Senjata Makan Tuan

1660 Kata
Bhara tersenyum smirk saat ia berhasil membuka hijab istriny, namun bersamaan dengan itu tiba-tiba saja Ayra membuka kedua matanya. Jantung wanita itu seperti mau copot rasanya. Wajah Ayra langsung berubah pucat pasi dengan bola mata membulat sempurna. Ketakutan langsung melanda hati Ayra, saat mendapati wajah Bhara begitu dekat dengannnya, hingga hembusan nafas pria tersebut menerpa wajahnya. "A-apa yang kau lakukan?" tanya Ayra terbata. "Tentu saja memperkosamu, mau apa lagi?" sahut Bhara menyeringai lebar. "Kau!" desis Ayra dengan mata melotot. Wanita itu langsung melayangkan sebuah tamparan ke wajah Bhara, tapi dengan cepat pria itu mencekal lengannya. "Kau memang benar-benar wanita galak. Apa tidak ada yang bisa kau lakukan selain menampar dan berteriak? Membelai, misalny," ucap Bhara, lalu mengusap-usapkan telapak tangan Ayra ke wajahnya, seperti gerakan membelai. "Lepas!" cicit Ayra, kembali melayangkan satu tangannya yang masih bebas. Namun lagi-lagi Bhara mencekalnya, dan kali ini ia mengunci kedua tangan istrinya ke atas. Tidak hanya itu, Bhara bahkan naik ke atas tubuh Ayra, lalu mengungkung wanita itu di bawah tubuhnya. Ayra semakin kesusahan menghirup oksigen ke dalam tubuhnya, wangi vanila yang menguar dari tubuh Bhara begitu menusuk indra penciumannya dan mendominasi pikirannya. "Kita belum melakukan malam pertama, bukan? Bagaimana kalau kita melakukannya sekarang?" Nafas Bhara yang beraroma mint, kembali menerpa wajah Ayra. Tidak ada yang bisa ia lakukan, selain diam dan memikirkan cara agar bisa lepas dari kungkungan Bhara. Sesaat kemudian wanita itu langsung tersadar dari kebekuan pikirannya, lalu dengan sekonyong-konyongnya Ayra membenturkan keningnya ke hidung Bhara. Jdugh! "Aargh!" Bhara mengaduh kesakitan sambil memegangi hidungnya, pria itu lantas berguling ke samping Ayra dengan mulut yang terus mengumpat tidak karuan. Ayra buru-buru bangkit lalu berdiri di sisi tempat tidur. Dinginnya lantai marmer membuat wanita itu menunduk ke bawah. Ayra mengedipkan kedua matanya berulang kali, saat melihat kedua kakinya sudah tidak mengenakan apa-apa lagi. Sepatu dan kaos kakinya sudah berjejer rapi di sudut ruangan. "Jika Mas Bhara ingin berbuat yang tidak senonoh kepadaku, tidak mungkin ia lebih dulu melepas sepatu dan kaos kakiku," gumam Ayra dalam hati. Wanita itu kembali menegakkan kepalanya, lalu melihat ke arah Bhara yang masih mengaduh kesakitan. Dan betapa terkejutnya Ayra, saat melihat cairan berwarna merah mengotori kemeja putih yang di pakai Bhara, dan juga sprei yang berwarna biru muda. "Ya Allah! Hi-hidung Mas Bhara berdarah!" seru Ayra panik. Wanita itu langsung mengambil tisu di atas meja, lalu naik ke atas tempat tidur, berniat membersihkan darah yang menetes dari hidung Bhara. "Jangan sentuh aku!" Dengan kasar Bhara menepis tangan Ayra. Ia lalu merebut tisu di tangan wanita itu, lantas membersihkan darah di hidungnya dengan kedua tangannya sendiri. Tidak hanya mimisan, area di sekitar hidung Bhara juga terlihat merah dan membengkak. Rasa bersalah langsung menghampiri Ayra, ia merasa sangat keterlaluan hingga menyebabkan orang lain terluka karenanya. "Ma-maaf, aku spontan melakukannya," lirih Ayra dengan wajah menyesal. Bhara tidak menggubris, pria itu justru turun dari tempat tidur lalu melangkah ke kamar mandi. Blam! Ayra berjengit kaget, saat Bhara menutup pintu kamar mandi dengan kasar. Wanita itu hanya bisa menghela nafas panjang, sambil mengelus d4d4. "Mas Bhara sepertinya benar-benar marah kepadaku. Tapi syukurlah, dengan begitu aku akan mudah keluar dari tempat ini," batin Ayra. Wanita itu lalu turun dari tempat tidur, kemudian melangkah ke ruang ganti pakaian. Tidak lama kemudian Ayra Kembali keluar dengan sprei dan bed cover baru di tangannya. Dengan cekatan ia mengganti sprei dan bed cover dengan yang baru, kemudian membawa sprei dan bed cover kotor ke ruang laundry. Sebelum kembali ke kamar, Ayra menyiapkan air dingin yang di campur es batu, dan handuk kecil ke dalam mangkuk, untuk mengompres hidung suaminya. Begitu ia masuk ke dalam kamar, Bhara sudah berbaring di tempat tidur dengan memakai piyama. Hidung pria itu masih seperti tadi, merah dan bengkak, jadi terlihat seperti hidung badut. Dalam hati Ayra tertawa geli, melihat bentuk hidung suaminya yang menyedihkan. Dengan berhati-hati, Ayra yang meletakkan mangkuk berisi air dingin ke atas meja nakas. Ia lalu duduk di samping Bhara yang setia memejamkan kedua matanya. "Mas, hidungnya aku kompres ya, biar memarnya berkurang," ucap Ayra pelan. Hening. Tidak ada jawaban dari mulut Bhara, padahal Ayra yakin jika pria itu belum tidur. "Mas," panggil Ayra sambil menepuk bahu pria itu pelan. "Pergilah! Kau tidak perlu berpura-pura peduli padaku!" sahut Bhara dengan nada ketus. Ayra menghela nafas pelan. Tidak ada cara lain, selain mencoba untuk membujuk dan meminta maaf kepada pria tersebut. "Aku minta maaf, tolong izinkan aku menebus kesalahanku, dengan mengobati luka Mas Bhara," tutur Ayra dengan lembut. "Cih! Wanita ini mulai menggunakan jurus lemah lembutnya untuk merayuku." "Awh! Bisa pelan-pelan tidak!" seru Bhara terkejut, saat tiba-tiba saja ia merasakan dinginnya air es menyentuh permukaan hidungnya yang bengkak. Mata elang itu melotot ke arah Ayra, yang justru terlihat tenang-tenang saja. "Aku sudah pelan-pelan, Mas Bhara bukannya kesakitan, tapi terkejut bukan?" sahut Ayra menatap sekilas wajah suaminya. "Si4l! Wanita ini benar-benar tidak bisa di anggap remeh," gerutu Bhara dalam hati. "Lihat, aku sudah melakukannya dengan sangat pelan, aku yakin ini tidak akan menyakiti Mas Bhara." "Kau tidak merasakannya! Maka dari itu kau bisa berkata sesuka hatimu!" tukas Bhara dengan wajah gusar. "Seperti itulah manusia. Tidak jarang ada di antara kita yang berbuat dan berbicara sesuka hati, tanpa memikirkan akibat dari perbuatan dan perkataan mereka. Bahkan ada di antara mereka, yang terang-terangan dan sengaja menyakiti orang lain dengan ucapan dan perbuatan mereka," sahut Ayra panjang lebar. Bhara langsung terdiam, apa yang di katakan oleh Ayra benar-benar menohok hatinya. Ia merasa jika apa yang dikatakan oleh Ayra sengaja ditujukan kepadanya. "Apa kau menyindirku?" tanya Bhara dengan wajah datar. Ayra tersenyum samar sambil menggeleng pelan. "Jika Mas Bhara tidak merasa berbuat seperti itu, tidak perlu merasa tersinggung dengan nasehat yang di sampaikan oleh orang lain," ujarnya. Bhara kembali terdiam, begitu juga dengan Ayra. Hingga beberapa saat lamanya, tidak ada kata-kata yang terucap dari mulut keduanya. Hanya suara gemericik air dalam mangkok, yang terdengar saat Ayra memeras handuk kecil untuk mengompres hidung Bhara. "Aku rasa sudah cukup, tinggal mengoles obat memar saja, agar bengkaknya cepat kempes," ujar Ayra memecah kesunyian. Wanita itu lantas mengambil obat memar yang tadi sudah disiapkannya di atas meja, lalu dengan telaten Ayra mengoleskan salep tersebut ke atas hidung Bhara. Ayra mencoba bersikap biasa saja, meskipun Bhara terus menatapnya tanpa berkedip. "Sudah selesai, silahkan beristirahat kembali," ucap Ayra sembari bangkit dari duduknya. Akan tetapi, baru saja hendak berdiri Bhara sudah menarik tangannya kembali. Hal itu membuat Ayra kehilangan keseimbangannya, dan akhiranya ia terjatuh tepat di atas tubuh Bhara. Belum hilang rasa terkejutnya, Bhara sudah merubah posisi mereka dengan cepat. Dan sekarang tubuh Ayra kembali berada di bawah kungkungan Bhara. Pria itu lalu meraih remot lampu di atas meja nakas, kemudian mematikan seluruh lampu di dalam kamar itu, selain lampu tidur. "Mas Bhara mau apa?" tanya Ayra dengan wajah panik, saat Bhara menarik selimut ke atas tubuh mereka. "Diamlah! Dan pura-pura mendesahlah saat pintu kamar kita terbuka," sahut Bhara setengah berbisik. Ayra terlihat bingung, tidak mengerti dengan maksud perkataan Bhara. Sampai kemudian, pintu kamar mereka di buka oleh seseorang dari luar, dengan sangat hati-hati. "Siap—hemmppt ...." Bhara langsung membungkam mulut Ayra dengan ciuman panas, saat wanita itu membuka mulut hendak bertanya. Ayra yang tidak siap dengan serangan Bhara, hanya bisa diam dengan bola mata membulat sempurna. "Mendesah, Ay, eyang sedang melihat ke arah kita," ujar Bhara berbisik, sampai nyaris tidak terdengar. Ayra tertegun, bukan karena mendengar jika Eyang Candrawati sedang mengawasi mereka, namun karena panggilan yang di tujukan Bhara kepadanya. "Ay," desis Bhara membuat Ayra tersadar dari lamunannya. "A-aku tidak tau bagaimana caranya mendesah," cicit Ayra dengan wajah merona. Giliran Bhara yang tertegun mendengar ucapan Ayra. Seorang janda, sudah pernah menikah dua kali, dan memiliki dua orang anak, tapi tidak tau bagaimana caranya mendesah? Itu sungguh tidak masuk akal! Apakah saat bercinta Ayra hanya diam seperti patung? Atau malah pingsan? Tapi saat Bhara mengingat ciuman mereka beberapa waktu yang lalu, pria itu sedikit percaya dengan ucapan Ayra. Bagi Bhara, Ayra adalah seorang janda yang sangat-sangat tidak berpengalaman. "Kau hanya perlu mengeluarkan suara desahan, Ay, aku akan membantu membuatmu mendesah," bisik Bhara lalu kambali melumat bibir Ayra. Tapi Ayra hanya diam, tanpa membalas sentuhan Bhara di bibirnya. Dan justru tubuh wanita itu semakin terlihat tegang. "Balas, Ay," desis Bhara di sela-sela cium4nnya. "A-aku tidak bisa Mas," sahut Ayra dengan wajah tegang. "Kalau begitu mendesahlah, Ay," ujar Bhara semakin liar bermain di bibir istrinya. Lumatan lembut, dan sesapan dalam, semakin lama membuat Ayra terhanyut dan perlahan mulai membalas sentuhan suaminya. Begitu kaku dan terkesan asal-asalan, membuat Bhara semakin heran di buatnya. "Eengh." Satu desahan akhirnya lolos dari mulut Ayra. Bhara tersenyum samar, akhirnya ia bisa mendengar suara desahan wanita itu. Dan tanpa Ayra sadari, beberapa kancing gamisnya sudah di lepas oleh Bhara, lalu dengan leluasa tangan Bhara menelusup masuk ke dalam baju istrinya. "Mas, jangan," cicit Ayra yang mulai terlihat ketakutan. "Mendesahlah lebih keras Ay, agar eyang segera pergi dari kamar kita," bisik Bhara. Dan sesuatu di balik baju Ayra, kembali membuat Bhara terheran-heran. Milik Ayra seperti belum pernah tersentuh. Masih sangat kencang dan ranum. Tidak ada tanda-tanda jika benda bulat dan padat itu pernah mengeluarkan asi. Di luar dugaan Ayra, Bhara meremas lembut miliknya, lalu mencium salah satu bukit kembarnya, hingga membuat Ayra mendesah panjang. "Eeengh ... Mas ... hentikan," mohon Ayra dengan mata berkaca-kaca, setelah satu desahan panjang kembali lolos dari mulutnya. Melihat mata Ayra berkaca-kaca, Bhara langsung tersadar lalu perlahan menarik tangannya dari balik baju istrinya. Gejolak hasratnya sudah bergelora, namun ia tidak ingin melakukannya dengan wanita yang tidak di inginkannya. Tidak di inginkannya? Benarkah? Meskipun tubuhnya berkata lain, namun Bhara begitu gengsi mengakuinya. Setelah siluet di depan pintu menghilang, dan pintu kembali tertutup, Bhara langsung berguling ke samping. "Maaf," ucapnya singkat lalu tanpa sadar kembali mengancingkan baju Ayra. Wanita itu hanya diam, bahkan saat Bhara merengkuh tubuhnya dalam dekapan hangat pria itu, Ayra masih saja diam. "Tidurlah. Dan besok pagi berpura-puralah jika kita sudah menghabiskan malam bersama," ucap Bhara sambil mencoba memejamkan kedua matanya. Tanpa Bhara sadari, bulir bening mengalir dari sudut mata istrinya. Wanita itu menangis dalam diam, menyesali keputusannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN