Bab 3

1088 Kata
Bab 3 Pemeriksaan dokter pun usai. Mas Laksa pergi ke apotek untuk menebus obatku. Ada satu obat anti nyeri, salep dan sisanya aku tak paham. Katanya, semua dikonsumai tiga kali sehari. Setelah itu, mobil langsung melaju dan menuju rumahku yang berada tak jauh dari klinik. Rumahku tak besar, hanya ada dua kamar. Namun, seiring tumbuhnya aku dan Mbak Rahma, Bapak merombak bagian teras depan dan membuat kamar untukku. Masih terdiri dari setengah dinding permanen saja, bagian atasnya dibuat dari triplek. “Makasih sudah nganter sampai rumah, Mas.” Aku mengulum senyum yang dipaksakan, hendak membuka pintu mobil dan turun. “Kamu tak menawari kami mampir, Ra?” Tanganku yang tengah mendorong daun pintu mobil terhenti dan menoleh pada lelaki itu. Lelaki yang sebetulnya masih asing bagiku. Kami hanya bertemu dua kali sebelum ini. Pertama pada saat pernikahannya dengan Mbak Keysa. Ke dua saat ulang tahun pernikahan mereka yang pertama, sebelum Mbak Keysa diajaknya pindah ke kota. “Rumah saya jelek, Mas.” Aku menjawab apa adanya. Yang kudengar dari selentingan orang, dulu Mbak Keysa dijodohkan dengan seorang keluarga terpandang. Mamanya Mas Laksa adalah teman lama mamanya Mbak Keysa. Hanya saja, aku tak terlalu paham sekaya apa keluarga mereka. Memang, pernikahan mereka digelar sangat mewah. Pada saat ulang tahun pernikahannya pun, mereka sampai menyewa villa dan mengundang teman-teman dekat, termasuk Mbak Rahma yang mengajak aku turut serta. Tiba-tibam ada rasa pedih yang menelusup lagi. Andai saat itu aku tak ikut pergi ke acara ulang tahun pernikahan mereka, mungkin cerita hidupku tak seperti ini. Aku masih ingat jelas awal kejadian nahas kala itu. *** “Mbak, kenapa kepalaku terasa berat banget, ya?” Aku memijat pelipis. Pisau yang sedang kupakai untuk mengiris bawang pun kusimpan. Aku hendak membuat sambel kecap ketika yang lain sibuk bakar ikan. “Kamu kecapekan kali, Ra. Ya sudah, istirahat saja di kamar.” Mbak Rahma berucap santai. “Kamar kita yang mana, Mbak?” Jujur, semenjak datang ke villa ini, aku belum masuk ke kamar yang akan kami jadi tempat tidurku dengan Mbak Rahma. “Ayo, Mbak antar.” Mbak Rahma dengan sigap memapahku yang sudah setengah sadar karena kantuk dan pening yang begitu hebat. Akhirnya, aku diantar ke sebuah kamar. Tak ingat jelas juga kamarnya di sebelah mana. Setelahnya, aku terbaring di atas kasur. Namun, tiba-tiba dalam setengah sadar, aku merasa ada seseorang yang menindihku. Ketika bangun, aku sudah tak memakai apa-apa. Semua pakaian sudah teronggok di lantai. Saat itulah kesucian yang kujaga untuk Mas Iwan—yang akan jadi suamiku seminggu lagi—terenggut paksa entah oleh siapa. Aku histeris ketika bangun dan membuat seluruh penghuni villa berlari menuju kamarku. Aku sangat terkejut dan tak sadar ada orang yang hendak menghancurkanku dengan cara menyebar video itu di sosial media. Dia mengunggah tubuh polosku yang penuh tanda merah dan menuliskan jika aku adalah korban tindakan asusila. “Ra, kenapa kamu ada di kamar saya?” Hanya pertanyaan Mbak Keysa—istri Mas Laksa—yang kuingat kala itu. Jadi, Mbak Rahma mengantarku ke kamar yang salah rupanya? Jadi, ini adalah kamarnya Mas Laksa dan Mbak Keysa? Lalu, kenapa aku berada di kamar mereka? Aku tak bisa menjawab pertanyaan Mbak Keysa. Sampai saat ini, aku masih tak bisa menemukan jawaban siapa yang sudah menodaiku dan menghancurkan semuanya. *** “Humaira?” Kudengar suara Mas Laksa dan tangannya yang melambai ke depan wajahku. Akhirnya aku memaksakan senyum dan lekas membuka pintu. “Eh? Maaf, Mas. Mari, kalau mau mampir.” Mas Laksa memutar tubuhnya dan turun. Dia membantuku berjalan dan memapahku. Semenjak dia memijit kakikku tadi, sudah tak sesakit semula dan bisa kupakai untuk jalan meski terpincang. “Assalamualaikum.” Aku mengucap salam. “Waalaikumsalam.” Kudengar suara Ibu yang menjawab. Tak berapa lama, daun pintu terbuka. Wajah Ibu muncul dan terkejut melihatku terpincang-pincang, ditambah lagi datang dengan seorang pria. “Loh, bukannya tadi kamu pergi sama Rustam, Ra? Dia ke mana? Kamu juga kenapa? Lalu, ini siapa?” Rentetan pertanyaan terlontar pada mulut Ibu. Aku memaksakan diri untuk tersenyum “Tadi aku keserempet motor di jalan, Bu. Mas Laksa yang menolongku.” Aku menjelaskan sekadarnya. “Lalu Rustam ke mana? Bukannya dia mau mengenalkan kamu ke keluarganya?” Ibu menghampiriku dan menggantikan Mas Laksa untuk memapahku. Aku tak lekas menjawab pertanyaan Ibu, tetapi mempersilakan Mas Laksa. Mbak Tini dan Aidan sudah masuk lebih dulu. “Ra? Apa kejadiannya terulang lagi?” Ibu menatapku dengan khawatir. Tanpa perlu kujelaskan, sepertinya Ibu sudah paham dan bisa membaca apa yang terjadi dari raut wajahku yang sendu. “Sudahlah, Bu. Ibu jangan pernah meminta aku untuk menerima lelaki mana pun. Tak akan ada satu keluarga pun yang mau menerima perempuan korban p*******n yang pernah hampir gila.” Aku mengucap dengan suara begetar. Tanpa bisa kutahan, air mata yang tak ingin kukeluarkan pun tumpah kembali. Ibu menarikku ke dalam dekapannya dan ikut menangis. Hanya beberapa menit aku terlarut dalam kesedihan. Teringat kini kami jadi tontonan, aku mengurai pelukan dengan Ibu lalu menoleh pada Mas Laksa dan Mbak Tini. Keduanya ternyata tengah memandang ke arah kami. “Maaf, Mas. Sebentar, aku ambilkan minum.” Mas Laksa hanya mengangguk dengan pandangan dalam. Aku dapat melihat segaris iba di kedua netranya. “Biar saya bantu, Mbak.” Mbak Tini tampaknya kasihan padaku juga. Dia lekas bangun dan mengekoriku menuju dapur. “Di mana kopinya, Mbak Rara?” Mbak Tini yang sibuk membuatkan minum. Dia justru memintaku duduk saja dan mengawasi. Aku arahkan di mana alat dan bahan untuk membuat kopi. Tak butuh waktu lama, satu cangkir kopi sudah siap dan segera dibawanya menuju ruang tamu. Langkahku melambat ketika mendengar Ibu yang terdengar tengah bercerita. “Sepulang dari villa waktu itu, pernikahan Rara batal, Nak. Orang sekampung mencemoohnya. Ayahnya meninggal karena terkena serangan jantung. Beruntung dia kuat dan tak bunuh diri. Dia depresi berat dan orang-orang mengatai gila. Sakit sekali hati Ibu, Nak.” “Saya turut sedih mendengarnya, Bu.” “Yang Ibu sedihkan lagi, setelah hampir dua setengah tahun berlalu, orang-orang masih saja merendahkan dia. Beberapa pemuda yang mencoba melamarnya selalu berakhir dengan terhalangnya restu. Tak jarang, mereka juga ikut menghina Rara.” Kedatanganku dan Mbak Tini membuat Ibu menghentikkan cerita dan mengulas senyuman kembali. Dia selalu begitu. Ingin terlihat tegar di depanku. Namun, aku pun tahu bahwa hatinya terluka, sama sepertiku. Mbak Tini menyimpan gelas di depan Mas Laksa. Lalu, dia kembali duduk. Aku juga lekas menjatuhkan bokongku pada kursi kayu yang ada di sana. Namun, baru saja aku duduk, suara ketukan pada daun pintu terdengar. “Biar Ibu saja yang buka, Ra.” Ibu bangkit dan melangkah ke arah pintu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN