Lima belas menit berikutnya, Kate berpamitan untuk pergi bekerja, aku mengikutinya sampai di depan pintu klinik, ia menghilang di dalam sana. Masih kuingat dengan jelas percakapan kami barusan. Aku menuju stasiun kemudian mencatatnya dalam buku. Kusaksikan sejumlah orang yang berlalu lalang di depanku. Mereka baru saja turun dari pintu kereta. Kereta kemudian bergerak perlahan meninggalkan stasiun.
Aku menaiki kereta menuju Lexington sekitar pukul tujuh malam dan tiba di rumah tiga puluh menit setelahnya. Aku berpapasan dengan Nate di lorong, dia bersama kekasihnya yang bertubuh tinggi dengan otot-otot besar. Mereka berdiri di depan pintu nomor tujuh belas – saling berhadap-hadapan. Ketika Nate menatapku, pria itu ikut menatapku. Tiba-tiba percakapan mereka terhenti. Aku bisa melihat perubahan emosi dalam raut wajah si pria – aku tidak bisa mengingat siapa namanya, dia hanya tampak tidak begitu asing. Tubuhnya tegap, kulitnya sedikit gelap dan dia memiliki potongan rambut hitam yang pendek. Sepasang mata gelapnya kini terarah padaku, tajam dan penuh ketidaksukaan. Aku harap aku tidak mengenal pria ini. Aku juga tidak berniat mengganggu mereka sampai Nate menegurku.
"Kau sudah kembali?" Nate menghampiriku, aku tidak berjalan menghindarinya, hanya saja pria itu masih menatapku. Ia terlihat sama tidak nyamannya denganku.
"Natalie.." tegur pria itu sebelum Nate berhasil mencapaiku. Ia bergerak menghampiri kekasihnya, memberi Nate ciuman cepat di puncak kepalanya kemudian berpamitan seolah ia tidak ingin berada terlalu lama di sana.
"Kuhubungi kau nanti," kata si pria pada Nate sebelum ia bergerak melewatiku. Aku bisa merasakan tatapannya yang terarah tajam padaku. Nate menyadarinya karena sekarang dia mengganggam tanganku.
"Jangan khawatir. Cole pria yang baik. Apa kau ingin makan sesuatu? Aku masih punya sisa ayam di kulkas.."
Meskipun gagasan untuk berbagi makanan dengan Nate bukan sesuatu yang terdengar cukup menyenangkan, tapi perutku tidak menolaknya. Aku menyetujuinya dengan cepat. Kuputuskan bahwa aku ingin menikmati anggurku malam ini bersama seseorang, Nate mungkin menjadi orang yang tepat.
Kami duduk di dapur tiga puluh menit kemudian. Nate memasak ayam dan menyajikannya pada dua piring besar. Ia juga memesan cola, tapi aku menolak dan memilih untuk menyesap anggurku. Syukurlah Nate menolak untuk berkomentar, dia bisa saja mengatakannya pada Nick, tapi kupikir suasana hatinya sedang baik malam ini. Dia tidak akan menggangguku.
"Bagaimana perjalananmu?" Dia bertanya saat kami berlomba-lomba menghabiskan potongan besar ayam itu.
"Berjalan seperti biasanya," aku sempat berpikir untuk menceritakan tentang Kate, tapi aku segera mengurungnya.
"Kau tidak berbuat ulah lagi, bukan?"
Aku menggeleng. Nate tertawa.
"Oh ayolah, aku hanya bercanda. Cole datang pagi ini. Seharusnya dia kembali tiga hari lagi, tapi dia meninggalkan pekerjaannya dan kembali untukku. Aku begitu senang."
"Bisa kulihat."
Nate beringsut di kursinya. Ia mencondongkan tubuhnya saat menatap kedua mataku. "Aku melihatmu bangun lebih pagi dan kau berias. Itu bukan hal yang biasa kau lakukan. Apa kau akan mengatakan padaku?"
"Tidak, aku hanya.." aku kebingungan. Aku rasa dia ingin tahu segala hal dan aku bukanlah pembohong yang andal. Nate selalu tahu ketika aku mabuk dan bicara melantur, tampaknya dia juga memahami suasana hatiku sekarang.
"Apa itu seorang pria? Kau tertarik padanya?"
Dia memulai kebiasaannya dengan menebak-nebak, aku khawatir jika aku mengecewakannya.
"Tidak. Hanya saja.. ini hari yang cerah. Aku merasa lebih baik."
"Itu pasti karena kau tidak mabuk."
"Mungkin.. aku tidak tahu."
"Bagaimana dengan Nick? Kau sudah menghubunginya hari ini?"
"Tidak – belum. Aku berencana menghubunginya nanti."
"Dia mengirim pesan padaku untuk mengatakan kalau dia akan bertugas keluar kota selama satu atau dua hari. Mungkin dia baru akan kembali lusa. Dia memintaku untuk mengingatkannya padamu dan tolong.. jangan lupakan sesi terapimu."
Aku mengangguk, merasa senang setelah mendengar kabar itu. Nick selalu berpergian ke luar secara mendadak, itu adalah bagian dari pekerjaannya. Terkadang, aku benar-benar kesepian hingga aku berharap dia pulang lebih cepat, namun disaat seperti ini, aku tidak bisa berbohong kalau aku harap Nick pergi lebih lama. Aku tidak tahu apa Nick akan senang mengetahui kalau aku memiliki seorang teman baru. Dia tidak pernah setuju jika aku berteman dengan orang asing, Nick menganggap itu terlalu berbahaya untukku. Aku tahu maksud baiknya, tapi aku juga tidak suka saat dia mulai mengatur dengan mengatakan apa yang harus dan tidak harus kulakukan.
"Apa obatnya habis?"
Aku sedang bergulat dengan pikiranku hingga aku tidak sadar kalau Nate telah mengajukan pertanyaan lain. Genggamannya di atas tanganku membuatku tersentak.
"Sara!"
Aku menatapnya, merasakan sesuatu menggelitik perutku. "Maaf?"
"Aku bertanya padamu apa obatnya sudah habis?"
"Tidak. Belum."
"Bagus. Jika kau butuh sesuatu, jangan sungkan untuk mengatakannya."
Aku ingin mengatakan pada Nate kalau aku butuh uang untuk membeli anggur dalam jumlah yang banyak, tapi tidak kulakukan.
Satu jam kemudian, kami duduk di atas sofa dan menyaksikan siaran berita. Nate sedang asyik dengan tontonannya ketika aku menikmati anggur pinot-ku di atas sofa. Kami lebih banyak diam dan aku sibuk dengan pikiranku. Hingga jarum jam menunjukkan pukul sebelas, Nate tertidur di atas sofaku. Aku meninggalkannya untuk meraih selimut bersih yang masih tersimpan di dalam lemari. Setelah menyelimutinya, aku meraih remot di atas meja kemudian mematikan televisi. Keheningan segera menyelimuti ruang tengah.
Aku berjalan masuk ke dalam kamarku. Meletakkan botol anggur itu di atas meja kerja, aku duduk di atas kursi dan mulai berkutat dengan sejumlah e-mail yang masuk ke komputerku. Kebanyakan dari e-mail itu berisi lowongan pekerjaan yang tersedia. Aku memilihnya satu persatu, membacanya dengan serius kemudian mengirim balasan.
Aku telah memikirkan hal ini sejak satu bulan yang lalu – mungkin dua atau tiga bulan. Aku tidak bisa selamanya bergantung pada Nick dan aku membutuhkan lebih banyak uang untuk membiayai hidupku. Uang asuransi milik ayahku akan segera habis dalam waktu yang tidak bisa kutemukan dan selama itu, aku harus menemukan pekerjaan yang cocok untukku sehingga aku tidak perlu khawatir untuk biaya hidupku kedepannya.
Melihat dari riwayat dalam e-mail itu, aku mendapati sebanyak lebih dari tiga puluh e-mail lamaran yang telah kukirim ke beberapa perusahaan. Aku memilih pekerjaan yang menurutku tidak terlalu rumit dan bisa kulakukan. Mungkin pelayan toko, petugas perpustakaan, atau apapun yang tidak mengandalkan ingatan dalam jangka waktu panjang. Tidak masalah jika aku harus bekerja sebagai pelayan kebersihan. Menurutku pekerjan itu memiliki lebih sedikit risiko.
Sebanyak belasan e-mail dari puluhan yang kukirim ditanggapi dengan serius. Namun, kebanyakan dari semua balasan itu berisi penolakan karena aku tidak memenuhi standar kualifikasi mereka. Hanya ada dua bisnis usaha kecil yang menanggapiku dengan serius. Satu lowongan yang dibuka untuk pelayanan masyarakat, satu yang lain lowongan untuk pelayan minimarket. Mereka memintaku untuk mengirim cetakan lamaran pekerjaan melalui pos, dan mereka akan mempertimbangkan untuk sesi wawancara.
Aku merasa senang. Bagaimanapun penyakit ini lantas tidak membuatku menjadi orang yang benar-benar tidak berguna. Aku bukannya orang bodoh yang tidak bisa mengingat apapun. Terlepas dari semua ini, aku memiliki sejumlah prestasi di sekolah. Aku memenangkan piala lomba berpidato saat aku duduk di bangku sekolah dasar dan aku mewakili sekolahku dalam lomba matematika. Aku memiliki nilai bagus untuk ijazahku dan catatan yang tertera di raporku mengatakan kalau aku bukanlah pelajar yang suka membolos. Itu sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kualifikasi seorang pelayan toko maupun pelayanan masyarakat.
Aku bersemangat ketika menulis ulang lamaran pekerjaan itu. Aku mencetak dan memasukkannya ke dan amplop. Setelah meletakkan catatan untuk mengirim lamaran itu ke kantor pos besok, aku membuka sejumlah pesan yang masuk melalui akun media sosialku. Aku tidak menanggapi percakapan yang berakhir sekitar pukul lima sore tadi, dan aku hanya bertahan dua puluh menit sebelum aku beralih ke google untuk melacak informasi mengenai dokter Katherine.
Aku membaca riwayat kunjungannya. Dia bekerja setiap hari Sabtu dan Minggu, dia hanya mengambil waktu libur di hari Kamis. Jam terbangnya padat dan dia pernah menghadiri sejumlah seminar resmi yang membahas tentang masalah psikologis masyarakat umum. Dia wanita berusia tiga puluh tahun, lulus sebagai sarjana psikologi terbaik di sebuah universitas di Tennessee.
Aku membuka semua gambar yang ditangkap kamera saat acara seminar itu. Kate sedang duduk di atas sofa putih, berbicara sebagai narasumber dalam acara itu. Ada lebih dari seratus orang yang hadir di ruangan yang sama. Masing-masing dari mereka duduk di atas kursi yang telah disediakan untuk tamu. Sementara itu, media massa yang meliput ada di sisi kanan dan kiri studio. Mereka mengarahkan kamera ke wajah Kate dan seorang wanita berusia akhir empat puluhan yang duduk di kursi seberang. Kate tersenyum, aku bisa mengenali senyuman itu.
Ketika kuarahkan kursor ke bawah, ada sejumlah video cuplikan yang menanyangkan hasil rekaman dalam acara itu. Aku memutarnya. Video itu hanya berdurasi sekitar tujuh menit, aku menyimak saat Kate membicarakan masalah stigma dalam penelitian psikologi. Aku memutar video yang sama berkali-kali, mendengar suaranya yang berirama lembut dan mengingat percakapan kami siang tadi. Aku menulis di catatan kecil yang segera kutempelkan di papan merah. Catatan itu berisi pengingat untuk mengunjungi sejumlah tempat. Aku ingin menunjukkan pada Kate beberapa tempat yang kujumpai di Brooklyn. Aku berencana untuk mengajaknya berkeliling dan mengobrol banyak. Tidak lupa aku juga menulis catatan untuk pergi ke kantor pos besok. Aku perlu bangun lebih pagi untuk melakukan semua aktivitas itu. Jadi, aku meninggalkan komputer dan bergerak ke atas kasur. Sejenak, aku mengintip ke luar pintu, Nate masih tertidur di atas sofa, nafasnya teratur. Aku merasa lega, kubaringkan tubuhku di atas kasur, mataku menatap ke langit-langit di kamarku. Aku berbalik, kemudian melihat ke arah kaca jendela yang tertutup rapat.
Tom?
Tiba-tiba aku teringat laki-laki itu. Aku merasa ada sesuatu yang salah. Dia tidak ingin berbicara denganku dan aku merasa harus meminta maaf.
Tom??
Dia tidak mendengarkanku. Aku menutup mata rapat-rapat. Aku harap segalanya akan membaik besok.
--
Beritahu saya tanggapan kalian..