Tidak ada yang bisa menjabarkan sakitnya kehilangan buah hati yang seorang ibu alami. Rasa sakit yang begitu kuat nyaris tak terdefinisikan. Kehilangan anak adalah ketakutan terbesar para ibu di luar sana.
Termasuk Lina.
Tak henti-hentinya mulutnya berdoa, mengucapkan apapun demi bisa merayu Yang Kuasa agar menguatkan putrinya. Ia bahkan berjanji untuk mengembalikan kehangatan rumah mereka meski itu artinya ia dan suaminya harus bercerai. Jujur saja, selama ini Lina pun sudah lelah dengan kehadiran Bara. Kehadiran yang terus menyakitinya meski pria itu bilang ingin memperbaiki semuanya.
Tidak.
Tidak ada lagi yang bisa diperbaiki. Hubungan mereka sudah hancur lebur karena pengkhianatan yang pria itu akui sendiri. Tidak ada kesempatan apapun, hati Lina telah mati rasa. Baginya saat ini adalah keselamatan putrinya, kehidupan putrinya yang harus ia pertahankan.
Beruntung Lina segera mendatangi suara pecahan benda keras dari arah kamar putrinya dan begitu menemukan Meta dalam kondisi pergelangan tangan yang terluka, ia sadar... putrinya tengah berusaha mengakhiri hidupnya sendiri. Ia langsung membawa putrinya ke rumah sakit hingga putrinya bisa diselamatkan.
Meta kehilangan cukup banyak darah tapi intinya dia selamat. Dia masih bisa hidup, hal yang mungkin dia sesali karena usahanya gagal. Hidupnya tidak berakhir karena pertolongan malaikat yang bernama ‘ibu’.
Pandangan Meta menjadi buram ketika gadis itu membuka matanya kembali, menyadari ia masih hidup. Terutama genggaman hangat di jemarinya yang berasal dari ibunya. Lina menatapnya dengan hangat tanpa berusaha menuntut atau menyalahkan perbuatannya.
“ Syukurlah. Syukurlah Tuhan telah menyelamatkan putriku.” Berkali-kali Lina menciumi punggung tangan putrinya, seolah ketakutan terbesarnya kini sudah hilang. Ia tidak akan kehilangan putrinya seperti apa yang ia pikirkan.
“ Bu... “
Lina menggelengkan kepalanya, mencoba membuat putrinya tak mengatakan apapun. “ Sudah, nak. Sudah. Ibu akan selalu ada di samping kamu. Meski kamu menganggap hidupmu telah hancur, tapi karena hidupmulah ibu bisa bertahan, nak. Ibu janji. Kita akan bahagia seperti dulu. Ibu nggak akan lagi egois mempertahankan apa yang seharusnya sudah ibu lepaskan sejak lama. Maafin ibu, karena ibu membiarkan kamu hidup dalam rumah yang tidak nyaman. Maafin ibu, nak. Tapi tolong... jangan tinggalin ibu.”
Melihat tangisan ibunya, hati Meta seperti disayat. Untuk kali ini, tangisan ibunya murni karena Meta bukan karena ayah yang telah melukainya. “ Maafin Meta, bu. Meta janji nggak akan ninggalin ibu. Meta akan berusaha kuat.”
***
Bara menatap bar tempat putrinya datangi tempo hari. Di depannya memang ada dua penjaga dengan tubuh tegap seperti yang putrinya gambarkan di laporan. Langkah pria itu semakin mendekat, masuk ke dalam sana dan disambut suara musik yang keras. Ia kemudian menghampiri meja bartender. “ Apa saya bisa bertemu manajer tempat ini?” tanyanya dengan sopan.
Bartender itu menatap Bara dengan curiga. Apalagi pria itu ingin menemui manajernya. “ Ada masalah apa?” tanyanya yang tak terlalu peduli.
“ Saya ingin menemuinya. Apakah butuh alasan?”
“ Tentu saja butuh alasan kuat untuk membuat atasan saya terjun ke sini secara langsung,” ucap bartender itu dengan nada angkuh.
Bara mengusap wajahnya dengan kasar. Ia menatap sekitarnya dan menemukan CCTV di dekat pintu masuk. “ Saya butuh rekaman CCTV di sini.”
Bartender itu semakin aneh menatap Bara, keningnya berkerut seolah tak suka dengan permintaan pengunjung yang baru dilihatnya ini. “ Itu tidak bisa. Apa hak anda untuk mengambil rekaman CCTV kami? Punya ijinnya?”
Bara menggeleng. “ Tapi saya membutuhkannya, saya butuh rekamannya untuk jadi barang bukti.”
“ Saya bilang nggak bisa ya nggak bisa!” bentak si bartender dengan kasar sehingga menimbulkan keributan di dalam sana.
“ Saya butuh rekamannya!” Bara sampai menarik kerah baju si bartender tak kalah kasar. “ Saya harus membuat laporan ke polisi!”
“ Tanpa surat ijin, kami tidak bisa memberikannya!” Si bartender menghempaskan tangan Bara hingga hampir membuat pria itu terjatuh. Ia pun menepuk-nepuk bajunya dan menatap remeh pada pria di depannya.
Bara benar-benar frustasi. “ Tanpa rekaman ini, laporan anak saya tidak bisa ditindak! Tanpa rekaman ini, anak saya tidak bisa mendapat keadilan! Apa anda tidak punya hati? Apa anda sanggup membayangkan anak anda diperkosa oleh pengunjung di sini?” jeritnya.
Beberapa orang mulai memperhatikan Bara dan semua yang dia ucapkan. Tapi beberapa dari mereka justru tertawa.
“ Masa diperkosa di bar. Itu mah sama-sama mau kali.”
“ Emang anaknya nakal juga kali.”
“ Ya itu mah bukan diperkosa namanya, tapi emang suka terus lanjut cek in deh. Alasan klasik aja biar cowoknya tanggung jawab.”
Beragam komentar di sekitar Bara membuat pria itu kehabisan kesabaran. “ Putriku bukan wanita seperti itu!” bentaknya.
Penjaga langsung berdatangan dan menarik Bara keluar dari sana. Bukan rekaman CCTV yang dia dapat, justru luka-luka lebam di wajah dan tubuhnya akibat perlakuan penjaga di sana. Pria itu tak melawan, hanya pasrah terbaring di aspal dengan luka-lukanya.
Setidaknya luka ini tak terlalu menyakitkan, tidak lebih sakit dari seorang ayah yang mengetahui putrinya telah dilecehkan oleh pria lain. “ Maaf. Maafkan ayah, Ta.”
***
“ Lo tau nggak? Gue punya berita besar!” Selina terlihat heboh di kantin kampusnya, menyapa beberapa pria yang telah menjadi teman dekatnya. Tepatnya memang ia dekat dengan banyak pria di kampus ini.
“ Apaan sih lo? Heboh banget pagi-pagi.” Robi tampak kesal melihat si centil itu mulai sok dekat dengan mereka lagi. Walaupun memang Selina cantik, tapi suara cempreng dan sok imutnya itu benar-benar mengganggu gendang telinganya.
Selina mencebik, mengabaikan keberadaan Robi dan justru menghampiri Dirga, Farzan, Arya dan Daffa. Cowok-cowok tampan dan populer di kampusnya. Terutama Farzan dan Dirga yang ketampanannya di atas rata-rata itu. “ Meta... lo pada tau dong pasti. Si ratu OSPEK dua tahun lalu.”
“ Meta?”
“ Inget gue inget. Yang rambutnya cokelat, kan? Rambutnya bagus banget kayak iklan sampo anjir.” Arya langsung ingat apalagi soal wanita cantik, ingatannya sangat kuat. “ Pinter juga dia wey. Tapi cuek banget.”
Selina mengangguk. “ Gue nggak sengaja liat dia sama ibunya dateng ke kantor polisi tempat bokap gue kerja. Dan lo tau... “ Ia menatap satu persatu pria di depannya.
“ Cepetan kek!” Daffa yang nggak sabaran ingin sekali melempar Selina dengan sepiring somaynya.
Selina tersenyum penuh kemenangan. “ Meta bikin laporan soal dia diperkosa. Lucunya lagi, dia diperkosa pas main ke bar. Gila nggak?”
“ Hah?”
“ Yakin lo?”
“ Jangan fitnah lo.”
“ Masa Meta main ke bar? Yakin? Kirain gue dia anak baik-baik.”
“ Muka sekarang nggak menjamin kali.” Selina mengibaskan tangannya. “ Mending gue, emang ketauan suka ke bar jadi nggak sok polos tuh apalagi sok ngejaga diri. Cuma lucu aja. Masa dia laporannya begitu. Siapa yang mau percaya? Apalagi dia diperkosa dalam keadaan mabuk. Lucu banget.”
Dirga seketika beranjak dari sana. Obrolan kali ini benar-benar tak ia sukai.
“ Woy. Mau kemana lo?” Arya langsung memanggil sahabatnya itu.
“ Biarin aja. Kebelet boker kali.” Robi malah serius mendengarkan berita yang Selina berikan. “ Jadi, Meta udah nggak perawan dong? Kalo lo gimana?” tanyanya dengan santai pada Selina.
“ Mulut lo minta digampar ya?”
Sementara teman-temannya asik mengobrol, Farzan hanya melihat Dirga yang berjalan semakin jauh. Aneh sekali.
***
Berita soal Meta pun tersebar semakin luas meski hanya dari mulut ke mulut. Pelaku utamanya jelas adalah Selina si mulut ember yang memang tidak pernah suka jika disaingi oleh siapapun. Kehadiran Meta di kampus ini seolah menenggelamkan namanya yang telah lebih dulu bersinar. Selina yang juga anak dari salah satu dosen senior itu memang tak pernah menyukai Meta.
Meta yang sok polos.
Meta yang sok pintar.
Meta yang sok tidak mau didekati para cowok.
Meta yang sok jadi mahasiswa paling rajin itu ternyata menyimpan aib yang begitu besar. Aib yang bisa menjatuhkannya hanya dalam waktu sekejap.
Farzan menatap foto Meta yang dipajang hampir di setiap sudut gedung kampusnya. Para mahasiswa juga mensomasi pihak kampus agar mengeluarkan Meta dari kampus. Katanya Meta telah mengotori kampus mereka dengan tindakannya. Melihat wajah Meta di foto, membuat pria itu mengepalkan tangannya sendiri. Di sekitarnya banyak yang mencaci maki Meta dan menganggapnya sampah masyarakat yang hanya bisa mengotori nama kampus saja. Meskipun laporan Meta di kepolisian tidak ditindak lanjuti, tapi nyatanya laporan itu bocor hingga ke media sosial, membuat nama Meta menjadi sangat buruk.
“ Dia kan mencoba bunuh diri. Nyokap gue yang nanganin dia sewaktu masuk UGD dengan pergelangan tangan berdarah. Gila kan?”
Ucapan mahasiswi di sebelahnya membuat Farzan membeku. Benarkah Meta mencoba bunuh diri?
“ Tapi dia selamet sih. Cuma ya... kalau gue jadi dia, mending mati nggak sih? Bentar lagi dia dikeluarin dari kampus padahal udah semester tiga. Kasihan banget.”
“ Pelakunya siapa ya? Jangan-jangan om-om lagi. Hiiii! Nggak kebayang diperawanin sama om-om.” Tawa perempuan itu seolah menganggap apa yang Meta alami adalah sebuah lelucon.
Farzan pun berbalik dan pergi dari sana setelah menerima pesan dari tante yang telah ia anggap sebagai ibu kandungnya sendiri. Seperti biasa, hari ini adalah jadwalnya menemani tantenya untuk cuci darah.
Ketika sedang menunggu proses cuci darah yang dilakukan tantenya, Farzan memilih untuk membeli kopi di kantin lalu kembali menunggu di ruang tunggu. Sekilas ia melihat seorang wanita yang berdiri menghadap jendela dengan tangan yang terinfus. Begitu melihat wajahnya, ia agak shock.
Meta.
Dilihatnya bagian pergelangan tangan Meta, benar saja. Pergelangan tangan itu diperban. Jadi benar dia mencoba untuk bunuh diri?