Feelings 7

1200 Kata
#Almeira Seperti biasa setelah bel istirahat semua siswa berhamburan keluar menuju kantin. Tak terkecuali aku. Baru juga duduk bersama tiga orang teman sekelasku, Daka menarik salah satu temanku yang kebetulan duduk di sampingku supaya berpindah tempat duduk. “Daka resek, deh!” kesal teman sekelasku yang memang sudah tahu tabiat Daka. “Lo nggak bosen di kelas ketemu Aira, di kantin juga barengan lagi.” “Heh, mestinya gue yang nanya gitu ke elo! Emang lo nggak bosen apa, ngintilin Aira? Aira aja bosen lihat muka lo!” “Biarin aja. Gue aja nggak bosen, kenapa lo yang sewot!” Daka kemudian menekan puncak kepala temanku yang memang jauh lebih pendek darinya. “Kampreeettt!!!” maki temanku itu. Aku hanya bisa menggeleng pasrah melihat kelakuan dua orang ajaib di hadapanku ini. “Udah, woy! Gue mau mau makan dengan tenang ini. Mau gue makan hidup-hidup lo pada? Mumpung gue lagi laper berat ini!” kesalku akhhirnya. “Aira, serem deh. Kanibalisme banget ancaman lo. Ngeri elah,” tegur temanku yang lainnya, yang tidak terlibat cekcok dengan Daka. “Ya, abisnya mereka seneng banget bikin gue keki gini.” “Sorry, Ai. Gue traktir soto betawi, deh. Favorit lo, kan, itu?” rayu Daka. Paling bisa dia, ngerayu pakai makanan. Belum sempat aku menjawab tawaran menggiurkan itu, terdengar suara cekikan dari belakang punggungku. “Hai, Danendra," sapa suara itu. Saat aku menoleh Sherine and the gank sudah berdiri sambil senyam senyum tebar pesona pada Daka. Dan hanya dijawab senyum tipis oleh Daka. “Mending duduk sama Sherine sono lu!” ucapku, mendorong tubuh Daka membuat dia bergeser hingga ke ujung bangku kantin. Temanku yang tadinya diusir oleh Daka turut ambil andil membuat Daka tersingkir dari bangku kantin yang tadinya sudah berhasil diambil alih olehnya. “Nggak lo, temen lo, barbar semua, Ai!” gerutu Daka. “Danendra duduk sini aja sama aku,” ujar Sherine. Ucapannya yang seperti dibuat-buat sok manis itu membuat aku dan ketiga temanku yang tahu tentang Sherine pun serempak menunjukkan kondisi muka ingin muntah. Bukannya menuruti ucapan Sherine, Daka malah memaksa duduk di sampingku hingga membuat aku bergeser dan duduk berdesakan dengan temanku. "Ngapain lo, Ka?" tanyaku ketus saat mendapati Daka sudah duduk menghimpitku hingga bahunya menyentuh bahuku. Entah kenapa, tiba-tiba aku refleks berdiri saat tubuh Daka menyentuh tubuhku. Ini untuk pertama kalinya terjadi selama belasan tahun hidup berdampingan dengan Daka. "Gue mau duduk. Nggak lihat lo kantin rame gini," jawab Daka tak acuh. "Ganjen lo!" hardikku lalu beranjak dari bangku dan bergegas pergi meninggalkan Daka. Aku menjulurkan lidah saat Daka meneriaki namaku dan memintaku supaya kembali ke kantin. Aku memilih tidak makan siang daripada harus ribut di kantin, terlebih di depan banyak teman dari kelas lain. Ternyata Daka menyusulku ke kelas saat aku sedang mencoba untuk tidur. Perutku lapar tapi mataku sudah tidak bisa diajak kompromi lagi saat ini. Jam istirahat masih tersisa sepuluh menit lagi, cukup bagiku untuk terlelap meski sekejap mata. "Woy, molor mulu, lo. Emang semalam begadang?" Daka menggebrak meja tempatku sedang menjatuhkan kepalanya. "Dakaaa...preman banget sih lo!" Aku mengangkat kepala lalu duduk bersedekap. Daka malah cengengesan melihat sikap kesalku padanya. "Lap dulu noh iler lo," ujar Daka dengan iseng sambil menunjuk pipiku dengan telunjuknya. Aku nggak marah, dan malah menjadikan kesempatan ini untuk membalas perbuatannya yang telah membangunkanku. Aku mengusap ujung bibir yang kata Daka tadi ada ilernya, lalu mengusapnya di lengan seragam Daka. Meski tidak ada air liur yang membasahi sudut bibirku seperti katanya tadi, aku sengaja menjilat jari telunjukku. "Bangke! Jorok banget lu!" dengus Daka. Aku terbahak melihat dia kesal karena pembalasanku. "Ganes k*****t banget. Dia ngajakin gue taruhan." Aku memilih mulai menceritakan alasan kenapa masih mengantuk di jam sekolah begini, ketimbang membalas makian Daka akibat perbuatanku. "Taruhan apa emang?" tanya Daka seraya melempar sebungkus snack di atas mejaku. "Dia janji mau bikin lukisan gue kalau gue bisa mantengin acara bola sampai selesai," jawabku sembari membuka bungkus snack pemberian Daka. Daka terang saja tertawa mendengar penuturanku. Saking tidak bisa menahan tawanya, dia sampai menyemburkan snack yang sedang dikunyahnya. "Apaan, sih?" Aku protes karena perbuatan Daka, terutama dengan tawa Daka yang tidak bisa berhenti itu. "Trus lo mau?" tanya Daka akhirnya. Aku mengangguk malas. Dan membuat Daka semakin tertawa lepas. "Mau lo nggak tidur tiga hari tiga malam juga Ganes nggak bakal mau ngelukis orang. Lo kayak baru kenal Ganes sehari dua hari aja, Ai." "Tau deh, gue ngantuk. Sana lo minggat! Sleding juga nih!" Aku mengusir Daka yang masih mencoba menahan tawanya. Akhirnya Daka memilih untuk tidak menggangguku lagi. Daripada di sleding olehku. Lagi pula bel masuk sudah berbunyi nyaring. Daka kembali ke kelasnya sendiri, di pintu dia berpapasan dengan siswa siswi lain yang hendak masuk ke kelas ini, termasuk Sherine. Daka bergidik saat melewati tubuh Sherine yang mencoba menghimpitnya. Sherine dan ketiga temannya kompak tertawa melihat respon Daka. Dari dulu sikap Daka pada Sherine ya seperti itu. Heran aja kalau itu cewek masih nekat ganjen pada Daka. Sebenarnya Daka tidak punya masalah apa pun dengan Sherine selain karena sikap cewek itu yang terlalu agresif padanya. Sherine justru selalu terlibat masalah denganku. “Apa hebatnya, sih, lo? Cuma anak beasiswa aja belagu,” ucap Sherine dengan nada lirih ketika melewati mejaku. “Heh! Punya mulut, tuh, dijaga ya!” ucapku penuh kemarahan dibarengi dengan menggebrak mejaku. “Ai, udah, Ai! Nggak usah diperpanjang,” ucap salah satu temanku yang ikut mendengar ucapan Sherine. Aku menepis tangan temanku yang memintaku untuk duduk. “Emangnya kenapa kalau gue anak beasiswa? Masalah buat lo? Gue ngabisin duit lo?” “Ya lo bisa sekolah di sini berkat duit orang tua gue. Kan gue bayar sekolah di sini. Emangnya elo, sekolah gratisan?” “Sialan lo!” “Gue denger-denger elo lagi dideketin Tistan. Mau apa lo? Morotin dia? Murahan juga lo, ya, ternyata!” Temanku yang lain meminta Sherine untuk menyingkir dari hadapanku dan kemudian melerai kami karena salah seorang teman sekelasku yang masuk kelas terakhir mengatakan bahwa guru bahasa inggris yang akan mengajar di kelas kami sedang perjalanan menuju kelas. Akhirnya aku memutuskan untuk duduk dan tidak memedulikan lagi omongan Sherine. Aku nggak ngerti kenapa Sherine itu selalu menganggapku seolah saingan berat baginya. Di manapun aku berada sepertinya dia ingin mengibarkan bendera permusuhan denganku. Padahal aku nggak pernah merasa seperti itu. Aku selalu bersikap cuek terhadap lingkungan sekitarku, termasuk keberadaan orang-orang seperti Sherine di sekitarku. Memang benar yang dikatakan Sherine, prestasi akademik dan ekstrakurikuler yang aku ikuti semasa SMP-lah yang mengantarkanku bisa sekolah di sekolah elite dan standar internasional seperti Bermuda High School (BHS) sampai tamat, bukan karena materi dari orang tua seperti siswa siswi yang sekolah di sini. Aku bisa sekolah di BHS sampai tamat dengan beasiswa prestasi yang didapatkan atas pencapaianku selama tiga tahun di SMP. Menjadi juara umum selama tiga tahun berturut-turut tidaklah mudah. Namun demi bisa memberi kebanggaan pada orang tuaku, aku menjalaninya dengan suka hati. Sebenarnya aku nggak perlu heran kenapa Sherine selalu kesal padaku. Mungkin dia iri atas pencapaianku selama ini. Ditambah juga karena aku dekat dengan Daka. Orang yang paling disukainya sejak masa putih biru. Justru yang membuatku heran akhir-akhir ini adalah sikap Ibu yang tidak menganggap keberhasilanku di bidang akademik hanya karena nilai kesenian dan keterampilanku selalu di bawah rata-rata. Miris banget. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN