Bab VII

937 Kata
Aku berusaha memejamkan mata, meninggalkan sejenak kemelut yang memenuhi d**a. Sore tadi aku sempat meminta izin pada Jo agar tak masuk bekerja karena merasa pusing teramat sangat di kepala. Bekerja pun percuma, aku tak akan bisa fokus karena masalah yang melanda membuat pusing setengah mati. Demi Tuhan, aku bahkan belum menyelesaikan masalah skripsi, lalu kebakaran yang menimpa usaha Ayah juga menyita perhatianku, dan kali ini tiba-tiba ada yang melamar dengan iming-iming meringankan hutang keluargaku. Leo Basrah, adalah putra tertua dari keluarga Basrah yang memiliki banyak kontrakan di mana-mana. Usia pria itu sudah cukup matang, punya pekerjaan tetap sebagai mandor pabrik dan sudah punya rumah sendiri. Jika dilihat dari segi tampang, wajah Leo cukup tampan, pria itu punya lesung pipi di sebelah kiri, berperawakan tinggi dengan kulit sawo matang. Banyak wanita yang melirik ke arahnya terutama gadis-gadis penghuni kontrakan. Namun, entah mengapa aku tak merasa tertarik sama sekali dengan pria keturunan Jawa itu. Lamunanku terhenti saat dering ponsel terdengar nyaring di samping bantal. Kulirik nomor tak dikenal yang terpampang di layar. "Hallo...." Kuputuskan untuk mengangkat panggilan, berpikir bahwa ada hal penting yang ingin si penelpon sampaikan. "Di mana kau?" Suara tajam itu menyambut pendengaranku. Tunggu dulu ... aku seperti familiar dengan suara angkuh penuh kearoganan ini. "Di mana kau, Silvana?" Kali ini suaranya mendesis geram. "Tu ... tuan, Saya--" "Berani kau tidak masuk tanpa izinku?" tanyanya berang. "Saya sudah meminta izin kepada Jo--" "Aku Tuanmu! Bukan si k*****t itu!" hardiknya kasar. Aku sampai berjengit dan spontan menjauhkan ponsel dari telinga karena teriakannya. "Bukankah dia kepercayaan, Tuan? Lagipula, saya tidak memiliki nomor ponsel anda." Aku berusaha menjelaskan, menghindari kemarahannya yang bisa saja menjelma seperti setan. "Ini nomor ponselku," sentaknya garang. "Ba ... baik, akan saya simpan, Tuan." Hening sejenak, hanya helaan napas di seberang sana yang terdengar keras. "Kenapa kau tidak datang?" tanyanya datar. "Saya kurang enak badan, Tuan. Tapi, besok pagi saya janji akan masuk kerja kembali," ucapku meyakinkan. Biar bagaimanapun aku masih sangat butuh pekerjaan dari manusia kejam ini. "Hm, awas saja kalau kau ingkar janji, gajimu terpotong lima puluh persen!" Aku melotot kaget, lima puluh persen? Bagaimana bisa? Belum sempat aku menyuarakan rasa keberatan, telepon sudah ditutup sepihak oleh Tuan Max. Aku mengerang kesal dengan rasa frustasi yang tak lagi terkatakan. Masalah seakan tak henti-henti datang menimpa hidupku yang semula tenang. Jika kuingat-ingat semua ini terjadi mulai saat aku bekerja di rumah mewah tersebut. Apa mungkin aku memang tak serasi bekerja di sana? Haruskah aku berhenti bekerja? ____ Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap untuk berangkat bekerja, sekaligus siang nanti aku berencana ke kampus untuk menemui dosen pembimbing yang akan melancarkan skripsi yang sedang kukerjakan. Harum makanan penuh kenikmatan menyergap indera penciuman, langkahku spontan menuju dapur dan mendapati Ibu sedang memasak nasi goreng yang menggugah selera makan. "Kok pagi-pagi sekali masaknya, Bu?" tanyaku seraya menuang air putih ke dalam gelas. Beliau menoleh sebentar sebelum kembali menggongseng nasi yang yang hampir matang. "Iya, adikmu Dino ikut peekemahan hari ini." "Dari sekolah?" tanyaku memastikan. "Iya, khusus anak pramuka," sahut Ibu seraya matikan kompor. "Kok cuma bawa bekal nasi goreng, Bu? Memangnya nggak ada ikan di warung?" Ibu menoleh, lalu menghela napas panjang. "Adanya cuma ini, Ndhuk. Ibu nggak ada uang lagi buat beli ikan," sahutnya pelan. Spontan saja air yang baru saja mengalir lancar di tenggorokan seolah terhenti dan menjelma menjadi batu besar yang tersangkut di kerongkongan. "Bu ... maaf ...." "Kenapa minta maaf? Harusnya Ayah dan Ibu yang minta maaf karena nggak bisa kasih hidup layak untuk kalian," ucapnya parau. "Bu ...." Aku merengek dan memeluk Ibu erat. "Maafin Silva belum bisa membuat keputusan untuk lamaran semalam, harusnya aku langsung terima agar beban keluarga kita berkurang." "Hust, Ayah dan Ibu nggak sepicik itu menjual anaknya demi uang, kami hanya menyampaikan keinginan mereka, toh kalau kamu menolak, kami nggak akan memaksa, Ndhuk." "Silva janji akan berusaha lebih giat lagi, biar cepat wisuda dan punya pekerjaan tetap untuk bantu Ayah dan Ibu," ucapku bersungguh-sungguh. "Iya, Ayah dan Ibu percaya sama kamu. Sekarang kamu makan, dan berangkat. Jangan sampai terlambat dan membuat anak asuh kamu menunggu," tutur Ibu lembut. Aku meringis mendengar kalimat terakhirnya. Anak asuh? Ya, Ibu memang belum mengetahui bahwa bocah yang kulayani adalah bayi besar super galak dan menyebalkan yang selalu menaikan darahku, bukan bocah lucu menggemaskan yang masih polos dan tercemar otak m***m seperti Tuan Max. "Silva bawa bekal aja, Bu, sekalian ke kampus nanti," sahutku akhirnya. Ibu hanya mengangguk, dan aku segera membuat bekal untukku sendiri dan segera berangkat pergi. Jangan sampai bayi besar itu mengamuk karena keterlambatanku. Sesampainya di depan pintu kamar Tuan Max, aku mengernyit saat mendapati kepala pelayan berdiri di sana dengan wajah gelisah. Belum sempat aku bertanya, pintu kamar tiba-tiba terbuka dan muncullah seorang wanita dengan penampilan berantakan, wajahnya langsung berubah saat mendapati kami berdua. "Minggir!" ucapnya sinis. Kami menyingkir tanpa banyak bicara, dan wanita itu berlalu sambil mengibaskan rambut keemasaanya. "Masuklah." Suara kepala pelayan berhasil memutuskan pandanganku dari wanita berdada dan b****g besar itu. Aku mengangguk dan segera masuk setelah mengetuk pintu perlahan. Kudapati Tuan Max sedang tidur telentang hanya dengan boxer ketat melilit pinggang, tubuh berototnya tampak berkilat oleh keringat. Pikiran buruk langsung menghantam otakku, tersambung dengan penampilan Serena yang mungkin saja melakukan sesuatu bersama Tuan Max. Entah mengapa hatiku berdesir tak nyaman, rasa kecewa menyeruak keluar dari hati paling dalam. Pria itu menoleh sejenak, seolah membaui sesuatu dengan indera penciumannya. "Silvana! Kau kah itu?" tanyanya datar. Aku terdiam, tak tahu mengapa bibirku enggan untuk berbicara. "Jangan main-main, Silvana!" ucapnya geram. Kuberanikan diri melangkah mendekat, berdiri tepat di sisi ranjang. "Selamat pagi, Tuan. Saya rasa pagi anda sangat menyenangkan," ucapku setenang mungkin. "Apa maksudmu?" tanyanya tak suka, berusaha bangkit dari tidurnya. Aku mengedikkan bahu meski tahu ia tak melihatku. "Pagi yang cerah bersama wanita cantik yang seksi menggoda," sahutku santai. "Berengsek! Kau bertemu jalang itu?" umpatnya geram. "Hm, lengkap dengan wajah puas riang gembiranya," sindirku tajam. Aku tak tahu mengapa mulutku bisa selancang ini padanya, yang jelas aku ingin menumpahkan rasa kesal yang anehnya menyelusup di hatiku diam-diam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN