Feelings 11

1967 Kata
#Almeira  Aku bolak balik memeriksa notifikasi handphone. Tapi sia-sia karena Daka nggak ada menghubungiku selain pesan-pesan di dalam kotak suara yang dikirimnya tadi saat mencariku. Sepertinya dia benar-benar marah padaku kali ini. Biasanya kalau aku habis berulah Daka adalah orang pertama yang mencariku. Ganesha aja tadi langsung meneleponku begitu handphone aktif. Sepertinya dia memang menunggu pesan yang dikirim padaku masuk, lalu segera menelpon begitu handphone aktif kembali.  Tapi nggak apa-apa deh. Meski Daka nggak ada menghubungiku, Kak Titan sudah menelepon setengah jam yang lalu untuk memastikan kondisiku. Gitu aja udah seneng akutuh. Saat sedang membaca pesan dari Kak Titan pintu kamarku diketuk pelan, tapi nggak langsung terbuka setelahnya. Dari caranya ngetuk kayak Mbak Ima, karena kalau Ibu atau Ayah nggak pakai jeda. Setelah ngetuk, ya, langsung buka pintu kamar. Aku segera memasukkan handphone ke dalam laci penyimpanan takutnya ketahuan lagi belajar sambil main handphone. Aturan di rumah ini yang berlalu untuk aku dan Arsen. Kalau ketahuan handphone langsung disita tiga hari.  “Masuk!” jawabku dari dalam kamar. Membiarkan orang yang mengetuk pintu kamar membuka sendiri pintunya karena memang nggak terkunci dari dalam.  Aturan-aturan di rumah ini memang aneh. Dilarang mengunci pintu kamar sebelum berangkat tidur, menutup pintu kamar nggak boleh terlalu kencang dan satu lagi masuk kamar orang lain wajib ketuk pintu. Namun aturan yang terakhir nggak berlaku untuk Arsen. Itu anak padahal udah bolak balik didudukkan sama Ayah soal aturan pintu kamar, tapi tetep aja dilanggar. Begitulah Ayah membuat aturan-aturan unik di rumah yang wajib ditaati oleh penghuni rumah terutama aku dan Arsen. Meski beliau sendiri tidak ada di rumah tapi aturan itu tetap kami jalani. Ya, meski kadang sesekali dilanggar juga. Namanya juga peraturan. Prinsip Aira peraturan itu dibuat untuk dilanggar. Dan sekarang Arsen mulai ikut-ikutan prinsipku. Benar dugaanku. Yang mengetuk pintu Mbak Ima. “Kenapa, Mbak?” tanyaku yang sedang duduk sambil menghadap meja belajar.  “Non Aira ngapain?”  “Lagi ngerjain PR, Mbak,” jawabku, sambil memutar kursi belajarku menghadap pintu kamar. Aturan lain yang diterapkan oleh Ayah. Siapapun lawan bicaramu, sekalipun itu PRT sampai tukan kebun sekalipun kalau bicara harus menatap wajah lawan bicara.  “Masih banyak?”  “Dikit lagi. Kenapa, Mbak?”  “Dipanggil Ayah. Tapi katanya kalau masih belajar disuruh selesaikan aja dulu belajarnya.”  Aku beranjak dari kursi lalu berjalan cepat ke arah Mbak Ima. “Mbak Ima bilang soal tadi sama Ayah?” tanyaku sambil merapatkan pintu kamar yang tadinya dibuka oleh Mbak Ima.  Mbak Ima menarik napas panjang. “Bukan Mbak Ima yang bilang Ayah. Tapi Ayah yang ngecek langsung di CCTV. Non Aira tau sendiri kalau CCTV rumah ini bisa dilihat langsung di laptopnya Ayah.”  Aku kembali ke kursi belajar, mendudukinya secara kasar lalu menjatuhkan kepala di atas meja belajarku. Ayah pasti bakal ngadain sidang dadakan ini. Meski Kak Titan nggak keluar dari mobilnya sewaktu mengantarku tadi, Ayah pasti bisa tahu kalau yang mengantar aku bukan Daka karena mobil Kak Titan beda banget sama mobilnya Daka.  Apa pura-pura masih ngerjakan PR ya? Tapi aku udah terlanjur bilang PR-nya tinggal dikit lagi. Hadeuh, Aira! Bikin masalah mulu, sih, lo!  “Mbak Ima balik ke bawah ya, Non. Nanti kalau belajarnya udahan, Non Aira langsung ke ruang tengah aja. Ayah sama Ibu nunggu di sana.”  “Iya, Mbak,” jawabku lesu.  “Cemungut, Non!”  “Cemungut!” jawabku sama sekali nggak menunjukkan sikap penuh semangat.  Mbak Ima menutup pintu kamar secara perlahan. Setelah Mbak Ima pergi aku melanjutkan kembali mengerjakan PR yang memang tersisa satu soal saja. Aku segera menyelesaikan soal itu kemudian menemui Ayah dan Ibu di ruang tengah. Kata Ayah masalah itu dihadapi, bukan dibelakangi. Berani berbuat ya harus berani bertanggung jawab.  Oke, aku akan menjadi Almeira Chasia Tanjung yang bisa mempertanggung jawabkan perbuatanku yang telah membuat orang lain resah karena aku.  Aku melangkah perlahan menapaki tangga rumah menuju ruang tengah. Tempat biasanya Ayah dan Ibu menghabiskan waktu untuk menonton televisi saat Ayah sedang ada di rumah. Tadi sebenarnya sudah ketemu saat makan malam bersama. Tapi Ayah nggak ada bahas-bahas soal perbuatanku tadi. Ayah membiarkan kami bertempat makan dengan tenang meski dalam hati perasaanku udah nggak karuan takutnya.  “Ayah panggil Ai?” sapaku dari balik sofa yang sedang diduduki oleh Ayah dan Ibu saat ini.  “Oh, iya. Sini duduk dekat Ayah,” pinta Ayah, lalu bergeser ke samping diikuti oleh Ibu, untuk memberi ruang kosong di antara mereka.  Sebelum aku duduk menyempatkan diri untuk menatap ke arah Ibu. Tatapan meminta bantuan. Sepertinya Ibu mengerti maksud dari tatapanku. Kulihat Ibu mengangguk pelan lalu mengulurkan tangannya meminta aku datang ke sampingnya. Aku menurut lalu duduk lebih mendekat ke posisi Ibu.  “Ai tadi ke yayasannya Tante Kiara sama siapa?” tanya Ayah, membuka obrolan.  “Ngikut mobilnya Angel,” jawabku, sambil menyebut nama teman sekelas yang cukup dekat denganku karena kami berasal dari SMP yang sama.  “Tumben nggak bareng Daka?”  “Daka tadi udah nggak ada di kelas waktu Ai samperin ke kelasnya.”  “Kenapa nggak telepon? Abis pulsa? Di sekolah bukannya pakai Wifi, ya?”  Aku nggak berani menjawab karena memang sengaja nggak menghubungi Daka karena pengen pulang bareng Angel.  “Ai berarti nggak ikut Keputrian tadi siang?” Ganti Ibu yang bertanya.  Aku menggeleng. Sepertinya kesalahanku hari ini bukan hanya double tapi triple dan bahkan mungkin berkali-kali lipat dari yang ada dalam pikiranku.  “Kenapa nggak Keputrian?” tanya Ibu lagi.  “Karena nggak mau ikut aja.”  “Seingat Ibu Keputrian itu bagian dari pelajaran Agama, loh. Sudah berapa kali Ai bolos Keputrian?”  “Semester ini baru sekali tadi, kok, Bu. Boleh bolong dua kali. Kalau lebih dari dua kali poin nilai Agama dikurangi.”  Kudengar Ibu hanya menarik napas panjang. Mungkin sedang menahan rasa kesal yang nggak berani ditunjukkan di depan Ayah. Kalau nggak ada Ayah udah jelas aku bakal kena omel sepanjang rel kereta api.  “Ai tadi mau ke mana naik bus dari yayasannya Tante Kiara?” tanya Ayah.  “Mau pulang.”  “Kenapa nggak dari sekolah langsung pulang ke rumah? Kan lebih dekat alur kendaraan umumnya.”  “Tadinya ikut mobil Angel ke Yayasan Tante Kia karena ada perlu sama Ganes.”  “Ada perlu sama Ganes tapi kenapa Ganes ditinggal gitu aja?”  “Karena Ganes nggak mau nurutin permintaan Ai, Yah,” jawabku takut.  Aku mulai menekan-nekan ujung jari telunjuk kiri dengan kuku ibu jari kanan. Salah satu caraku untuk melawan kepanikan. Sepertinya Ibu melihat perbuatanku. Ibu menarik tangan kiriku. Berusaha menghentikan perbuatanku. Namun aku menolak ketika Ibu terus berusaha memisahkan kedua tanganku.  “Nanti tangan Ai luka semua,” bisik Ibu.  Akhirnya aku menghentikan perbuatanku.  “Ai ingat nggak, waktu itu Ayah pernah bilang, nggak semua hal di dunia ini yang diinginkan oleh Ai bisa dipenuhi begitu saja. Ada yang bisa didapatkan dengan mudah, ada yang melalui usaha. Dan kalaupun Ai belum mendapatkan hal yang diinginkan itu, Ai nggak boleh marah terlebih menyalahkan dan membuat resah orang lain. Seolah memaksa orang lain ikut bertanggung jawab atas kekesalan Ai.”  “Iya, Yah. AI inget.”  “Terus kenapa Ai masih melakukan perbuatan seperti itu?”  Aku diam. Lagi-lagi melakukan perbuatan seperti yang tadi dilarang oleh Ibu. Bukannya menjawab Ayah, aku malah semakin kuat menekan kuku ibu jari padi jari telunjukku.  “Ayah nggak sedang marah sama Ai. Sekarang ini Ayah hanya menasehati supaya Ai nggak sampai mengulang perbuatan seperti tadi di kemudian hari.”  “Iya, Yah. Ai ngerti.”  “Terus tadi Ai pulang sama siapa? Katanya naik bus? Tapi Ayah lihat dari CCTV diantar pakai mobil pribadi.”  “Kakak kelas Ai, Yah. Tadi bus yang dinaekin Ai mogok. Terus dia tau-tau dia muncul di depan halte. Karena kenal Ai mau diantar pulang sama dia.”  “Kenal akrab atau kenal biasa aja?”  “Nggak terlalu akrab tapi juga nggak yang biasa aja.”  “Cowok atau cewek?”  “Cowok, Yah.”  “Terus Ai ikut gitu-gitu aja? Nggak nanya kenapa dia tiba-tiba ada di dekat halte? Kenapa dia baik banget mau antar Ai pulang ke rumah sementara kalian selama ini bukan teman akrab.”  Aku menggeleng. Aku memang nggak sempat berpikir untuk bertanya soal itu semua pada Kak Titan. Karena pikirku dia pasti akan mengantarku dengan selamat.  “Lain kali ditanya, ya. Minimal jangan langsung mau ikut. Iya, kalau dia tulus, kalau misalnya ada niat buruk gimana? Ai hati-hati, ya, dalam pilih berteman.”  “Karena dia cowok? Makanya Ayah ngomong gitu?”  “Nggak karena cowok juga. Ini berlaku untuk teman cowok maupun cewek.”  “Tapi Ayah nggak pernah bilang gitu selama Ai berteman sama Daka dan Ganes. Ayah nggak tau aja kayak apa pergaulannya Daka di luaran sana. Dia nggak seanteng yang sering ditunjukkan di depan orang tuanya.”  Ayah merentangkan tangannya ke sandaran sofa, lalu memintaku datang ke pelukannya. “Ayah memang nggak ikut campur urusan Daka di luaran sana. Itu urusan Daka dengan orang tuanya. Tapi untuk saat ini teman cowok yang bisa Ayah percaya nggak akan mencelakai Ai itu cuma Daka sama Ganes.”  Aku mengangguk sambil memeluk pinggang Ayah. Panik dan rasa takut yang tadi sempat mengganggu perasaanku dan berpikir Ayah akan marah besar padaku, seketika hilang. Berganti rasa tenang dan nyaman dalam pelukan Ayah.  “Oiya, tadi waktu di halte pas bus mogok Ai takut nggak?” tanya Ayah sambil mengurai pelukannya.  “Takut banget, Yah.”  “Sampai nangis?”  “Nggak, Yah. Ai bisa nahan untuk nggak nangis di tempat umum.”  “Kenapa nggak telpon Daka? Kata Tante Kiara handphone Ai nggak bisa dihubungi?”  “Mau telepon sebenarnya. Taunya handphonenya mati. Baterainya kan drop.”  “Bukannya itu handphone baru, ya? Udah ngedrop aja.”  Aku memasang tampang cemberut. “Ai udah dua tahun pakai handphone itu, Yah. Dipakai terus-terusan, lama-lama ngedrop,” jawabku.  “Baru juga dua tahun, belum lima tahun,” jawab Ayah dengan entengnya.  “Ayah, ih. Waktunya ganti yang baru tuh, Yah.”  Ayah mencibir usulanku. “Pakai handphone Ibu itu baru beli,” ucap Ayah dengan senyum tertahan.  “Nggak mau.”  “Trus maunya? Punya Ayah aja, gimana?”  “Nggak mau. Maunya yang baru dari outlet.”  “Oke! Tapi harus bisa jadi juara umum.” Ayah menantangku.  “Juara kelas aja, Yah. Juara umum susah.”  “Ya jelas susah jadi juara umum, nilai keseniannya aja C gitu,” celetuk Ibu.  Aku lihat Ayah mengulurkan tangannya ke arah Ibu kemudian mengusap pangkal lengannya. Seperti sedang berusaha memberi pengertian dan meminta Ibu sedikit bersabar dalam menghadapiku.  “Harus juara umum, dong! Ai sendiri yang punya janji seperti itu waktu merengek minta sekolah di BHS. Kalau nggak bisa juara umum beasiswa sekolah Ai dipotong satu tahun,” ucap Ayah optimis.   “Iya, deh, iya. Tapi besok beli handphone baru, ya, Yah! Pleaseee…” mohonku sambil menangkup kedua tangan di depan d**a, tanda memohon dari hati yang terdalam.  “Handphone apa laptop?” tanya Ayahku sambil menaik turunkan kedua alisnya.  Saat aku sedang berpikir tiba-tiba ada suara lain ikut nyambung ke dalam obrolan kami bertiga.  “Laptop aja, Yah. Ai kalau dikasih handphone baru nanti nggak belajar. Hape terooos!!!” Terdengar suara Arsen dari balik sofa. Hampir saja aku melempar kepalanya dengan bantal kursi. Kalau saja nggak sedang bersama orang tua, habis dia.  “Arsen! Berapa kali Ayah bilang, panggil Uni. Aira itu kakak kamu, bukan teman kamu,” ujar Ayah memberi peringatan pada Arsen.  “Mampus lo!” ejekku dengan gerakan bibir saja.  Arsen membalas ejekanku lewat gerakan bibirnya. Aku bisa membaca gerakan bibir itu seperti sedang berkata, “f**k you!” padaku. Emang adik sialan si Arsen tuh.  Kami tidak lagi membahas soal perbuatanku hari ini. Ayah mampu meredam suasana yang tadinya sudah tegang menjadi lebih relaks. Tiba-tiba Ibu meraih tanganku dan melihat ke jari-jariku. Aku menariknya dan mengatakan “nggak apa-apa” sebelum Ibu hendak membahasnya dengan Ayah.  ~~~  ^vee^  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN