereka bertiga. “Okay … fine.” Bintang berjalan ke arah berlawanan dari Bastian dan menuju pintu keluar. Dasar cowok bego! Ngapain aku harus jalan kaki ke Monas? Emang dia pikir nggak ada kendaraan umum yang ke Monas? Lebih enak naik bus transJakarta daripada harus bareng cowok gila dan rese itu. “Bee ... Bas ... tunggu.” Adi berteriak kepada kedua orang yang sudah pergi meninggalkannya dengan Patricia. “Nggak pa-pa, Kak. Bintang nggak bakalan nyasar, kok. Yuk, kita pergi!” “Kamu kok begitu sama sahabatmu?” “Sekali aja aku nggak mau mengalah dari Bintang. Setidaknya, nggak untuk saat ini.” Patricia tersenyum lebar, Adi menarik nafas panjang dan menghelanya. Adi tidak mengerti dengan Patricia. Biasanya, Patricia adalah orang yang paling menjaga dan menyayangi Bintang, ia selalu membela Bintang dan berada di dekat Bintang, tapi saat ini Patricia sangat berbeda, ia berlaku egois dan kelakuannya itu membuat Adi sedikit kecewa padanya. *** Bastian merasa risih dengan begitu banyak pasang mata yang memandanginya saat tiba di Monas. Ia tidak suka bila banyak mata memandang kagum ke arahnya, memperlakukannya seakan seorang aktor terkenal. Ia mendengkus kesal lalu memandang sekeliling, menunggu orang yang mengajaknya ke Monas dan hingga saat ini ia tidak melihat mereka bertiga tiba di tempat yang mereka janjikan. Bastian melangkahkan kakinya ke halte TransJakarta, ia tidak tahu mengapa kakinya itu membawanya ke halte yang dipenuhi orang yang sedang lalu-lalang, ia memerhatikan setiap orang yang keluar dari bus TransJakarta yang tiba di halte itu, ia tidak sedang menunggu siapapun. ia hanya merasa sedikit bersalah membiarkan Bintang pergi sendiri ke Monas. Bastian dengan cepat bersembunyi di balik tembok yang terletak tidak jauh dari tempatnya berdiri saat melihat sosok Bintang keluar dari bus TransJakarta. Bintang terlihat tengah memegang tangan seorang ibu tua. Anehnya, jantung Bastian berdebar dengan kencang dan ia tidak tahu mengapa ia harus bersembunyi seperti sekarang ini, tapi ia tidak ingin wanita yang dibencinya itu menjadi salah paham dan mengira Bastian sedang menunggunya. “Makasih ya, Nak. Sudah mau nemani ibu nunggu anak ibu yang satu ini, kalau nggak ada kamu tadi pasti pemuda di sana sudah berhasil mengambil tas ibu.” Ibu-ibu berusia senja tersebut menggenggam erat tangan Bintang. “Ngak pa-pa, Bu. Jakarta itu memang bukan kota yang bersahabat. Lain kali, kalau ibu mau nunggu anak ibu, jangan di tempat sepi seperti tadi.” Bintang tersenyum manis dan memegang tangan ibu yang berada di hadapannya. “Makasih ya, Mbak. Padalah saya udah suruh ibu tunggu di rumah, tapi ibu nggak sabar mau lihat monument nasional.” Seorang wanita muda yang terlihat seperti anak dari ibu itu menunduk dan tersenyum ramah kepada Bintang. “Kamu jadi terlambat ya ketemuan sama teman-temanmu.” ibu itu merasa bersalah telah memperlambat Bintang karena membantunya mengejar beberapa pemuda yang telah merampas tasnya. “Nggak kok, Bu. Saya jalan duluan ya, Bu. Hati-hati di jalan, Bu.” Bintang tersenyum manis, lalu meninggalkan ibu dan anak yang tengah melambaikan tangan ke arahnya. Bastian yang mendengarkan percakapan Bintang dan ibu tadi merasa semakin bersalah karena meninggalkan Bintang. Walaupun ia benci dengan wanita itu, ia tidak ingin bertanggungjawab jika sesuatu yang buruk terjadi kepada wanita itu. “Hey ... lo.” Bastian berteriak dan berlari kecil ke arah Bintang, Bintang yang mendengar teriakan Bastian, tetap terus berjalan tanpa melihat ke belakang. Ia merasa kesal mendengarkan panggilan lelaki itu, ia punya nama dan seharusnya lelaki itu memanggil namanya bukan dengan sebutan ‘hey,lo.’ “Lo nggak denger gue manggilin lo dari tadi.” Bastian menarik lengan Bintang. “Ohh … lo manggil gue? Nama gue Bintang bukan hey, jadi gue nggak tahu kalau lo lagi manggil gue.” Bintang tersenyum polos dan melanjutkan langkah memasuki Monas. “Ok ok … Bintang, puas lo?” Bastian berkata sarkastis. “Banget.” Bintang tersenyum manis kepada Bastian, ia sudah merasa cukup lelah berbicara ketus seharian ini. Ia ingin menganggap lelaki yang berjalan di sampingnya saat ini adalah angin lalu yang tidak penting untuk disadari kehadirannya. “Bintang … Bastian.” Adi berteriak memanggil kedua orang yang sedang berjalan di hadapannya, Bintang dan Bastian secara bersamaan melihat ke arah belakang mereka, Patricia dan Adi tengah berlari kecil ke arah mereka. “Lama banget lo, Di.” “Maaf … gue keliling dulu nyari gulali. Patricia pengen makan gulali.” Adi berbicara dengan nafas terengah-engah. “Ini buat lo, Bee.” Patricia mengulurkan gulali yang berada di dalam kantong plastik hitam kepada Bintang. Bintang dengan cepat mengambil gulali yang diberikan oleh Patricia. “Apa enaknya sih makan gula kapas begitu?” Bastian mengangkat sebelah alisnya dan menatap heran ke arah Bintang dan Patricia yang tersenyum lebar menyantap gulali di tangan mereka. “Enak banget. Jangan bilang waktu kecil, lo nggak pernah makan gulali?” Bintang mengerutkan alis, wajah Bastian terlihat kesal mendengar pertanyaannya. “Enak loh, Bas. Gue aja suka.” Adi menyengir kuda. “Ini cobain dulu sedikit, baru lo komentar.” Bintang menyuapi sedikit gulali ke mulut Bastian dengan sedikit pemaksaan, Bastian mau tidak mau membuka mulutnya karena ia tidak mau mulutnya menjadi kotor karena gulali yang ditempelkan Bintang ke mulutnya. “Enak kan?” Bintang menyondongkan wajah ke depan wajah Bastian. “Biasa aja.” Bastian berkata dengan tak acuh, walau di dalam hatinya ia merasa senang memakan gulali untuk pertama kalinya, ia tidak menunjukkan kekagumannya itu. “Wajah nggak bisa berbohong. Kelihatan banget lo baru pertama kali makan gulali.” Bintang terkekeh melihat wajah Bastian yang terlihat bingung saat memakan gulali. Bastian mengeraskan rahang dan memalingkan wajahnya dari Bintang, ia merasa bahwa ia bisa cepat gila jika terus dekat dengan wanita gila seperti Bintang. Patricia dan Adi terkekeh pelan melihat wajah Bastian yang merona merah karena mendengarkan perkataan Bintang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN