Bab IV

951 Kata
Aku mengamati Tuan Max yang makan dengan kesusahan, berusaha menyendok kuah yang akhirnya berjatuhan, atau tertinggal di sudut bibirnya, lalu mengalir melewati dagu. Wajahnya masih ditekuk masam. Entah mengapa, rasa sakit di hati hinggap begitu saja melihat keadaanya. Meski begitu pemarah, tapi di lain waktu juga terlihat sangat lemah, dan hal itu membuat rasa iba menelusup di dalan hati. Tiba-tiba, pria itu menghempaskan sendok dengan kasar, hingga suara berdenting begitu memekakkan, napasnya memburu dengan mata memerah marah. "Tu ... Tuan, biarkan saya menyuapi--" "Tidak perlu," tukasnya marah, memotong ucapanku. "Bukankah kau tak mau melayaniku?" imbuhnya kasar. Aku menghela napas dalam, entah keberanian dari mana yang menggerakkan tubuhku hingga duduk bersila di hadapannya, semakin merapat kepada sang Singa. "Maaf ... saya tidak bermaksud menyinggung, Tuan, hanya saja ... saya belum terbiasa seintim itu dengan seorang pria," ucapku terbata, kesusahan merangkai kata. Mata itu menyipit tajam, meski dengan pandangan lurus ke depan. "Alasan! Memangnya kau tidak pernah berpacaran?" hardiknya. Kutahan napas setiap kali suaranya terasa memekakkan telinga. Kenapa bayi besar ini suka sekali berteriak marah? Lalu, apa katanya tadi? Berpacaran? Aku sungguh tak punya waktu untuk melakukan hal itu, karena membantu Ayah dan Ibu adalah rutinitasku saat tak ada tugas kampus. Aku menggeleng sebagai jawaban, lalu seketika sadar Tuan Max tak mampu melihat. "Saya terlalu sibuk untuk melakukan hal itu," sahutku pelan. Dengusan pria itu terdengar jelas. "Aku tak percaya," ucapnya datar. "Tak masalah, yang terpenting saya sudah jujur pada, Tuan." Aku meraih sendok dan mencucinya di wastafel. "Sekarang, biarkan saya menyuapi anda," ucapku setelah kembali. Pria itu tak menjawab, tapi wajahnya tak semengerikan tadi. Bekas tumpahan kuah masih tersisa di sudut bibir Tuan Max, membuatku gemas ingin segera membersihkan. Kutarik selembar tisu sebelum berkata, "Bolehkah saya membersihkan bibir, Tuan?" tanyaku pelan. Entah kenapa tiba-tiba tubuh itu menegang, dengan rahang mengeras serta mata membola tajam. Lalu, perlahan kepala Tuan Max mengangguk, meski dengan gerakan super duper kaku. Aku meyapu ringan bingkai bibir menggoda itu dengan tisu yang kupegang, gerakan tanganku begitu perlahan, seakan takut merusak tekstur kenyal yang kurasakan lewat sentuhan. Ah, pria ini. Bagaimana bisa ia terlahir dengan garis tubuh begitu sempurna, seakan memamerkan pada dunia keindahan dari karya yang mahakuasa. Kusudahi kegiatanku dengan kikuk. Sumpah mati, debaran jantungku terasa kencang sekali, apalagi saat hembusan napas hangat pria itu menerpa kulitku berkali-kali. Geraman kecil terdengar seperti binatang buas yang siap menerkam. Aku menatap wajahnya yang semakin merah padam. Tiba-tiba ia menangkup wajahku kasar, menekannya kuat hingga aku meringis tanpa sadar. "Bukan begitu caranya membersihkan bibirku," ujarnya mendesis tajam. "La ... lalu seperti apa?" tanyaku bingung, apakah aku salah mengambil tisu? Apa benda itu kurang higienis? "Seperti ini caranya, Gadis kecil," desisnya, lalu menyambar bibirku secepat kilat, mengobrak-abrik bersama decapan super kuat. Tubuhku kaku, dengan aliran darah yang seolah menyerbu. Memberi efek linglung yang membuatku merasa bodoh untuk sesaat, bahkan sampai pria itu menyudahi ciumannya yang cukup dahsyat. Saat tersadar, aku refleks melayangkan tamparan keras di pipi kanannya, dan hal itu cukup membuatnya terkejut. Tapi, amarahnya langsung menguasai, tampak dari sorot membara yang terpancar dari wajahnya. Tak kupedulikan hal itu, aku lebih marah di sini. Seenaknya saja dia menciumku tanpa permisi. Memangnya aku benda yang bisa sesuka hati dia sentuh tanpa perlu izin? Aku bergerak kasar meninggalkan kasur dengan d**a naik turun menahan emosi yang siap menyembur. Kakiku hampir melangkah menuju pintu sebelum pria itu kembali bersuara. "Berani kau pergi tanpa izinku, maka kau akan tahu akibatnya," ancam pria itu datar, lewat wajah sangarnya aku tahu amarahnya belum juga mereda. Tapi, peduli setan, toh dia juga tak meminta izin saat menciumku. Tak kubalas gertakannya itu, bahkan jika esok ia ingin memecatku tak masalah. Bekerja sebagai pengasuh bayi besar bukanlah hal yang mudah, butuh kesabaran yang super duper tinggi. Saat mencapai pintu, aku sempat mendengar geramannya mengalir bersama umpatan kasar yang memekakkan gendang telinga. Tapi, tak kupedulikan, tetap kupacu langkah meninggalkan kediaman sang tuan durhaka ini. Sebelum pulang ke rumah, aku menyempatkan diri singgah ke sebuah minimarket untuk membeli senjata ampuh para wanita jika kedatangan tamu tak diundang setiap bulan. Tapi, kegiatanku terhenti saat ponsel jadul di dalam tas meraung tak terkendali. Aku meringis saat seorang ibu-ibu yang terlihat judes menatap garang ke arahku. Segera aku menyingkir ke sudut yang agak sepi, lalu mengangkat panggilan yang ternyata dari ibuku. "Hallo, Bu," sapaku pelan. "Sil ... kamu di mana, Nak?" Suara tangis Ibu membuatku terkejut seketika. "Silva di mini market. Ibu kenapa nangis?" tanyaku panik. "Mebel Bapakmu, Nak, mebel Bapakmu kebakaran." Tangis Ibu semakin tak terkendali, seiring dengan jantungku yang seakan mendadak berhenti. Aku segera berlari, keluar dari tempat itu tanpa jadi membeli apa pun. Langkahku terayun kencang menuju rumah, berharap apa yang Ibu katakan hanya sebuah lelucon belaka. Sejak setahun yang lalu, Ayah memang mencoba peruntungan dengan membuka toko mebel kecil-kecilan setelah bertahun-tahun bekerja di toko milik orang lain. Modalnya pun Ayah dapat dari pinjaman bank dengan jaminan surat rumah, satu-satunya harta berharga yang kami miliki. Jika hal mengerikan itu benar-benar terjadi, bagaimana cara kami mencicil hutang di bank setelah ini? Langkahku terhenti tepat di depan sebuah bangunan kecil yang kini dikelilingi warga bersama petugas pemadam kebakaran. Kobaran api seakan menjadi penerang di tengah pekatnya langit malam. Sebagian sudut bangunan sudah tak berbentuk lagi, dan sisanya masih berdiri dengan warna gelap menghiasi setiap sisi. Beberapa hasil kerajinan Ayah tampak sudah tak bisa digunakan lagi, seolah menjadi barang rongsokan yang siap dibuang kapan saja. Suara raungan kencang jelas terdengar. Aku menoleh, dan mendapati Ibu sudah terjatuh ke tanah dalam dekapan Ayah. Sementara ketiga adikku, ikut menangis bersama sambil berpegang tangan erat. Aku tak sanggup menggerakkan kaki untuk menghampiri mereka, seolah tubuh ini terpaku tak berdaya. Jantungku berdentam begitu hebat, hingga membuat kepalaku rasanya ikut berputar-putar. Lalu, seketika pandangan ikut berkunang-kunang, sebelum gelap tiba-tiba ikut menyerang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN