Part 5- Semua Hancur

1131 Kata
Tuhan menyayangimu, maka dari itu Tuhan memberimu banyak cobaan. Katanya agar kamu kuat, tapi nyatanya kamu terlalu rapuh untuk menghadapi semuanya. Kamu mulai lelah dengan keadaan, tapi mengakhiri hidupmu pun kamu tak memiliki kesempatan. Berkali-kali Tuhan menyelamatkanmu, tapi berkali-kali pula kamu jatuh dalam luka yang dalam. Katanya setelah kamu menghadapi semua ujian hidup, Tuhan akan memberimu kebahagiaan. Tapi kapan? Nyatanya ujian itu masih terus berlanjut, ujian hidup yang terus membuatmu terpuruk dalam jurang paling dalam. *** Satu minggu pasca kejadian naas itu, Meta memutuskan untuk mendatangi kampusnya. Walau ia tahu apa yang akan ia dapatkan. Toh ia hanya akan ke sana sebentar, sekedar berpamitan pada loker miliknya lalu pergi. Ia jelas tau dirinya sudah tidak diterima lagi di kampusnya sejak beritanya menyebar. Sayangnya meski berita itu menyebar, tak satupun orang yang mendukungnya untuk menemukan pelaku. Semua orang seolah menyalahkannya, hanya karena Meta datang ke bar untuk pertama kali dan mungkin yang terakhir kali baginya. Satu kesalahan itu membuat dirinya dihancurkan oleh banyak orang. Masa depan Meta benar-benar tak bisa diselamatkan. Semakin membuatnya menyesal, kenapa ia masih hidup hingga saat ini? Beberapa orang menatap Meta dengan sinis, memperhatikan dari ujung kaki ke ujung kepala. Tidak perlu ditanya kenapa, jelas karena setiap sudut gedung kampus ini menempelkan gambarnya dan melarang keras dirinya melanjutkan pendidikan bersama mereka. Lucu sekali. Dari semua orang yang menyudutkannya, Meta yakin sekali sebagian besar dari mereka pasti pernah ke bar. Atau melakukan s**s bebas yang nyatanya di era ini sudah terlalu biasa, bukan? Lalu ketika dia melaporkan dirinya atas korban p*********n, mereka justru menertawainya. Jadi, apakah Meta harus melakukannya secara suka sama suka seperti yang mereka duga? Atau menganggap kejadian itu hanya angin lalu, melupakannya begitu saja. Toh saat ini wanita yang tidak perawan bukan hal aneh lagi. “ Met! Lo kemana aja!” Suara yang sangat Meta kenal itu membuat langkahnya terhenti. Hingga dua orang itu kini berdiri di depan Meta dengan wajah cemas. “ Hape lo nggak aktif, rumah lo kosong... kita harus cari lo kemana hah? Lo nggak tau betapa cemasnya kita karena tau lo mau bunuh diri!” Ivana memegang pundak Meta, menatapnya begitu dalam. Tanpa tatapan menyudutkan atau merendahkan seperti yang Meta temui hari ini. Yang ada hanya nada penuh perhatian dan kecemasan. Meta hanya diam saja, menatap Ivana dan Gaby yang terlihat begitu cemas. Ia pun menyunggingkan senyumnya. “ Gue baik-baik aja.” “ Gila ya lo! Ngapain lo menyimpan semuanya sendiri? Lo punya kita. Kita sahabatan udah lama, Met.” “ Gue tau, gue hanya belum siap.” “ Tapi sekarang. Ah, dasar pada s****n emang!” Ivana mengacak-acak rambutnya dengan frustasi, menyadari beberapa orang tengah menatap ke arah mereka, tepatnya ke arah Meta. “ Ngapain sih pada ngeliatin ke sini? Dasar manusia munafik. Mending urusin kamar kos kalian noh yang banyak sampah tisu sama k****m. Sok-sokan mau nyudutin temen gue. Lebih suci juga enggak!” sahutnya dengan suara keras dan membuat semua orang langsung bubar begitu saja. “ Jangan gitu,” cicit Meta yang benar-benar tak enak karena mengacaukan kedamaian tempat ini. “ Biarin aja. Heran gue. Sama-sama cewek tapi mulutnya pada ember. Padahal mereka yang demen dempetan di kasur sama pacar. Nggak adil banget.” Ivana tiba-tiba menangis, membuat Meta dan Gaby jadi bingung sendiri. “ Ivana emang agak sensitif sejak tau kasus lo, Met. Dia sampe nyumpah-nyumpahin pelakunya biar mandul.” Gaby mulai mengadu. “ Ditambah lo ngilang dan semua berita buruk tentang lo. Kami bener-bener khawatir, Ta.” Meta tersenyum tipis. Ia hampir lupa dengan orang-orang yang masih peduli dengannya, sebanyak apapun orang yang menyudutkannya di luar sana... ia memiliki sahabat yang ternyata tetap menerimanya, apapun keadaannya saat ini. “ Thanks ya. Ternyata gue emang masih punya kalian.” Ia tak bisa menahan tangisnya sendiri. Alhasil, hari itu Meta dibantu dengan Ivana dan Gaby membereskan loker miliknya. Membawa barang-barang yang ada di sana. “ Lo beneran nggak akan kuliah lagi?” tanya Gaby dengan tak rela. “ Mau gimana lagi. Kampus lo nggak nerima gue lagi.” Meta tersenyum getir, terutama ketika ia mendapat kiriman surat cinta dari kampus, yang berisikan jika ia sudah bukan lagi mahasiswa di sini. Jangankan memberinya dukungan, kesempatan untuk lulus dari sini pun tidak mereka berikan. Lagi-lagi ia merasa dibuang begitu saja. “ Terus rencana lo apa?” tanya Gaby lagi sementara Ivana hanya sibuk memasukkan buku-buku milik Meta ke dalam kardur, dia sepertinya belum bisa mengendalikan dirinya saat ini. Meskipun terlihat galak, Ivana sebenarnya yang paling sensitif perasaannya dan mudah menangis. Meta mengedikkan bahunya. “ Cari kerja mungkin.” “ Kerja?” “ Iya. Tapi belum kepikiran mau ngelamar dimana sih. Apalagi ijazah gue cuma ijazah SMA aja. Nggak bisa wisuda bareng kalian deh.” Ivana membanting buku ke dalam kardus. “ Nggak! Kita tetep bakal foto bareng pake toga,” ucapnya tanpa bantahan. “ Iya iya.” Meta mengusap punggung Ivana dengan lembut. “ Kita tetep foto wisuda bareng di studio, seperti yang lo pengen.” Ivana menghela nafas panjang dan menatap Meta. “ Jangan ngilang lagi. Kalau emang lo butuh bantuan kita, lo harus bilang. Oke? Kita ini sahabatan, jangan buang gue seenak lo.” Meta tersenyum tipis dan mengangguk. “ Iya.” Saat Meta akan beranjak mengangkat kardusnya, gadis itu terkejut melihat Dirga yang sudah berdiri di samping loker, menatapnya dengan aneh. “ Kak... “ Ivana dan Gaby juga baru menyadari kehadiran senior di kampus mereka itu. siapa sih yang nggak kenal Dirga? Si senior super ramah, tampan, pintar, anak pengusaha coffe shop terkenal pula. Ketiganya saling berpandangan hingga Dirga menghampiri Meta, mengambil alih kardus itu. “ Gue bantu ya,” ucapnya yang kemudian berjalan mendahului Meta. “ Tapi... “ Meta menatap kedua sahabatnya yang langsung menyuruhnya untuk menyusul Dirga. Walau ragu, ia akhirnya berjalan menyusul pria itu. Keduanya sama sekali tidak terlibat percakapan hingga Dirga memasukkan kardus milik Meta ke dalam mobil gadis itu. Pria itu menghela nafas panjang lalu berbalik, menatap Meta yang hanya berdiri di belakangnya. “ Lo... baik-baik aja?” Hanya itu yang bisa ia ucapkan. Walau ada begitu banyak hal yang ingin ia katakan di dalam kepalanya, tapi hanya pertanyaan itu yang sanggup ia ucapkan. Meta mengangguk pelan. “ Makasih ya udah bantuin.” Dirga lagi-lagi membuang nafas dengan kasar. Pria itu terlihat frustasi. Entah apa yang membuatnya tampak sekacau itu, terutama saat melihat wajah sok kuat yang Meta pasang demi menutupi seluruh luka yang gadis itu rasakan. “ Soal pertanyaan lo waktu itu... sepertinya lo tau sendiri jawabannya.” Meta kembali berbicara, senyum tipis muncul di wajahnya. “ Lo pantas mendapatkan cewek yang lebih baik dari gue, kak. Gue harap lo bisa bahagia. Dan terima kasih juga... karena pernah suka sama gue.” Gadis itu segera masuk ke dalam mobilnya, meninggalkan Dirga yang masih terus berdiri di tempat semula. “ Bukan pernah, Ta. Tapi masih. Rasa itu masih sama sampai detik ini.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN