Bab VI

910 Kata
Aku melotot kaget, kalimat yang dilontarkan bayi besar ini membuat mulutku menganga lebar. Tidur denganku katanya? Huh, dasar mata keranjang! Meski tak dapat melihat, nyatanya pikiran m***m tetap berjalan lancar di otak besarnya. "Kenapa diam?" tegurnya tajam. Aku menipiskan bibir kesal, ingin mengumpat tapi terlalu takut dipecat. Kuhela napas panjang, berusaha menggali sedikit kesabaran. "Lebih baik sekarang Tuan mandi, saya akan menyiapkan keperluan anda." "Aku tidak mau!" sahutnya ketus. Apa-apaan bayi besar ini? Sedang ingin dibujuk kah ia saat ini? "Bukankah Tuan harus bekerja?" ucapku sesabar mungkin. Dia diam, tapi napasnya terlihat tak beraturan. "Mari, saya akan menyiapkan air hangat untuk anda." Tuan Max mendengus, tapi tak menolak saat aku menarik lengannya dan menuntunnya menuju kamar mandi. Selesai menyiapkan keperluan untuk tuan besar, aku bergegas melangkah keluar. Tapi, suara beratnya menginterupsi gerakanku. "Apa kau tak berniat memandikanku?" tanyanya datar. Kurasa kali ini tak masalah jika aku memberinya sedikit pelajaran. Kuambil sedikit ancang-ancang, mengangkat dua tangan yang terkepal erat dan bersiap melayangkan tinjuan. Dengan tenaga terbaik aku mulai melayangkan pukulan, kiri dan kanan. Tapi, tentu saja tak sampai mengenai wajah sangarnya, sumpah mati aku tak akan berani. "Apa yang kau lakukan?" desisnya tajam. Aku meringis, tak berkutik saat mata tajamnya memyipit tak suka. "Saya harus menyiapkan pakaian dan sarapan untuk anda, Tuan. Permisi!" Langsung saja aku memacu langkah seribu meninggalkan bayi besarku sendirian di dalam kamar mandi. Sungguh, selama ini dia bisa melakukannya sendiri, jadi kenapa tiba-tiba memintaku memandikannya? Saat keluar dari kamar mandi, aku baru menyadari bahwa kamar Tuan Max masih berantakan. Puing-puing bekas pecahan kaca masih berserak di lantai, dan ranjang yang kini bentuknya tak beraturan. Aku hendak keluar dan mencari alat untuk membersihkan kekacauan yang dibuat Tuan Max, tapi betapa terkejutnya aku saat membuka pintu dan mendapati para pelayan berjejer rapi sambil menundukkan kepala, termasuk Jo di dalamnya. "Apa ... apa yang kalian lakukan?" tanyaku terkejut. Sang kepala pelayan memberi kode pada para bawahannya untuk masuk dan membersihkan kamar Tuan Max. "Maaf, Nona, kami tidak berani masuk jika Tuan Max atau anda belum mempersilahkan," ucapnya datar. "Maksudmu?" tanyaku bingung. Jo melangkah maju, berdiri tepat di hadapanku. "Jangan sekali-kali memancing emosi Tuan Max lagi, karena yang terkena imbasnya bukan hanya kau, tapi juga semua pelayan yang ada di rumah ini," ucapnya memperingatkan. "Hei, aku tak memancing kemarahannya!" sahutku tak terima, meski aku tetap salah karena pergi begitu saja, tapi bukan berarti sikapku itu yang membuat para pelayan di sini menjadi sengsara. Pria itu berdecak tak suka. "Sudahlah, sekarang kerjakan tugasmu dengan benar!" Seketika itu juga aku mengingat tuan besar yang sedang mandi, aku harus menyiapkan pakaiannya segera jika tak ingin singa pemarah itu kembali mengamuk dan menakuti semua manusia di rumah ini. "Apa yang kalain lakukan di sini?!" Nah, kan, apa tadi yang kubilang? Segera saja aku melangkah kembali ke kamar dan menghampiri bayi singaku yang hampir mengamuk. "Tuan sudah selesai?" tanyaku pelan. "Siapa yang menyuruhmu pergi, ha? Sudah kubilang jangan pergi tanpa izinku!" bentaknya berang. Aku memberi kode pada pelayan agar meninggalakan kamar ini, entah mengapa mereka menurut tanpa banyak bicara. "Saya tidak pergi, Tuan, hanya berbicara sebentar dengan Jo," ucapku memberi pengertian. "Ada hubungan apa kau dengan Jo? Ingin menggodanya?" tuduhnya ketus. Mataku membulat sempurna karena tudingan tak berdasarnya. "Apa maksud, Tuan?" "Kau ... jangan menggoda dia! Jo sudah punya istri!" dengusnya. "Siapa juga yang mau menggoda dia," gerutuku kesal. "Baguslah! Mana pakaianku?" tanyanya datar. Aku bergegas membuka lemari dan mengambil stelan kerja berwarna abu-abu, lengkap dengan pakaian dalam tuan besarku. "Ini, Tuan." Kuserahkan padanya yang menunggu sambil berkacak pinggang. "Kau boleh keluar mengambil sarapan!" ucapnya datar. Aku mengangguk dan secepat kilat meninggalkan Tuan Max, tumben sekali ia tak menahanku untuk memakaikan dirinya celana. Sesampainya di dapur, para pelayan sudah menyiapkan semuanya di atas nampan, hanya dua lembar roti beserta selai strawberry, tak lupa secangkir air putih hangat tersedia di atasnya. Aku segera membawa sarapan Tuan Max ke kamarnya, kuketuk perlahan sebelum mendorong pintu hati-hati. Pemandangan yang kulihat membuat hatiku yang tadinya berbunga menjadi patah semangat. Pria yang kukira mulai meringankan beban dengan memakai pakaiannya sendiri tak jadi kenyataan. Di sana, Tuan Max berdiri di depan kaca hanya dengan pengaman segitiga saja. "Kaukah itu, Silvana?" tanyanya serak. Entah mengapa suaranya membuat lututku lemas, tanganku bergetar seirama dengan jantung yang berdebar-debar, belum lagi otot kekarnya yang melambai seolah memberi ruang untuk bersandar. "Ya, Tuan," sahutku pelan, berusaha berjalan sebiasa mungkin ke arahnya. "Kenapa lama sekali?" gumamnya. "Maaf, saya--" "Sudahlah, cepat pakaikan celanaku!" titahnya. Aku menghela napas kasar, kembali ke rutinitasku yang membuat jantungku bergejolak berkali-kali. ____ Setelah Tuan Max berangkat dengan supir dan Jo yang selalu mengekorinya, aku kembali ke rumah untuk membantu pekerjaan Ibu. "Tapi, Pak, Silva masih kuliah." Suara mengiba Ibu membuat langkahku terhenti di depan pintu. "Kita nggak maksa kok, Bu, kalau Silva mau, ya Alhamdulillah, kalau nggak juga nggak apa-apa." Itu suara Ayah, terdengar begitu lelah. "Ya sudah, nanti kita tanya sama anaknya saja," ucap Ibu pasrah. "Assalamualaikum ...." Kuucap salam sebelum melangkahkan kaki memasuki rumah sederhana kami. "Wa'alaikumsalam, sudah pulang?" tanya Ayah lembut. "Sudah, Yah," sahutku seraya mengulas senyum tipis. Jujur saja, aku merasa penasaran dengan obrolan mereka barusan. "Sini dulu, Nak." Ayah menepuk-nepuk kursi di sebelahnya. Aku menurut dan segera duduk di sana. "Ada apa, Yah?" tanyaku pelan. "Begini ... tadi pagi, Pak Basrah dan istrinya datang ke rumah," ucap Ayah perlahan. Aku mengangguk kecil. "Terus?" "Mereka ... mereka berniat melamar kamu." Bagaikan tersambar halilintar, tubuhku seketika terpaku dengan napas mulai bergetar. "Maksud ... maksud, Ayah?" tanyaku terbata. Ibu bergeser ke sampingku. "Tadinya Ayah mau meminjam uang pada Pak Basrah, kamu 'kan tahu kalau minggu depan kita harus memcicil hutang di bank, tapi beliau malah mengutarakan niat melamar kamu untuk anaknya," ucap Ibu penuh kelembutan. "Tapi ... tapi, Bu ...." "Keputusan ada di tangan kamu, Silva, Ayah dan Ibu akan mendukung semua pilihanmu," ucap Ayah bijak. Aku termangu, tak tahu harus berkata apa. Belum selesai satu masalah, kini timbul masalah baru. ____
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN