Feelings 6

2275 Kata
#Almeira Menarik napas sedalam-dalammya adalah pemanasan paling tepat sebelum aku mendekati Ibu yang sedang duduk dengan anggun di tepi kolam ikan. Perempuan yang telah melahirkanku ke dunia itu tersenyum lembut melihat kehadiranku. "Ibu tumben di rumah? Nggak keluar kota?" tanyaku basa basi. "Ibu kosongin semua jadwal Ibu sampai tiga hari ke depan." Aku hanya menganggukkan kepala beberapa kali lalu menatap kosong kolam ikan di hadapanku. Aku jadi kangen Ayah. Sudah dua hari ini Ayah ke Boyolali untuk memantau panen kebun sengonnya. Mungkin sampai weekend. Tadi sudah mengirimkan chat kepadaku, mengabari hal itu. Itulah bedanya Ibu dan Ayah. Meski Ayah sekadar mengirimiku chat singkat, tapi dalam sehari Ayah bisa 3 sampai 5 kali mengirimiku chat. Kadang cuma tanya aku sedang apa? Sudah pulang sekolah? Sudah kerjakan PR? Sederhana caranya memerhatikanku, tapi perhatian seperti itu yang aku inginkan dari Ibuku juga. Kalau Ibu, jika tiga hari di luar kota, ya Ibu hanya mengirimiku chat sejumlah hari beliau meninggalkan rumah. Apa mungkin terlalu berat permintaanku itu sampai rasanya Ibu sulit untuk memenuhinya? Ibu menyodorkan raport berwarna hijau lumut dengan namaku tertera di halaman depannya. "Ibu cuma minta nilai B minus untuk pelajaran seni lukis kamu. Ini malah C minus. Pelajaran kesenian dan muatan lokal kamu cuma dapat C positif. Apa susahnya sih, Ai? Kamu sudah menghancurkan harapan Ibu untuk melihat kamu jadi seorang arsitek atau desainer seperti Ibu." Ibu mengatakan itu dengan penuh kecewa lalu menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. "Ibu itu sampai nggak punya muka waktu ngambil raport kamu. Tatapan wali kelasmu itu seolah menyindir Ibu, anak desainer kok nggak bisa menggambar!" tandas Ibu tanpa menatapku. "Tapi pelajaran yang lain Ai dapat A positif loh, Bu. Malah cuma dua mata pelajaran aja yang dapat B positif. Ai nggak pernah suka seni, apa pun jenis kesenian itu. Tolong jangan paksa Ai, Bu." Aku hendak beranjak dari kursi, tapi Ibu menahan lenganku, lalu memintaku untuk duduk kembali. "Ibu belum selesai bicara. Bukan cuma masalah nilai seni kamu yang mau Ibu bicarakan, tapi soal ekstrakurikuler juga. Kenapa di raport kamu nggak ada nilai ekskul klub renang dan klub melukis? Bukannya waktu itu kamu minta tanda tangan Ayah sama Ibu di form persetujuan dua ekstrakurikuler itu?" Kedua telunjukku saling beradu. Lututku mulai gemetaran. Bingung harus menjawab apa. Namun aku berusaha untuk tenang menghadapi Ibu. "Ai dikeluarkan dari klub renang karena phobia kedalaman kolam. Ai juga dikeluarkan dari klub melukis karena nggak bisa membuat garis lurus, nggak bisa menggambar pemandangan gunung sederhana, bunga, binatang bahkan menjiplak pun masih jelek hasilnya," jelasku terus terang. "Tapi nggak harus ikut ekstrakurikuler Pecinta Alam juga kan, Ai. Masih banyak yang lain kan?" "Aku suka alam dan isinya, Bu." "Kita bisa bikin jadwal untuk travelling kalau kamu maunya kayak gitu." "Sejak kapan Ibu punya waktu untuk melakukan travelling? Kapan Ibu terakhir travelling? Ibu lupa sudah berapa puluh kali membatalkan janji dengan Ayah, Ai juga Arsen untuk sekedar piknik bersama? Cuma piknik loh, Bu. Apalagi mau travelling!?" Demi apa pun aku berucap istighfar dalam hati karena sudah membentak Ibuku sendiri. Kalau Ayah ada di sini, sudah pasti Ayah akan memberiku pelajaran atas ketidaksopanan ini. Namun kali ini kesabaranku sudah melewati batas toleransi yang aku ciptakan. "Kalau memang Ai kesulitan ikut klub melukis, bisa belajar sama Ganesha. Minta dia ajarin kamu melukis. Dari kecil kamu main sama dia, kumpul sama dia, masa sih nggak pernah merhatiin dia kalau lagi melukis. Nggak usah melukis sehebat Ganesha yang Ibu minta, cukup kamu bisa menggambar sederhana aja, Ibu udah senang Ai. Bakat itu bisa diasah kok kalau kita niat." Suara Ibu melemah kali ini. "Bakat itu datangnya dari Tuhan, Bu. Ibu nggak bisa memaksakan kehendak untuk mewariskan bakat menggambar Ibu sama Aira. Lagian kan masih ada Arsen, kenapa dia juga nggak dipaksa seperti Aira?" "Kalau kamu lupa, Arsen itu buta warna Aira!?" Kali ini Ibu yang gantian membentakku bahkan sampai berdiri lalu menatap tajam kepadaku. Aku syok lalu bergegas meninggalkan tempatku berdebat dengan Ibu. Tangisku pecah setelah sampai kamar. Mbak Ima memaksa masuk kamar lalu memberiku pelukan terhangat layaknya seorang ibu kepada anaknya. "Udah ya cah ayu, ndak bole nangis lagi. Mbak panggilin mas Ganesh atau mas Daka ya?" Aku menggeleng. Kali ini aku akan mencoba keluar dari zona nyamanku. Aku akan menyelesaikan masalah ini seorang diri. Aku malas melibatkan orang lain dalam masalah keluargaku. Puas menangis, Mbak Ima menggiringku ke meja makan. Kali ini aku nggak bisa nolak, perutku keroncongan, karena sejak siang tadi aku nggak sempat makan siang. (***) Keesokan paginya, aku memenuhi janji untuk mendatangi kelas Syahila. Di dalam lift yang bergerak menuju lantai tiga aku memainkan kedua ujung telunjukku. Pikir, pikir, pikir. Mau kasih salam apa sama Syahila. "Hay, kak Lala. Aku Aira yang kemarin minta kontaknya kak Titan." "Kak Lala sorry ganggu. Boleh aku minta kontaknya kak Titan." Arrggh... Nggak ada yang tepat sampai pintu lift terbuka. Aku melongokkan kepala. Menoleh ke kanan dan ke kiri. Koridor terlihat sepi. Padahal ini kan jam istirahat. Pertama-tama yang harus aku lakukan menuju papan peta di lantai tiga, memasukkan keyword XI IA A+ di mesin pencari. Jaraknya dua ratus meter dari papan peta ke arah barat daya. Huft. Aku berjalan ke arah sebelah kananku. Kepalaku melongok ke atas untuk memastikan kelas yang aku tuju. Aku tersenyum saat melihat papan kecil menggantung di atas pintu bertuliskan XI IA A+ room. Menarik napas panjang aku melangkah penuh percaya diri. Di depan pintu yang terbuka salah satu daun pintunya, aku lihat Syahila sedang berbincang dengan cowok itu. Kak Titan. Kelas ini sepi hanya ada dua orang itu di dalam kelas. Karena memang setiap jam istirahat seluruh murid diwajibkan keluar ruangan. Terpantau dari cctv. Jika melanggar akan terkena sanksi. Boleh kembali ke dalam kelas lagi sepuluh menit jelang bel masuk. Syahila tersenyum lebar ke arah kedatanganku. "Masuk Almeira," pinta Syahila sopan. Aku masuk kelas yang belum pernah aku masuki sama sekali itu. Ruangannya lebih besar dari kelasku dengan segala perangkat kelas yang lebih canggih dari yang ada di kelas sepuluh. Ruang kelas masih terasa dingin karena pendingin udara pasti baru saja dimatikan beberapa menit yang lalu. "ini yang gue ceritain ke elo. Kenalan dulu dong," ujar Syahila seraya menahan senyum. Aku tidak mengerti arti senyum itu. "Titan." "Almeira." Ya Tuhan... Senyumnya mampu meruntuhkan langit ruang kelas ini. "Kelas apa?" tanya Titan. Akhirnya aku bisa dengar suara itu lagi. Suara berat yang bikin jantungku berdenyut dan lupa caranya bernapas. Tuhan, tolong sadarkan Aira... "Al, ditanya Titan, loh." Syahila menepuk pundakku pelan tapi mampu menyadarkanku. "Kelas sepuluh A, kak," jawabku memalukan. Wajahku panas, pasti sekarang sudah merah. "Gue tinggal dulu ya. Lo berdua silakan ngobrol aja," ujar Syahila lalu meninggalkan kami berdua. "Thanks ya, La," jawab Titan lalu tersenyum ke arahku. Astaga, Titan ini ya. Jangan senyum dong, aku bisa mati berdiri ini kalau kelamaan lihat senyum dia. "Almeira udah makan? Ke kantin yok," ajak Titan ramah. Oh nooo, doi manggil aku apa tadi? ALMEIRA ya, doi nyebut namaku sebagai kata ganti lo atau kamu. Fix, aku harus bawa tabung oksigen ke mana-mana sebagai alat bantu pernapasan untukku, kalau kayak gini terus caranya. Aku mengangguk patuh lalu berjalan beriringan dengan Titan keluar kelas. If you know, aku jadi santapan tatapan lapar dari kakak kelas cewek selama berjalan di sepanjang koridor menuju lift. Aku sih cuek. Malah mengangkat daguku dengan angkuh setinggi-tingginya. Di kantin Titan memilih meja yang dikhususkan untuk dua orang. Aku duduk berhadapan dengan Titan. "Mau pesan apa?" tanya Titan. "Kak Titan mau makan apa?" Titan malah tertawa kecil. "Lihat Almeira udah bikin kenyang, sih, jadi bingung mau makan apa?" Whaaatttt???? Apa katanya tadi? Dakaaa lo di mana? Dia pasti batuk rejang kalau mendengar ucapan Titan ini. Daka emang paling anti kasih sepik receh sama cewek-cewek. Karena kebanyakan cewek-cewek yang ngejar-ngejar dia. Satu rahasia sih yang mesti lo semua tahu tentang cowok seputih porselen itu, Daka itu belum pernah pacaran loh, tapi ya gitu, gayanya playboy abis. Aku menahan tawa mengingat Daka. Jangan sampai kelepasan dan bikin malu di depan Titan. "Emang mukaku kayak pentol bakso ya, Kak. Bikin kak Titan kenyang cuma ngeliatin aku doang." "Serius! Tapi ya udahlah kalo Aira nggak percaya. Sekarang mau pesan apa? Aku pesenin." Aku melihat daftar menu yang terpampang lebar di dinding kantin. "Woyyy, gue cariin di kelas, taunya udah di kantin duluan. Nih bekal gue, abisin aja. Gue lagi pengen siomay." Sialan Daka, sialan. Dia merusak acara makan siangku. Titan menatapku kaget. Fyi aja, penampilan Daka sama Titan ini berbanding terbalik saudara sebangsa dan setanah air. Daka dengan rambut gondrong nanggungnya, dengan poni yang hampir mencapai kedua mata setengah sipitnya, seragam sekolah yang dikeluarkan, sedangkan Titan dengan rambut cepak tersisir rapi pakai belahan samping dan seragam sekolah dimasukkan ke celana bahannya, bahkan Titan tak lupa memakai jas almamaternya. Aku berdecak keras lalu menjewer telinga Daka menjauh dari mejaku dengan Titan tadi. "Lo mau apa, sih?" tanyaku dengan nada lirih supaya nggak kedengaran Titan. "Gue cuma mau kasih bekal gue. Biasanya juga elo yang ngabisin." "Tidak untuk hari ini. Gue mau makan menu kantin." "Trus bekal gue siapa dong yang ngabisin?" "Urusan lo! Sekali-kali tante Kiara kudu tau kalau bekal yang udah dibikinnya susah-susah nggak pernah dihabisin sama anaknya." Aku berlalu dari hadapan Daka. Daka mencekal lenganku. "Apa karena cowok itu lo jadi nggak selera sama masakan nyokap gue? Lo bilang masakan nyokap gue numero uno." "Ck, gue bilang tidak untuk hari ini Daka. Please deh, lo jangan lebay gitu. Udah sana, gue laper mau makan." "Ai, makan nasi loh. Jangan cuma pentol atau siomay doang!" ucap Daka sok care. "Diem lo! Udah sanah-sanah!" "Bekalnya gue bawa ke kelas lagi ya. Kalo lo laper chat gue aja, nggak gue abisin kok." Daka nyengir lalu pergi begitu saja. Hatiku seperti dicubit melihat wajah kecewa itu. Daka kenapa sih? Tumbenan banget jadi sensi gitu. Auk ah gelap. Aku kembali lagi ke tempatku duduk tadi. "Maaf ya kak, ada gangguan dikit. Tadi itu sahabatku." "Nggak apa-apa kok. Aku udah pesenin batagor nih. Cuma itu yang sisa. Yang lain ludes," jawabnya sambil tersenyum. Aku jadi keingat Daka. Dia bilang lagi pengin makan siomay kan? Dan sekarang yang mau dia makan udah habis, trus cowok itu makan apa siang ini. Aku mengirimi Daka chat disela acara makan batagorku. Me: lo jd makan siomay? Daka: nggak kebagian Me: trus lo makan apa? Daka: gampang lah. Lo ati2 sama Titanium itu.gue bakal cari tau dia siapa Me: sok jd detektif lo! Kemarin aja dia ogah-ogahan aku mintain tolong untuk cari tentang Titan, sekarang malah mau sok jadi detektif. Auk ah. Daka tidak lagi membalas chat dariku. Setelah meludeskan sepiring batagor dan segelas milkshake cokelat, Titan mengantarku sampai depan kelas. Kami tadi sudah bertukar kontak ponsel sebelum aku meletakkan ponsel di dalam loker. Saat masuk kelas, di atas mejaku sudah ada kotak bekal milik Daka. Aku tersenyum menatap bekal milik cowok sableng itu. Tiba-tiba dia melewati jendela di samping mejaku. Lalu melongokkan kepalanya ke dalam, persis di sebelah telingaku, karena memang jendelanya tidak aku kunci. Kebetulan pendingin ruangan memang non aktiv kalau jam istirahat seperti ini. "Woy, bagi snack dong." Daka berteriak mengejutkanku seraya menarik ujung kucir rambutku. "Anjriiit, Daka. Kira-kira dong kalo mau ngagetin. Lo ngapain sih di situ?" Daka malah menghilang, lalu muncul lagi melalui pintu masuk kelasku. Semua mata cewek-cewek yang lagi ngumpul di dalam kelas kompakan menatap ke arah Daka. Sambil senyum-senyum ganjen. "Lo diliatin tuh!" ujarku lalu melihat ke arah netbook untuk melihat jadwal pelajaran sebentar lagi. "Lo kenapa kemarin diem aja?" tanya Daka mulai kepo. "Nggak apa-apa," kilahku. "Jangan bohong! Lo tengkar lagi sama nyokap lo?" Desak Daka. "Minggat deh! Nggak semua masalah gue mesti lo tau, Ka." "Biasanya juga gitu. Kenapa sekarang harus berubah?" "Kita udah sama-sama gede sekarang. Udah waktunya punya privasi masing-masing. Mending lo urus urusan lo sendiri deh!" Gertakku. Daka malah tertawa. Dia sama sekali tidak tersinggung dengan gertakanku. "Sejak kapan ada privasi di antara kita?" Daka tersenyum mencemooh. "Daripada lo kepoin urusan gue, mending lo gaul sama komunitas lo gih!" Aku mendorong bahu Daka yang sekarang sedikit berisi. Beda ketika kami masih duduk di masa putih biru dan sekolah dasar. Daka yang lebih pendek dariku, penakut, cengeng, b**o, tapi kulitnya lebih putih dariku. Sekarang tubuhnya menjulang tinggi seperti tiang listrik, lebih berisi, tetap lebih putih dariku dan tetap b**o. Bagian terakhir pengin ngakak. "Laper Ai, bagi snack!" "Kenapa nggak makan bekal lo sih?" "Udah gue cium baunya, bau wortel dan brokoli. Dedek nggak suka," ujarnya sok imut menyebut dirinya dedek. k*****t lah. Aku menoyor kepalanya. Daka malah nyengir kuda. Astaga, aku punya sahabat kok edan gini sih? "Ai, lo tau caranya bajak cctv sekolah nggak?" tanya Daka dengan senyum smirk. Mencurigakan. "Nggak bisa," kilahku "Bohong lo! Gue laporin sama wali kelas lo nih, kelakuan lo tempo hari, yang udah ngebajak cctv sekolah cuma buat cari informasi soal Titanium itu!" Daka mengancamku. Aku berdecak lalu membungkam mulut Daka dengan telapak tanganku. "Diem lo! Ada perlu apa sih bajak cctv sekolah?" tanyaku bisik-bisik. "Secret! Besok ya. Gue dapat giliran piket jaga ruang pantau sekolah. Lo temanin gue." Daka menaik turunkan alis hitamnya. Aku menatapnya jengah. Dengan langkah malas, aku melangkah keluar kelas menuju loker. Karena semua persediaanku ada di dalam loker. Daka mengintip saat aku memasukkan password di papan digital. "Gue doain lo bintitan kalo ngintip password gue!" Ancamku. Lalu Daka berpaling sambil bersiul, kedua tangannya dimasukkan ke kantong celana seragamnya. "Nih!" aku menyodorkan dua bungkus snack dan satu botol air mineral ukuran kecil. "Kakak Aira baek banget sih!" Daka mencubit pipiku dengan gemas, merebut yang dia inginkan dari kedua tanganku lalu lari begitu saja. "Thanks Aira sayang!" ujar Daka setengah berteriak saat aku menutup pintu loker. Daka sialan! Semua pasang mata yang ada di koridor ini memandangku dengan tatapan penuh tanya. Aku menatap beberapa anak yang menatapku tadi dengan mengedikkan wajahku. Sungguh menyebalkan. --- ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN