Sekeras apapun seorang ayah, mereka sebenarnya adalah yang paling rapuh ketika putri mereka tersakiti. Ayah memang tidak menangis di depanmu, tapi hatinya terasa jauh lebih pilu. Seorang ayah mungkin menyembunyikan kesedihannya melalui amarah, amarah yang mungkin kamu anggap sebagai tanda tidak sayangnya ayah padamu. Nyatanya, hati seorang ayah telah hancur melihat putri yang dia jaga sejak kecil... justru dihancurkan oleh orang lain.
Kasih sayang seorang ayah tak bisa dinilai dari air matanya, tapi bisa dilihat dari bagaimana usahanya untuk menegakkan keadilan pada putrinya. Meski nyatanya tak semua hal yang diusahakan pasti akan berhasil, terkadang Tuhan menyimpan rencana lain untuk hidupmu. Meskipun hal itu menyakitkan.
***
Meta duduk di tepi makam sang ayah. Nama Bara Wiyuda tertulis di batu nisan itu. Membuat Meta mau tak mau menyadari jika memang kini yang terkubur di dalam adalah ayahnya. Pria yang menjadi cinta pertamanya, pria yang selalu melindunginya, pria yang selalu melakukan apapun untuknya.
Aroma tanah dan bunga-bungaan di sekitar Meta membuat suasana terasa begitu damai. Wanita itu hanya bisa menatap gundukan tanah basah di depannya dengan tatapan nanar. Matanya kemudian terpejam, titik-titik air matanya mulai terlihat. Ia mulai mengingat memori-memori yang pernah ia habiskan bersama sang ayah, jauh sebelum keluarganya renggang seperti tiga tahun terakhir ini.
Bara adalah sosok ayah yang hangat. Dia tak pernah malu untuk menemani Meta bermain boneka barbie, mengajarinya hingga bisa naik sepeda, menemaninya bermain di taman, dan bahkan menguncir rambut Meta. Dia benar-benar sosok pria yang baik, sampai Meta sendiri nyaris tak percaya ketika ayahnya mengakui soal dia pernah menikahi wanita lain selain ibunya. Meski katanya mereka sudah bercerai, tetap saja... luka itu akan tetap ada di hatinya dan juga di hati ibunya.
Bagaimanapun juga, Bara tetaplah ayah yang baik bagi Meta. Tak pernah sekalipun dia membentaknya, kecuali hari itu... untuk pertama kalinya sang ayah membentaknya begitu kuat, menyakiti hatinya untuk kedua kalinya. Namun Meta sadar, bentakan itu bukan karena ayah telah membencinya tapi lebih ke ayah kecewa pada dirinya sendiri. Kemarahan itu sebenarnya ditujukan untuk diri ayah sendiri yang mungkin merasa gagal menjaga putrinya.
“ Maafin aku, Yah.” Meta terisak di sana. Kepalanya tertunduk, menggenggam tanah basah di depannya. “ Aku sudah banyak mengecewakanmu. Aku belum bisa jadi anak perempuan yang ayah banggakan. Aku tau, mungkin aku seperti anak yang bodoh. Tapi tidakkah ayah ingin menemani anak bodoh ini lebih lama? Tidakkah ayah tau... anak bodoh ini membutuhkanmu.”
Tanpa Meta sadari, seseorang tengah memperhatikannya. Pria itu... dia telah mengikutinya sampai ke tempat ini. Tangannya mengepal dengan nafas yang tercekat. Rasa bersalah itu kembali menghantuinya, rasa bersalah karena dia merasa telah menjadi penyebab dari semua penderitaan yang Meta alami.
“ Aku berjanji, aku akan menebus kesalahanku dengan membahagiakanmu.”
***
“ Lo serius nggak mau nongkrong bareng kita?” tanya Daffa untuk yang kedua kalinya sebelum turun dari mobil Dirga.
Dirga menggelengkan kepalanya. “ Lagi males gue. Lama-lama liver gue rusak bergaul sama lo pada.”
“ Anjir! Kayak tiap hari aja. Jarang-jarang kali. Kantong gue juga jebol yang ada kalo ke bar terus. Mumpung masih muda coy!” Arya terbahak mendengar lelucon dari sahabatnya itu. “ Apa duit lo abis? Pinjem gue aja cuy, dompet gue tebel.”
“ Tebel sama struck kasbonan maksud lo?” balas Dirga. Pria itu mengibaskan tangannya. “ Lain kali aja deh. Gue ada urusan.” Ia pun melirik ke arah Farzan yang duduk di kursi pengemudi. “ Tobat lo jangan kebanyakan mabok! Bentar lagi skripsian coy.”
“ Iya tau gue.”
“ Ah! Nggak asik lo, Ga.”
“ Dah ya! Jangan nyesel kalo kita dapet cewek semok.”
Dirga hanya mengangguk-angguk sembari melambaikan tangannya pada teman-temannya yang mulai berlalu. “ Itu mobil dari mana sih? Kotor amat.” Ia menatap bekas tanah merah yang tertinggal di depan gerbang rumahnya. “ Udah ujan, becek, nggak ada ojek.”
Di dalam mobil, teman-teman Farzan itu asik bernyanyi. Mereka tak peduli meski si pengemudi merasa risih mendengar suara fals teman-temannya itu. tapi memang bukan temannya jika tidak agak gila.
“ Betewe lo lagi suka s**u ya?” tanya Arya tiba-tiba.
“ Siapa sih yang nggak suka s**u? Apalagi dari sumbernya langsung?” celetuk Robi yang mulutnya minta disumpel banget itu.
“ Dari t***k sapi maksud lo?”
“ Tolong sensornya ya. Telinga gue terkontaminasi deket lo semua.” Farzan terkekeh sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
“ s**u cokelat pula.” Daffa mengambil salah satu s**u strawberry dari plastik minimarket di bagian belakang mobil Farzan. “ Lagi masa pertumbuhan lo?”
“ Apa buat anak lo?”
“ No! Jangan bilang... “
“ Lo nyamar kan jadi bujangan padahal udah punya buntut?” balas Daffa dengan wajah shock.
“ Sialan.”
***
Ada yang bilang, ketika kamu memiliki masalah maka kamu akan menemukan siapa saja teman sejatimu... orang-orang yang tetap bersamamu sekalipun kamu tengah terjatuh dalam jurang yang sangat dalam.
Itulah yang Meta rasakan.
Meta memang bukan orang yang supel dan memiliki banyak teman. Kalau jaman sekarang, bisa dibilang circlenya kecil. Hidupnya monoton, hanya sekedar kuliah, kadang-kadang main lalu pulang. Selama tiga tahun terakhir, kehidupannya sedikit berubah. Ia memilih untuk berlama-lama di luar rumah demi menghindari pertikaian kedua orang tuanya.
Orang-orang yang sejak dulu selalu ada untuknya adalah Ivana dan Gaby. Keduanya sudah seperti saudara perempuan bagi Meta. Tadinya Meta takut jika kedua sahabatnya itu akan menjauhinya setelah tau apa yang ia alami, tapi ketakutan itu tidak terbukti. Mereka berdua masih sering menghubunginya atau mengobrol bersama melalui video call... membahas hal-hal random yang sering membuatnya tertawa. Hiburan sementara, karena pada akhirnya luka itu Meta rasakan kembali. Luka ketika harga dirinya telah ternodai.
“ Apa kamu nggak niat kuliah lagi di kampus lain?” tanya Lina yang tak setuju dengan keputusan Meta untuk mencari kerja. Ia tidak mau masa depan putrinya tergadaikan begitu saja setelah semua yang terjadi. Semua bukan hanya kesalahan putrinya, lantas kenapa dia yang harus menanggung semuanya? Sampai kampusnya pun tidak mau mempertahankannya, setidaknya selama dua tahun lagi hingga putrinya bisa lulus. Sekotor itukah putrinya hingga tidak bisa melanjutkan pendidikannya seperti anak-anak lain?
Meta tersenyum tipis. Bukan ia tidak ingin kuliah lagi, tapi keadaannya tak memungkinkan. Beritanya sudah menyebar bahkan semua orang tengah menebak siapa si korban dalam berita itu. Jelas mereka dengan mudah menemukan namanya dan identitasnya. Ia tak sanggup memikirkan dirinya harus ditolak lagi oleh beberapa universitas jika mereka tau rekam jejaknya. Rekam jejak yang buruk, yang tak satupun wanita di dunia ini menginginkannya.
Apakah penderitaannya layak menjadi bahan tontonan? Meta terus memikirkan hal itu, mencoba untuk menerima jika namanya telah buruk di depan banyak orang.
“ Meta hanya mau mandiri, bu. Apalagi ayah... ayah udah nggak ada. Kita butuh biaya. Aku juga nggak sanggup menghadapi orang-orang yang mungkin tau tentang aku.”
Lina menghela nafas, sadar semua tak semudah itu. Ia mengulurkan tangannya, menggenggam jemari putrinya. “ Maafin ibu ya, nak. Ibu nggak sadar dengan posisimu. Pasti berat banget. Ibu hanya nggak mau masa depan putri ibu jadi buruk, padahal masa lalumu itu bukan keinginanmu. Kenapa kamu yang menanggung semuanya?” Ia kembali terisak.
“ Aku akan berusaha untuk kuat, bu. Yang penting ibu doain aku biar aku bisa menjalani kehidupanku ini. Meski semua orang menganggap aku buruk karena masa laluku, tapi aku nggak mau hidupku berhenti hanya karena mereka.”
“ Syukurlah. Ibu senang dengan jalan pikiran kamu saat ini. Jangan pernah berpikir untuk meninggalkan dunia ini, nak. Sekejam apapun itu, kehilangan kamu akan jauh lebih menyakitkan bagi ibu.” Lina mengusap puncak kepala putrinya. “ Bagaimanapun juga, kamu anak ayah dan ibu yang paling berharga.”
Kamu berharga.
Rasanya tangis Meta akan pecah lagi mendengarnya. Ia yang menganggap dirinya tak lebih dari sampah, nyatanya begitu berharga bagi ibunya—bagi wanita yang telah berjuang melahirkan dan membesarkannya di dunia yang kejam ini. Betapa bodohnya ia berpikir untuk mengakhiri hidupnya, di saat ada seseorang yang begitu kuat mempertahankan hidupnya selama dua puluh tahun ini.
Setelah pembicaraan hari itu, Meta kembali ke kamarnya. Dibukanya laptop miliknya dan ia mulai mencari beberapa lowongan pekerjaan. Kebanyakan lowongan pekerjaan membutuhkan tenaga kerja dengan pendidikan minimal D3 atau S1. Ada beberapa lowongan yang minimal pendidikan SMA tapi harus ada pengalaman, sementara Meta sebelumnya tidak pernah bekerja sama sekali.
Dengan modal nekat, Meta membuat surat lamaran dan CV. Lalu mengirim via email ke beberapa perusahaan yang telah ia lihat. Berharap salah satunya lolos agar ia bisa memiliki kesibukan, yang mungkin akan perlahan menyembuhkan lukanya.
Terkadang dengan kesibukan, seseorang bisa melupakan lukanya bukan?
Tidak terasa, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Tapi Meta justru mendapatkan pesan dari seseorang.
Lihat ke depan pintu rumahmu.
-Farzan
Kening Meta berkerut. Farzan memang sempat meminta nomor ponselnya saat di rumah sakit tapi ia tak menyangka pria itu akan menghubunginya. Apa karena dia kasihan? Tapi kenapa? Padahal seingatnya, Farzan adalah salah satu senior yang populer meski tak satupun mahasiswi yang pernah menjalin hubungan dengannya. Kabarnya pria itu memiliki pacar yang lebih dewasa. Hanya itu yang Meta ketahui.
Lalu kenapa sekarang Farzan menghubunginya? Setelah sebelumnya bahkan mereka tak pernah saling sapa.
Meski agak aneh, Meta akhirnya beranjak dari kursinya. Wanita itu berjalan ke arah pintu rumahnya. Lalu saat ia membukanya, tak ia temukan siapapun. Kakinya justru menyentuh sebuah plastik. Plastik yang berisi beberapa kotak s**u cokelat dan satu dus donat.
Lalu ada satu pesan masuk lagi di ponsel yang Meta genggam.
Katanya makanan manis bisa memperbaiki suasana hati.
Jangan lupa save nomor gue ya J
Meta terdiam sejenak, mengalihkan tatapannya dari layar ponsel. Berusaha mencari sosok Farzan yang tak juga ia temukan. Apakah begini cara Tuhan menghadirkan orang lain yang peduli padanya ketika dirinya sedang terpuruk? Tapi kenapa dia?