Sore ini, aku kembali datang ke rumah besar itu setelah mengurus beberapa hal di kampus mengenai skripsiku, ada sebagian dosen yang belum aku temui untuk melancarkan kelulusanku.
Sebuah keributan terdengar saat aku hampir mencapai pintu utama, terlihat seorang wanita cantik bak bintang film sedang mengamuk di hadapan beberapa pelayan yang berbaris kaku.
"Beritahu aku, di mana tunanganku!" hardik wanita itu geram.
Aku terdiam di belakang wanita itu, bingung harus melakukan apa, ingin segera masuk tapi sialnya harus melewatinya yang sedang mengamuk.
"Aku akan adukan kalian semua pada Max," desisnya tajam.
Setelahnya ia berbalik, dan seketika menyipit tajam saat melihatku. Sungguh, tatapannya lebih mengerikan dari seorang ibu tiri.
"Siapa kamu?" tanyanya ketus, dengan mata meneleti penampilanku dari ujung kepala hingga kaki.
"Aku ... aku ...." Entah kenapa aku merasa bingung harus mendefinisikan pekerjaanku sendiri.
"Nona Silavana pelayan baru di sini, Nona," ucap salah satu wanita berseragam yang sudah cukup tua, kurasa ia adalah kepala pelayan di sini.
"Pelayan?" Wanita dengan rambut tergerai panjang hingga pinggang dengan gelombang indah itu menyipit tajam.
"Sejak kapan? Dan kenapa dia tidak memakai seragam pembantu di sini?" tanyanya congkak.
"Karena Nona Silvana adalah pelayan pribadi Tuan Max, Nona," jawab wanita tua itu lagi.
"Nona? Kau memanggilnya Nona? Dia cuma pembantu!" bentak wanita itu marah.
Aku mengerutkan dahi, benar juga kata wanita itu. Aku bahkan tak menyadari hal itu, karena panggilan seseorang tak terlalu penting bagiku selama itu masih sopan. Tapi, yang aku herankan, kenapa wanita itu yang harus marah?
"Dengar, akulah yang akan menjadi Nyonya di rumah ini, jadi jangan berani-beraninya kalian membantah perintahku!" hardiknya kasar.
Tak ada jawaban dari para pelayan itu, aku benar-benar tak mengerti siapa sebenarnya wanita ini.
"Sudah berkali-kali kukatakan, jangan membuat keributan di rumahku, Serena!" Suara dingin itu berasal belakangku, spontan aku menoleh, dan mendapati pria bertubuh tegap itu sedang berdiri dengan wajah datar.
"Hai, Max, mereka menghalangiku untuk menemuimu," rajuk wanita bernama Serena itu manja, berbeda jauh dengan intonasinya saat berbicara dengan para pelayan tadi.
Serena berjalan mendekati pria itu, lalu melingkarkan kedua tangan di lengan kekar Max. "Aku rindu padamu," rengeknya, membuatku mengernyit jijik.
"Usir jalang ini, Jo!" titahnya dingin seraya menghempaskan tubuh yang bergelayut manja di lengannya hingga jatuh tersungkur.
Setelahnya, pria itu berjalan tanpa menghiraukan jeritan histeris Serena yang diseret paksa oleh dua laki-laki berbadan besar sesuai intruksi Jo.
"Aku menggajimu bukan untuk menonton di sana. Siapkan air hangat untuk mandiku!" Bentakan keras Max membuatku berjengit kaget, semua pelayan menunduk dengan mulut tertutup rapat. Dia sedang marah padaku?
"Ba ... baik, Tuan." Aku segera berjalan mengikutinya. Dengan langkah pasti, Max berjalan menaiki tangga tanpa merasa kesulitan. Aku heran, dia gesit sekali seolah mempunyai mata sehat sempurna, tanpa tongkat ataupun meraba-raba.
Aku menyiapkan segala keperluan mandi pria pemarah itu, menyiapkan air hangat, sabun serta sampo sesuai instruksinya.
"Sudah siap, Tuan, silahkan," ucapku sesopan mungkin.
Tuan Max tak menjawab dan langsung berjalan melewatiku, memasuki kamar mandi tanpa ekspresi.
Tak kuhiraukan wajah seram bak hantu pohon jeruk itu, aku lebih memilih menyiapkan pakaian ganti untuknya, lalu bergegas turun ke dapur untuk mengambil makan malam Tuan kesayangan umat di rumah ini.
"Nona Silvana ingin menyiapkan makanan Tuan Max?" tanya salah seorang pelayan.
"Ya, ngomong-ngomong jangan panggil Nona, panggil Silva saja," ucapku tersenyum tipis.
Pelayan wanita itu mengerutkan dahi, lalu menggeleng samar. "Nona jangan memusingkan ucapan Nona Serena, Tuan Max sendiri yang memerintahkan kami memanggil Nona Silva seperti itu."
Tuan Max? Apa tujuan pria itu sebenarnya?
"Makan malam Tuan Max sudah siap, Nona." Suara wanita itu mengalihkan fokusku.
Aku melirik sup ayam bening dengan tambahan kentang dan wortel bertabur bawang goreng yang masih mengepulkan uap panas.
"Tidak pakai nasi?" tanyaku mengerutkan dahi.
Pelayan itu menatapku sejenak, sebelum tersenyum kecil. "Tuan Max tidak menyukai nasi," ucapnya.
Aku membulatkan bibir tanda mengerti, lalu segera membawa nampan itu menuju lantai dimana kamar Tuan Max berada.
Kudorong pintu perlahan saat memasuki kamarnya, dan aku terkesiap mendapati bayi besar ini berdiri berkacak pinggang dengan mata menyorot tajam. Ah, jika orang yang tidak tahu, pasti tak akan menyangka pria ini memiliki kekurangan.
"Makanan anda, Tuan," ucapku seraya meletakkan baki di atas nakas.
"Siapa yang menyuruhmu meninggalkanku tanpa izin?" semburnya marah, aku sampai berjengit kaget dibuatnya.
"Tapi, Tuan, saya sedang menyiapkan makan malam anda, bukan pergi tanpa pamit seperti dugaan Tuan." Cepat kuberi alasan, agar ia tak semakin murka.
Tapi nyatanya percuma, aku tersentak saat tangan kekar itu menarik kasar lenganku. Hei, darimana dia tahu posisiku?
"Tetap saja, aku tak suka mencarimu seperti orang bodoh," desisnya tajam, tepat di sebelah telingaku.
Kucoba untuk melepaskan cengkramannya, tapi pria itu tak bergeming dan malah semakin mengapit tubuhku.
"Sekali lagi kuperingatkan! Jangan pergi tanpa seizinku! Apa kau paham?" geramnya.
Aku mengangguk pasrah, sumpah mati kukatan, raut pria ini lebih mengerikan dari singa lapar yang mengincar mangsanya.
"Saya tak akan meninggalkan anda tanpa pamit, Tuan," ucapku akhirnya.
Pria itu mendengus kasar, melepas tubuhku hingga terhuyung ke belakang. "Cepat pakaikan celanaku!" titahnya datar. Tangan pria itu tiba-tiba melepas lilitan handuk putih yang menggantung seadanya di pinggang.
Aku terpekik dan spontan menutup mata. Sungguh, aku tak ingin mataku jadi ternoda, meski noda yang begitu menggoda. Aish, berpikir apa aku ini.
"Apa yang kau lakukan? Cepat kerjakan tugasmu!" hardiknya garang.
Dengan takut-takut kurenggangkan jari tangan yang menutup mataku dari pandangan terlarang, seketika aku menghembuskan napas lega saat tahu bahwa Tuan Max mengenakan segitiga pengaman, tak seperti dugaanku sebelumnya. Ah, kenapa ada sekelebat rasa kecewa? Dasar otak m***m sialan!
Aku berjalan mendekat, meminta Tuan Max duduk dipinggir ranjang agar memudahkanku memasangkan celana pendek untuknya.
"Tuan, bisakah anda mengaitkannya sendiri?" tanyaku ragu-ragu. Sungguh, aku hanya ingin menghindari sentuhan terlarang yang akan membuat benakku terbayang-bayang.
Pria tampan dengan rahang tegas menggoda itu berdecak kasar, lalu kedua tangannya berusaha mencari pengait celana dan berusaha menyatukannya. Saat selesai, aku menegakkan tubuh, mengambil nampan berisi sup dan berniat menyuapi sang bayi besar.
Namun, aku terkejut ketika tiba-tiba ia merampasnya dari tanganku, hingga kuah sup sedikit tumpah, dengan wajah super masam dia berkata, "Biar aku saja! Kau pikir aku laki-laki lemah yang tak bisa berbuat apa-apa?" dengusnya marah.
Oh, Tuhan, suara bersungut-sungutnya itu, apakah ia sedang merajuk?