Apa yang terjadi di dalam hidup, biasanya memang sudah digariskan. Namun setiap manusia memiliki kesempatan untuk mengubah garis hidup mereka untuk menjadi lebih baik lagi. Sayangnya, tindakan teledor beberapa manusia justru membuat mereka jatuh pada takdir yang kemudian menjadi mimpu terburuk yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
***
Begitu banyak pengandaian yang ada di benak Meta sejak kemarin.
Andai tidak ke bar sendirian.
Andai tidak minum minuman beralkohol.
Andai tidak menerima tawaran pria asing untuk menari bersama.
Andai tidak semudah itu membawanya ke hotel dan menyerahkan seluruh tubuhnya pada pria tak dikenal.
Semua pengandaian itu membuat hati Meta sakit. Sekuat apapun ia mencoba mengingat wajah pria yang telah menodainya, hasilnya tetap nihil. Tak sedikitpun ingatan bersisa di dalam kepalanya. Hanya satu yang gadis itu ingat... jam tangan berwarna hitam dengan corak abu-abu.
Betapa bodohnya hanya hal itu yang bisa Meta ingat, ada berapa banyak jam tangan dengan corak yang sama di dunia ini. Tidak mungkin ia bisa menemukan salah satu pemiliknya, yang mungkin telah menghabiskan malam bersamanya.
Hancur.
Itulah yang Meta rasakan pada dirinya sendiri. Terutama ketika pulang ke rumah, melihat banyaknya pecahan vas di lantai, pertanda perang kedua orang tuanya mungkin baru saja selesai beberapa saat lalu. Ia mengabaikannya, berjalan terus menuju kamarnya dan mengunci diri di dalam sana.
Meta menyadari, dirinya tak lebih berharga dari sampah. Tubuhnya yang ternodai bahkan ditinggal begitu saja oleh pria b******k itu. Layaknya permen karet yang dinikmati, setelah mendapatkan rasa manisnya lalu melepehkannya begitu saja. Layaknya permen karet yang terbuang karena memang sudah habis kenikmatannya. “ Keluarga gue hancur, harusnya emang pantas kan gue hancur juga?”
***
Selama beberapa hari, Meta tak masuk kuliah seperti biasa. Padahal biasanya ia paling rajin untuk kuliah agar bisa segera lulus dan mencari pekerjaan yang jauh dari rumah. Agar ia bisa mandiri tanpa harus ke rumah bak neraka ini lagi. Sayangnya tenaganya terkuras habis seiring air matanya yang mulai kering, menangisi nasib naasnya sebagai perempuan yang tak berharga lagi.
Menyadari ada yang tidak beres dengan putrinya, Lina mencoba mengetuk pintu kamar putrinya. Mungkin ini pertama kali baginya setelah tiga tahun terakhir ia mengabaikan keberadaannya di rumah ini. Tapi sejak asisten rumah tangganya mengatakan soal keanehan tentang putrinya, ia tak bisa lagi diam. Hubungannya dengan putrinya yang biasanya hangat, kini memang sedingin es. Ia mencoba mengabaikan kekakuan di antara mereka, demi memastikan putrinya baik-baik saja.
Pintu kamar Meta tidak dikunci, membuat Lina masuk dengan mudah ke dalam sana. Ia menemukan putrinya meringkuk di atas ranjang dengan jejak-jejak air mata di wajah dan juga spreinya. “ Meta... ada apa, nak?” tanya Lina dengan suara lembut. Entah kapan terakhir kali ia menanyakan kabar soal putrinya. Ia lupa, saking sibuknya dengan semua rasa sakit yang ia pertahankan di rumah ini.
Meta tak menjawab. Tatapan mata gadis itu tampak kosong. Bahkan ketika Lina menyentuh lengannya, seketika Meta menjauh dan menatap nyalang ke arahnya. “ Jangan sentuh aku!”
“ Meta. Ini ibu.” Lina terlihat kaget dengan reaksi putrinya.
Meta menatap sekitarnya dengan perasaan cemas, lalu gadis itu menangis lagi dengan begitu pilu. Membuat hati ibu manapun akan sakit mendengarnya.
“ Ada apa, sayang? Kenapa kamu menangis seperti ini?” Lina mencoba menarik Meta ke dalam pelukannya.
Meta menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kuat dan terus menangis. “ Nggak! Aku nggak mau.”
“ Ada apa, nak? Jangan begini. Katakan apa yang terjadi?”
Mendengar suara keributan dari arah kamar putrinya, Bara menghampiri tempat itu dan berdiri di depan pintu masuk. Menatap istri yang tengah memeluk putrinya begitu erat. Lalu apa yang Meta katakan selanjutnya, membuat tubuhnya membeku.
“ Aku... aku udah nggak berharga lagi, bu. Aku... sudah diperkosa.”
Bak mendengar suara petir, Lina jelas sangat terkejut mendengar pernyataan putrinya.
“ Jangan bercanda, nak. Kamu tau ini sama sekali nggak lucu.”
Rasanya Meta ingin tertawa kali ini. Sejak kapan hubungannya dengan sang ibu sedekat itu sampai ia harus membuat lelucon untuk ibunya?
Diamnya Meta membuat Lina semakin histeris. “ Bagaimana bisa, nak? Siapa pelakunya? Kita harus melaporkannya.” Ia mulai heboh bertanya pada putrinya, mengguncang tubuh putrinya yang hanya menangis di depannya. “ Menangis nggak akan menyelesaikan apapun! Pria itu harus bertanggung jawab.”
“ Dasar kalian memang para wanita bodoh!” maki Bara dengan suara yang begitu dalam. “ Bisa-bisanya kamu membiarkan pria menyentuhmu.” Ia menghampiri Meta, menarik tangan gadis itu dan menghempaskannya ke lantai.
“ Mas! Jangan kasar sama anak kita!” Lina langsung menghampiri putrinya dan memeluknya, ia menatap suaminya dengan nyalang. “ Semua ini karena kamu! Karena dia punya ayah b******k seperti kamu makanya anak kita jadi bertemu dengan pria yang b******k juga! Harusnya kamu yang disalahkan karena kamu tidak bisa menjaga keluargamu sendiri!”
“ Istri s****n! Karena sikapmu yang nggak becus jadi ibu ini, makanya aku memilih menikah lagi! Nggak berguna kalian!” Bara langsung berbalik dan pergi dari sana. Pria itu bahkan sempat meninju dinding di sampingnya begitu kuat. Membuat dua wanita di dekatnya itu semakin ketakutan.
“ Ibu... aku takut.” Meta terus memeluk ibunya dengan kuat. “ Hidupku sudah hancur. Keluargaku hancur, sekarang aku sendiri juga hancur.”
Lina terus memeluk putrinya, mengecup puncak kepalanya dan menangis di sana. “ Maafin ibu, nak. Maafin ibu. Seharusnya ibu bisa ada buat kamu, bukan asik menikmati rasa sakit dan pertengkaran ini.”
“ Aku nggak mau hidup lagi, bu. Aku mau mati saja.”
“ Nggak! Kamu harus kuat, nak. Kita coba cari solusi ya. Jangan pernah tinggalin ibu,” ucap Lina mencoba meyakinkan putrinya.
Akhirnya setelah hari itu, keesokan harinya Lina mengajak Meta ke kantor polisi untuk melaporkan kasus yang menimpa putrinya. Setelah menulis laporan dan menghadap salah satu petugas di sana, mereka justru ditertawakan.
“ Bu... ini gimana sih? Kalau kasusnya begini ya nggak bisa diproses. Kami kan bukan dukun. Kalau anak ibu aja nggak inget wajah pelakunya, gimana kita bisa nangkep?” balas petugas berseragam itu.
Lina jelas tak terima apalagi tawa yang begitu meremehkan ditujukan pada putrinya yang duduk ketakutan di sebelahnya. “ Ya kan kalian bisa proses sesuai aturannya. Diselidiki kek, pake CCTV kek. Kan bisa?”
“ Masalahnya nggak ada bukti yang kuat, bu. Ini aja udah lewat dari tiga hari dari hari kejadian. Mau divisum dulu pun percuma, pasti udah nggak ada bekasnya. Lagian anak ibu sendiri ngapain main ke bar. Bukannya dia masih di bawah umur? Kalau dia main ke bar harusnya dia tau resikonya dong.”
Benar-benar tak ada solusi.
Kesalahan pertama yang Lina akui hari ini adalah dengan datang ke sini, ke tempat yang katanya bisa melindungi masyarakat... justru hanya bisa terus menyalahkan putrinya.
Tanpa basa basi lagi, Lina langsung mengajak Meta pulang dari sana. Percuma ia menjelaskan seperti apapun, laporan mereka tak akan pernah diterima.
“ Bu... apa aku pindah aja? Aku nggak sanggup kuliah lagi.”
“ Ssssttt. Ngomong apa sih kamu? Kemarin mau mati, sekarang mau pindah, besok mau apa lagi?” Lina jadi ikut frustasi karena tak ada pencerahan apapun soal kasus yang menimpa putrinya. “ Nggak akan ada yang tau soal kasus kamu asal kamu merahasiakannya. Cukup ibu dan ayah yang tau, lalu kamu jalani hidupmu sendiri seperti biasa. Kamu bisa, kan?”
Pertanyaan yang keluar begitu mudah dari mulut ibunya justru sangat melukai Meta. Bagaimana bisa ia menjalani hidupnya seperti biasa setelah seseorang telah merenggut kehormatannya dan membuangnya seperti sampah?
***
Ada yang Meta syukuri dari kejadian yang menimpanya. Setidaknya sekarang rumahnya terasa sunyi, sepi... tak ada lagi teriakan makian ibunya, tidak ada suara keras bentakan ayahnya, tidak ada lagi suara benda-benda yang dihancurkan. Rasanya begitu damai.
Meta masuk ke dalam kamar mandi ketika merasakan perutnya yang nyeri. Benar saja, tamu bulanannya datang hari ini. Satu hal yang ia syukuri, kejadian malam itu tak membuatnya hamil. Meskipun tetap saja, harga dirinya telah dihancurkan begitu dalam tanpa bisa ia ketahui siapa pelakunya.
Kedua manik mata Meta mengarah ke arah vas kaca yang berisi tanaman air itu. Tangannya kemudian meraih vas itu dan membantingnya ke lantai. Beberapa pecahan kaca melukai kakinya, tapi sama sekali tak terasa sakit. Meta justru mengambil pecahan kaca besar, menatapnya nanar dan mendekatkan ke pergelangan tangannya. Dengan sekali sayatan, darah mulai mengucur dari sana. Rasa sakit dan perih itu mulai menjalar di seluruh tubuhnya, membuat kesadarannya mulai menghilang... persis seperti kejadian malam itu.
Yang terakhir kali Meta ingat hanyalah teriakan ibunya, lalu semuanya berubah menjadi gelap.