Ayra melangkah tertatih sambil menyeret koper di tangannya. Luka di lututnya terasa ngilu, saat air hujan dan angin malam menerpa tubuhnya.
Wanita itu terus berjalan menyusuri malam yang sepi seorang diri. Tidak tau harus kemana ia melangkah.
Dres pengantin yang melekat di tubuhnya semakin terasa berat karena basah oleh air hujan. Belum lagi jilbab yang menutupi kepalanya.
"Sepertinya tidak ada masjid di sekitar sini," gumam Ayra celingukan ke sana kemari mencari keberadaan masjid.
Bruk!
"Auwh!" Ayra meringis kesakitan sambil memegangi lututnya yang kembali terluka.
Pikirannya berkelana kemana-mana, sampai ia tidak memperhatikan langkah kakinya. Ia tersungkur jatuh, saat kakinya tidak sengaja menyandung batu yang tergeletak di tengah jalan.
Ayra mencoba bangkit, lalu menuju ke sebuah bangku yang ada di dekat sebuah taman.
Tidak hanya air matanya, darah pun ikut mengalir dari luka di lututnya.
Dari kejauhan seorang pria diam-diam memperhatikan dari dalam mobilnya. Tidak ada rasa iba dalam hatinya, justru pria itu tersenyum senang melihat penderitaan yang sedang dialami oleh Ayra.
Senyum di wajah pria tersebut langsung sirna, saat melihat sebuah mobil sedan berhenti tidak jauh dari tempat Ayra duduk sambil menangis.
Seorang pria tampan bertubuh tegap turun dari mobil, lalu menghampiri Ayra dengan sebuah payung di tangannya.
Pria itu berdiri di hadapan Ayra, melepas jas yang dikenakannya lalu menyelimutkannya ke tubuh wanita itu.
Ayra yang sejak tadi menunduk, perlahan mendongak saat merasakan sesuatu yang hangat menyelimuti tubuhnya.
"Mas Abi," cicit Ayra dengan bibir gemetar.
Tangis yang sejak tadi ditahannya langsung pecah. Rasa haru dan bahagia menyelimuti hatinya, saat ia melihat sosok Abimana berdiri di hadapannya.
Wanita itu semakin terisak pilu, mengelurakan semua beban dalam hatinya.
Darah Abimana langsung terasa mendidih, melihat air mata dan kesedihan di wajah wanita yang begitu di sayanginya itu.
Rasa bencinya kepada Bhara semakin menjadi. Ia bersumpah dalam hati akan membuat pria itu menyesal karena telah menyakiti Ayra nya.
"Mengapa lama sekali? Aku kira kau tidak akan pernah mencariku lagi." Ayra bertanya serayak mengusap air mata dengan punggung tangannya.
Pria itu tersenyum samar, tangannya lalu terulur membelai puncak kepala Ayra yang basah oleh air hujan.
"Maaf. Aku hanya ingin memberikan sebuah kejutan untukmu," jawabnya.
"Apa dia mengusirmu?" tanya Abimana kemudian, seraya mengulurkan sapu tangan kepada wanita itu.
Ayra tidak menjawab, tapi linangan air matanya sudah cukup menjadi jawaban bagi Abimana.
"Jangan menangis, Ra, ada aku di sini. Aku akan selalu berada di sisimu mulai saat ini," ucap Abimana dengan lembut.
"Cih! Dasar wanita munafik! Wanita tidak tau diri!" Bhara yang sejak tadi memperhatikan dari dalam mobil, terus mengumpat kasar sambil memukul roda kemudinya.
Tiba-tiba saja ia merasa harga dirinya terinjak-injak, saat melihat wanita yang berstatus sebagai istrinya di sentuh oleh pria lain.
"Ayo kita pulang."
"Aku ingin pulang ke rumah, Emir dan Alika sedang sakit, mereka pasti menunggu kepulanganku," sahut Ayra terlihat cemas.
"Jangan kuatir, aku akan menyuruh seseorang melihat ke sana, sekarang kita pulang ke rumahku dulu, aku tidak ingin melihatmu jatuh sakit karena terlalu lama kedinginan. Lagipula, ini sudah larut malam, kau harus segera beristirahat," ujar Abimana dengan lembut.
Tidak ingin membantah, Ayra lalu bangkit, menyambut uluran tangan Abimana.
Dengan penuh kasih sayang, Abimana membawa Ayra menuju mobilnya, sampai tiba-tiba saja seseorang melepas gandengan tangan mereka dengan kasar dari belakang.
Seseorang tersebut tentu saja adalah Bhara yang sejak tadi sudah menahan amarahnya di dalam mobil.
Dengan kasar pria itu menarik tangan Ayra, lalu menyembunyikannya di belakang punggungnya yang lebar.
"Mau kau bawa ke mana istriku!" tanya Bhara dengan nada ketus. Mata elang itu menatap tajam ke arah Abimana.
"Istri? Siapa yang kau maksud istri di sini? Apa itu Ayra? Tapi ... bukankah kau sudah mengusirnya dan memilih menghabiskan malam bersama wanita j4l4ng kesayanganmu?"
Wajah Bhara langsung merah padam, otot-otot lehernya langsung bermunculan bersamaan dengan amarah yang membuncah di dadanya.
Ia begitu tidak terima jika kekasihnya di katakan j4l4ng oleh siapa pun, termasuk Abimana.
"Jangan pernah ikut campur masalahku! Dan jangan pernah merendahkan kekasihku!" sentak Bhara sambil mengacungkan jari di hadapan wajah Abimana.
Sementara di belakang punggungnya, Ayra terlihat memijit kepalanya yang tiba-tiba saja terasa pusing.
"Aku tidak akan pernah ikut campur dengan masalah pribadimu, kecuali jika itu menyangkut Ayra! Apa kau lupa dengan apa yang aku katakan kepadamu?" tukas Abimana membuat Bhara langsung terdiam.
Tapi bukan Bhara namanya jika tidak menemukan cara untuk membungkam mulut lawannya, meskipun kadang ia sendiri tidak terlalu paham dengan apa yang di ucapkannya.
"Kau boleh berkata sesuka hatimu, tapi kau perlu ingat satu hal jika Ayra masih menjadi istriku! Dan seorang istri yang baik tentu akan patuh dan menuruti apa yang diperintahkan oleh suaminya. Jika aku meminta Ayra kembali bersamaku, maka sebagai istri yang baik tentu Ayra akan mengikutiku."
"Dan sebaik-baik suami adalah yang paling baik kepada istrinya! Seorang suami yang baik tidak akan menyakiti hati dan fisik istrinya, apalagi melakukan perbuatan zina tepat di depan mata istrinya! Dan aku, adalah salah satu istri yang tidak akan mau patuh dan tunduk kepada suami zalim!" Tiba-tiba saja Ayra langsung menyahut ucapan Bhara sembari melangkah ke sisi Abimana.
Wajah Bhara kembali mengeras, pria itu menatap murka ke arah istrinya. Ia tidak percaya jika Ayra berani membantah ucapannya, bahkan terkesan menceramahinya.
"Wanita munafik! Lalu apa bedanya dengan dirimu yang dengan senang hati di sentuh oleh pria lain selain suamimu! Apa dia juga kekasihmu!" teriak Bhara dengan dad4 kembang kempis menahan amarah.
"Apa kau sedang cemburu, Tuan Bhara?" ejek Abimana lalu dengan sengaja melingkarkan tangannya ke pinggang Ayra.
Bukan tanpa alasan, tapi sejak tadi Abimana sudah melihat jika Ayra berusaha menahan sekuat tenaga agar tubuhnya tidak ambruk.
Kedua mata Bhara memicing dan tatapannya semakin dingin menusuk, saat melihat Abimana memeluk pinggang istrinya.
"Wanita hina tidak tahu diri! Kau tidak leb—"
"Terserah kau saja mau berkata apa, yang jelas aku tidak sudi kembali bersama ke hotel," potong Ayra dengan cepat.
Bhara mengepalkan kedua tangannya, rahangnya mengatup rapat menahan murka. Lgi-lagi Ayra membantah bahkan berani memotong ucapannya. Harga diri Bhara seperti di injak-injak oleh wanita itu.
"Ra!" seru Abimana terkejut, saat tiba-tiba saja tubuh Ayra terkulai lemas di sampingnya.
Dengan sigap, pria beralis tebal berhidung mancung itu langsung membopong tubuh Ayra dan membawanya menuju mobil.
Bhara tidak tinggal diam, pria itu menghadang langkah Abimana dan meminta agar Abimana menyerahkan Ayra kepadanya.
"Minggir! Dia tidak ingin pulang bersamamu!" tandas Abimana yang mulai tersulut emosi.
"Aku tidak akan membiarkan istriku dibawa oleh pria lain! Apalagi dia dalam keadaan pingsan, bisa saja kau memanfaatkan situasi ini!" sergah Bhara tidak mau kalah.
"Putraku tidak serendah dirimu, Tuan Bharata Yudha!"
Seorang wanita paruh baya keluar dari dalam mobil, lalu melangkah menghampiri Bhara.
Pria itu tertegun, ia benar-benar tidak tau jika Abimana membawa serta ibunya.
Sekarang ia tidak berkutik, berhadapan dengan Nyonya Faradila, sama saja berhadapan dengan eyangnya.
"Bawa Ayra ke mobil, Nak!" titah Nyonya Farah kepada putranya.
Abimana melirik sekilas ke arah Bhara, lalu melewati pria itu menuju mobil.
"Tante, maaf, aku tidak bermaksud seperti itu," ujar Bhara berusaha bersikap sopan.
"Tante mendengar semuanya, lebih baik sekarang kau menyelamatkan kekasihmu dari amukan eyang Candrawati. Bukankah wanita itu lebih penting bagimu daripada istri sah mu?"
"Apa maksud Tante?" tanya Bhara berubah tegang.
Bukan Celina yang ia kuatirkan, tapi kedudukan dan kepercayaan eyang Candrawati kepadanya.
Apalagi jika sampai eyangnya tau, jika ia dan Celina sudah menyakiti Ayra dan mengusir wanita itu pergi. Tamat riwayatnya.
"Eyang Candrawati sedang menuju ke hotel setelah mendapat laporan dari mata-matanya. Kau bisa bayangkan apa yang akan terjadi dengan kekasihmu bukan?" Segaris senyum terukir di wajah wanita paruh baya itu, ia lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan Bhara yang masih mematung di tempatnya.
"Jika kau pria cerdas, kau pasti tidak akan salah mengambil keputusan!" seru Nyonya Farah sebelum masuk ke dalam mobil.
Bhara bergeming, pikirannya benar-benar kacau, ia bingung harus memilih Celina atau Ayra?
Sampai mobil Abimana menghilang di ujung jalan, pria itu masih mematung di tempatnya.
***
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Celina, meninggalkan bekas kemerahan di pipi putih dan mulus itu.
"Eyang tidak berhak menamparku! Aku tidak bersalah! Bhara yang memintaku datang ke sini," ujar Celina sambil memegangi pipinya yang terasa panas dan kebas.
Plak!
Lagi-lagi Eyang Candrawati mendaratkan sebuah tamparan di pipi wanita itu.
"w************n tidak tahu diri! Apa kau juga punya hak menghancurkan malam pertama cucu menantuku!" bentak Eyang Candrawati dengan wajah murka.
Celina menatap nanar wanita sepuh di hadapannya, jika saja bukan eyangnya Bhara, dan jika saja tidak ada pengawal di belakangnya, sudah pasti ia akan membalas setiap tamparan yang layangkan Eyang Candrawati.
"Aku dan Bhara saling mencintai, Eyang, dan Eyang juga tidak berhak menghalangi cinta kami," lirih Celina dengan mata berkaca-kaca.
"Kau tidak berhak mencintai cucuku, karena dia sudah memiliki istri! Dan sampai kapanpun aku tidak akan pernah merestui wanita sepertimu berhubungan dengan cucuku! Ingat itu!" sergah Eyang Candrawati semakin murka.
Entah mengapa, sejak pertama kali melihat Bhara membawa Celina ke rumahnya, Eyang Candrawati sudah merasa tidak suka dengan wanita itu.
Apalagi setelah tau jika Celina adalah seorang model pakaian dewasa. Rasa tidak sukanya kepada wanita itu semakin menjadi.
"Seret wanita ini keluar!" titah Eyang Candrawati kepada pengawalnya.
Dua orang pengawal langsung menghampiri Celina, lalu menyeret wanita itu keluar dari kamar hotel.
"Eyang! Aku mohon jangan usir aku! Aku ingin menunggu Bhara kembali! Bhara pasti tidak akan membiarkan Eyang mengusirku, karna Bhara yang menginginkan aku menemaninya tidur di sini!" teriak Celina sambil mencoba melepaskan diri dari cekalan para pengawal.
Namun Eyang Candrawati tidak perduli, ia justru menyuruh pengawalnya untuk cepat-cepat membawa Celina pergi.
Bersamaan dengan itu Bhara muncul dari ujung lorong, pria itu melangkah tergesa menghampiri Eyang Candrawati yang berdiri di depan pintu kamar hotel.
"Eyang, apa yang terjadi?" tanya Bhara hati-hati. Pandangannya tidak lepas dari sosok Celina, yang sedang di bawa pergi secara paksa oleh pengawal Eyangnya.
"Baby! Tolong aku! Suruh mereka melepaskan aku, Baby!" teriak Celina dari kejauhan.
Plak!
Sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di pipi Bhara, membuat pria itu langsung melihat ke arah Eyangnya.
"Berani-beraninya kau membawa w************n masuk ke dalam kamar ini! Apa kau tidak memikirkan perasaan Ayra!" bentak Eyang Candrawati dengan tatapan murka ke arah cucunya.
"Eyang, Eyang pasti sudah salah paham! Aku tidak membawa Celina ke sini, aku juga tidak tau jika ia akan datang," jawab Bhara dengan jujur.
Plak!
Sebuah tamparan kembali mendarat di wajah Bhara.
"Kalian memang pasangan ulat bulu yang sangat serasi! Sekarang katakan, di mana Ayra! Di mana cucu menantuku!"
Bruk!
"Eyang!" Bhara berteriak panik saat tiba-tiba saja Eyang Candrawati tersungkur ke lantai. Wanita sepuh itu terlihat kesakitan sambil memegangi d4danya.
"Jangan sentuh aku! Aku tidak mengampunimu jika terjadi sesuatu dengan Ayra!" sentak Eyang Candrawati serayak menepis tangan cucunya dengan kasar.
Namun setelahnya, wanita sepuh itu tidak sadarkan diri dalam pelukan cucunya.