Bab 4
“Assalamualaikum, Bu.”
Suara perempuan terdengar. Rupanya, Mbak Rahma yang datang. Dia adalah kakak perempuanku. Kami satu ayah, tetapi lahir dari rahim yang berbeda.
Aku menunduk. Selalu sakit jika melihat dia. Bagaimana tidak, dialah orang yang menggantikanku menikah dengan Mas Iwan, setelah aku kehilangan segalanya.
“Waalaikumsalam.” Kami menjawab serempak.
Aku mencoba bersikap biasa ketika wajahnya menyembul. Benar saja, dia bersama lelaki yang hampir menjadi suamiku dulu. Mas Iwan melirik sekilas ke arahku dan aku memilih menghindari pandangannya.
“Sehat, Mbak?” Aku bangkit dan menyalaminya, memasang tersenyum. Seperti biasa, dia memelukku.
“Mbak sama Mas Iwan baik, Ra. Dedek juga baik.” Dia mengusap perutnya setelah pelukan kami terlepas.
Perih rasanya, seolah dia hendak menunjukkan kebahagiaannya di depanku. Sebisa mungkin aku bersikap biasa dan mengusap perutnya. “Semoga jadi anak soleh, Nak.”
Aku tahu betapa sulit perjuangan Mbak Rahma untuk mendapatkan momongan selama dua setengah tahun ini. Meski jujur, dalam hati selalu ada desir perih. Bukan iri atas kebahagiaan dia. Namun, aku hanya manusia biasa yang memerlukan waktu untuk bisa benar-benar ikhlas melepaskan apa yang seharusnya menjadi milikku.
Mbak Rahma menikahi Mas Iwan karena menyelamatkan muka keluarga. Saat itu, undangan sudah tersebar dan persiapan pernikahan sudah rampung sembilan puluh persen. Dia menjadi pengantin pengganti untuk lelaki yang akan menjadi suamiku, dulu.
Kakakku itu baru hendak duduk pada kursi yang kosong ketika menoleh pada Mas Laksa yang bangkit juga dan tengah bersalaman dengan Mas Iwan. Namun, entah kenapa, aku melihat jika Mbak Rahma tampak kaget luar biasa ketika melihat sosok lelaki itu.
“Sehat, Rahma?”
Suara Mas Laksa membuat wajah Mbak Rahma terkejut. Dia tampak kikuk, seperti gugup dan panik ketika menjabat tangan Mas Laksa yang terulur padanya.
“Mas Laksa?” Bukannya menjawab, tetapi dia malah balik bertanya.
“Iya, Rahma, saya Laksa. Masa kamu lupa sama suami teman sendiri?” Dia terkekeh.
Kulihat Mbak Rahma menelan saliva. Lantas melirik ke arahku yang bingung melihat gelagatnya.
“Sehat, Mas. Gimana kabar kalian?” tanya Mbak Rahma setelah berusaha menenangkan diri.
“Kami baik, Rahma. Hanya saja, Aidan sering nangis akhir-akhir ini. Mungkin kangen sama mamanya. Jadi, tadi siang saya ajak ke rumah neneknya yang di sini. Sekalian ziarah ke makam Keysa.” Mas Laksa menjelaskan.
“Turut sedih, Mas. Saya masih gak nyangka Mbak Keysa berpulang secepat ini.” Mbak Rahma mengusap kepala Aidan yang tengah bergelantung manja pada Mbak Tini. “Semoga Aidan bisa dapat ganti mama sambung secepatnya, ya, Nak.”
“Tanah kuburan Keysa saja masih basah, Rahma. Baru empat puluh hari. Saya belum memikirkan penggantinya.” Mas Laksa menjawab dengan wajah tampak sedih.
“Ah, syukurlah ....”
Ucapan Mbak Rahma terdengar lirih. Namun, kalimat itu justru mengundang tanya dalam benakku. Kenapa harus bersyukur kalau Mas Laksa belum memikirkan untuk mencari pendamping baru? Apakah dia pikir Mas Laksa ada di rumah ini karena mau melamarku?
Mas Iwan duduk lesehan. Mas Laksa pun tampak memilih pindah. Kedua lelaki itu mengobrol.
Mbak Rahma duduk dan menyandarkan tubuhnya pada kursi. Ia melirik Ibu dan berkata, “Kok, bisa Mas Laksa ke sini, Bu?”
“Nganterin Rara.”
Pertanyaan Ibu yang singkat membuat kedua bola mata Mbak Rahma membeliak. Lantas dia menoleh ke arahku. “Kok bisa, Ra?”
“Ya bisa, lah. Kan pakai mobil ke sininya.” Aku enggan menjelaskan. Sengaja kujawab asal.
“Maksud Mbak, kok bisa kamu di anter sama dia? Bukannya kamu lagi jalan sama Rustam?” Dia memicing menatapku.
“Aku sudah selesai sama Mas Rustam.” Aku menjawab seadanya. Pedih kembali terasa kalau teringat kalimat demi kalimat yang dilontarkan ibunya Mas Rustam tadi.
“Selesai lagi? Yang sabar, ya, Ra.” Hanya itu kata yang Mbak Rahma lontarkan.
Aku hanya tersenyum miris.
Ya, aku juga tahu, hanya sabar dan berdoa yang bisa kulakukan. Berdoa pada Allah agar hatiku kuat ketika menghadapi semua kenyataan yang tak sesuai harapan. Berdoa agar hatiku yang remuk tetap memilih hidup, meskipun harus melihat kebahagiaan Mbak Rahma dengan lelaki yang harusnya jadi suamiku. Berdoa agar aku bisa berdiri tegar dan membahagiakan Ibu. Berdoa agar tetap bisa waras, di balik semua cemoohan yang kuterima.
Setelah beberapa lama. Mas Laksa pamit pulang. Dia mengeluarkan beberapa lembar kertas merah dan disodorkan padaku.
“Ra, mohon diterima, ya?”
Aku melongo. Lalu kutautkan alis dan menatapnya. “Untuk apa, Mas?”
Dia menggaruk tengkuk, baru berbicara. “Takutnya kaki kamu belum sembuh. Buat ke dokter lagi.”
“Insyaallah, sudah sembuh, Mas. Gak usah.” Aku mendorong tangannya.
“Tapi aku merasa harus tanggung jawab, Ra. Gimana kalau kaki kamu kenapa-kenapa?” Dia tampak cemas.
“Insyaallah, aku akan baik-baik saja, Mas.”
Akhirnya, dia pun beranjak pulang. Aku melambaikan tangan dan mematung di depan pintu menatap kepergian mereka.
“Ra, kami juga mau pulang.” Mbak Rahma sudah berdiri di belakangku.
“Mbak, aku mau bicara bentar, bisa?” tanyaku menatapnya.
“Bicara apa?” tanyanya.
Aku mengintip ke ruang tengah sekilas. Mas Iwan masih ada dan tengah meneguk kopinya. Lantas kutarik tangan Mbak Rahma dan menjauh ke arah dapur.
“Mau tanya apa sih, Ra? Masa ngomongnya sampai harus di dapur?” protesnya.
“Mbak, tadi aku lihat ekspresi Mbak kaget banget waktu lihat Mas Laksa. Apa ada hal yang selama ini Mbak tahu dan Mbak sembunyikan dariku?” desakku.
Wajah Mbak Rahma tampak terkejut. Tangannya memegang ujung hidung, lalu bola matanya memutar. Gerak-geriknya ini seolah tengah mencari sebuah jawaban.
“Mbak, jawab, Mbak! Apa Mbak tahu sesuatu? Mungkin tentang kejadian dua setengah tahun lalu, yang di villa Mas Laksa itu?” Aku mendesaknya. Entah kenapa, tiba-tiba firasatku mengarah ke sana.