Lexington, Manhattan, New York City
Selasa, 21 November 2017
--
Aku terbangun pagi itu dan mendapati diriku berdiri di depan cermin. Aku pergi mandi sekitar dua puluh menit yang lalu, kemudian aku mulai melakukan hal paling konyol: aku mulai merias wajahku. Aku memoleskan bedak dan maskara tipis. Aku memakai pelembab bibir yang kubiarkan terbengkalai untuk waktu yang lama. Aku memilih pakaian yang bagus dan aku menata rambutku. Aku tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya, tapi untuk pertama kali dalam beberapa tahun terakhir, aku merasa bahwa aku memiliki tujuan.
Aku ingin bertemu Kate, kami akan bertemu di atas jembatan Brooklyn. Aku harap dia menungguku di sana.
Aku pergi ke stasiun dan menaiki kereta ketiga karena hari itu ada lebih banyak pengunjung yang berdatangan. Aku duduk di gerbong nomor dua. Perjalanan itu terasa lebih singkat karena dua puluh menit kemudian, aku telah tiba di City Hall. Segalanya semakin membaik ketika aku berjalan di jembatan Brooklyn, aku melihat Kate melambaikan tangannya ke arahku. Aku bisa mengenali wajahnya dari kejauhan. Dia tidak mengenakan jaket merah dan kaca mata hitam seperti yang kubayangkan. Dia mengenakan blus berwarna putih, kemeja biru dan jeans biru terang. Rambut pirangnya dibiarkan tergerai memanjang di belakang punggung. Kate tersenyum ke arahku – aku ikut tersenyum ke arahnya. Aku selalu merasa asing pada pertemuan keduaku dengan wajah-wajah yang hadir di papan merah itu, tapi aku merasa segalanya berbeda dengan Kate. Aku langsung merasa akrab. Aku bahkan tidak ragu ketika melangkah hingga sampai di hadapannya.
Saat itu ia mengayunkan satu tangannya dan mencengkram bahuku, sebuah cengkraman yang lembut. Aku bisa melihat kuku-kuku jarinya yang panjang dan terawat. Aku bisa mengenali suaranya ketika ia mulai berbicara.
“Halo, Sara..”
Aku terdiam selama beberapa saat hingga dia bertanya, “kau ingat aku, bukan? Aku Kate.”
“Ya.”
“Jadi, kemana kita pergi hari ini? Apa kau memiliki rencana khusus?”
“Aku ingin pergi ke perpustaan.”
Kate memiringkan wajahnya, ia tampak tertarik. “Kau suka membaca buku?”
“Tidak. Aku hanya menyukai suasana di sana.”
Ia tertawa. Mulutnya terbuka lebar dan aku bisa melihat sederet giginya yang putih dan rata.
“Baiklah, perpustakan.”
Kate dan aku pergi ke perpustakaan pagi itu. Kami mengobrol di sana selama beberapa menit yang tiba-tiba terasa cepat. Dia mengajakku berkeliling, dan kami memilih sebuah bangku kosong di sana. Seorang petugas yang berjaga sedang mengawasiku, tapi Kate kelihatan tidak peduli. Dia memperlakukanku layaknya orang yang normal. Aku tidak menghitung berapakali pintu masuknya mengayun terbuka, nyaris tidak peduli berapa banyak pengunjung yang ada di sana atau bagaimana aku bisa menikmati anggurku secara diam-diam. Segalanya tiba-tiba pudar di belakangku. Aku hanya ingin berbicara dengannya – dia mendengarkanku, nyaris tidak melewati satu katapun. Aku tergoda untuk bertanya segala hal yang tidak aku ketahui tentangnya, tapi itu terlalu cepat. Aku tidak ingin dia menghindar karena sikapku. Aku ingin tetap berteman dengannya.
Jejeran rak yang dipenuhi oleh buku-buku bersampul tua itu menjadi saksinya. Ketika Kate dan aku duduk bersampingan dan aku menunjukkan semua hasil cetakan gambar yang diambil kameraku sejak tanggal 1 November. Semua yang hadir di sana tiba-tiba terasa asing, aku hanya mengingat satu orang: Kate. Duniaku berputar di sekelilingnya. Kami telah menjadi begitu akrab dalam waktu dekat, tampaknya dia tertarik padaku. Aku mengusir gagasan yang hadir di kepalaku bahwa aku hanyalah sebuah 'eksperimen' untuknya, aku lebih suka memikirkan bahwa dia tertarik untuk berteman denganku. Bagaimanapun, aku tidak peduli semua itu. Aku merasa senang hari ini dan untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun silam aku kembali merasa hidup. Aku merasa benar-benar normal dan aku adalah bagian dari dunia ini. Kate nyata. Aku bisa menulisnya dalam buku catatanku hari ini. Dia adalah teman yang nyata.
"Ini Annette," aku menunjukkan sebuah gambar seorang wanita berambut pirang dengan wajah bulat yang cantik, kemudian aku membalik halaman selanjutnya tepat dimana sebuah gambar memperlihatkan wajah Annette bersama putrinya yang sehat. ".. dan ini Joanah, putrinya."
Kate memerhatikan wajah dalam gambar itu kemudian mengguk. Kami beralih ke halaman-halaman berikutnya. Aku sempat khawatir kalau dia akan merasa bosan dan memutuskan untuk meninggalkanku, tapi itu tidak dilakukannya.
"Aku suka berbicara dengan Jane. Aku suka mengambil gambarnya, jadi aku mencaritahu semua tentangnya dan Jane adalah seorang janda. Suaminya telah meninggal karena penyakit jantung. Jane tinggal bersama dua putra dan ketiga cucunya. Aku suka membayangkan mereka. Itu seperti.. anak-anak yang berlarian di pekarangan rumah, mereka tertawa keras, terkadang suara tawanya begitu keras hingga orangtuanya terganggu. Kemudian ada Jane, dia duduk di beranda mengawasi cucu-cucunya dan dia membuat teh untuk mereka. Mereka adalah Jack dan Hilda.. mereka anak-anak yang cantik dan nakal. Terkadang, tingkah mereka membuat Jane kesal, tapi Jane sangat menyayangi mereka."
"Nama mereka Jack dan Hilda?" Kate mengulangi, bermaksud untuk mempertanyakannya. Tiba-tiba wajahku memerah.
"Tidak, aku hanya suka menebak siapa nama mereka."
"Kau melihat orang-orang kemudian kau menemukan nama yang cocok pada beberapa orang yang membuatmu tertarik?"
"Ya, aku harus memiliki sebuah nama untuk bisa kuingat. Aku akan mencarinya. Aku juga melakukan hal yang sama ketika melihatmu."
"Jadi, siapa aku?"
"Anne. Aku pikir Anne nama yang cocok untukmu. Itu melukiskan semuanya: kelembutan, kecantikan, kesempurnaan."
"Kau pasti berpikir semua hidup orang-orang yang hadir di sekelilingmu benar-benar sempurna."
"Tentu saja. Tidak ada yang seburuk apa yang kualami."
"Mungkin kau hanya memandang dengan sebelah mata, atau mungkin itu yang kau harapkan. Seseorang memiliki kecenderungan untuk meletakkan perhatian besar pada sesuatu yang benar-benar mereka inginkan. Terkadang hal itu memakan mereka sehingga mereka hanya mampu melihat dalam satu sudut pandang."
Kate benar. Semua yang dikatakannya benar. Aku menginginkan sebuah kehidupan yang sempurna: kehidupan dimana hanya ada aku dan Tom di dalamnya dan kami saling mencintai satu sama lain. Terkadang aku tidak ingin tahu apa hal terburuk yang mungkin dapat dihadapi oleh orang-orang dalam foto itu. Mungkin mereka mengalami hal yang lebih buruk dariku.
Karena penasaran, kuputuskan untuk bertanya. "Apa kau pernah menemukan yang lebih buruk?"
Kate tidak keberatan untuk menceritakannya. Dia memiliki seorang pasien yang menderita penyakit parkinson. Itu semacam penyakit yang menyerang sistem saraf sehingga seseorang tidak bisa mengendalikan tubuhnya. Terkadang bergetar, gerakan otot yang kaku, dan sulit menyeimbangkan diri saat berjalan. Penderitanya mengalami depresi selama bertahun-tahun. Penyakit yang kupikir sama mengerikannya denganku. Tidak diketahui penyebabnya dan memiliki risiko disabilitas.
Aku bisa membayangkan bagaimana kehidupannya berputar. Itu bukan hal yang menyenangkan ketika seseorang harus hidup dan berharap kematian datang lebih cepat. Aku pernah merasakan hal yang sama, pasien Kate lebih buruk. Usianya bahkan belum mencapai tiga puluh tahun. Dia harus menjalani terapi setiap saat, menelan obat-obatan dan hidup terasing. Terkadang dia menggila, penyakit itu memakan otaknya. Berkali-kali merasa kesakitan, saat itu tidak ada yang begitu berarti dalam hidupnya. Dia berharap hidup menjadi lebih singkat untuknya.
Aku pernah merasakan hal yang sama. Ketika kupikir kematian menjadi lebih baik untukku. Aku menelan semua obat-obatanku. Aku mengalami kontraksi serius karenanya, nyaris overdosis hingga orang asing yang tidak bisa kuingat namanya menolongku. Dokter memberi pertolongan cepat dan aku bertahan. Nick sangat marah tentu saja. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku melihatnya tersenyum.
"Itu mengerikan," komentar Kate ketika mendengar ceritaku. "Kapan itu terjadi?"
Aku membisu, kuputuskan untuk berbohong padanya. "Saat ibu dan ayahku meninggal karena kecelakaan."
"Itu masa-masa yang sulit untukmu," Kate mengatakannya sembari meremas punggung tanganku. Aku bisa melihat kilat yang muncul di matanya. Tiba-tiba semua menjadi pudar. Tergorokanku kering, aku harap aku dapat meneguk alkohol saat itu juga.
"Apa kau tidak bekerja?"
"Masih terlalu awal. Jam kerjaku baru akan dimulai sekitar empat puluh menit lagi. Kita masih bisa mengobrol sebentar."
Hening. Aku menatapnya hingga pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku. "Bagaimana rasanya?"
"Apa?"
"Kau mengobati semua pasienmu. Bagaimana rasanya?"
"Melegakan mengetahui mereka masih memiliki harapan untuk tetap hidup. Setidaknya itu yang kubutuhkan."
--
Beritahu saya tanggapan kalian..