5. Kebetulan tak TerdugaAjeng hanya bisa bersedekap ketika punggung Naren perlahan menghilang dari pandangan. Ucapan Naren beberapa detik lalu masih terngiang-ngiang di kepalanya: bahwa Naren akan membuktikan kalau dia masih keturunan bangsawan.
Bah! Yang benar saja!
Tingkat halusinasi Naren sudah masuk level berbahaya kayaknya. Hanya tinggal menunggu hari sampai cowok itu jadi gila. Dan Ajeng akan jadi orang pertama yang ketawa ngakak. Ajeng bahkan masih ingat dengan tingkah konyol bin ajaib Naren ketika pesta promnight SMA mereka sepuluh tahun lalu.
Ketika itu—Naren, si idola sekolah sekaligus musuh bebuyutan Ajeng, datang ke pesta prom dengan cosplay Mario Bross, lengkap dengan topi merah, hidung besar dan kumis yang menjadi ciri khasnya.
Dan, tentu saja, Ajeng mengatai Naren habis-habisan. Tapi siapa sangka justru malah Ajeng yang menahan malu? Sebab mereka—para fans alay Naren—malah membela Naren jungkir balik, dan menuduh Ajeng tidak tahu soal seni. Rasanya Ajeng ingin menebas kepala mereka dengan katana saat itu juga.
Di mana letak seninya? Padahal sudah jelas-jelas tema prom kala itu adalah baju formal hitam putih. Dan kostum Mario Bross? Mata mereka lagi sliwer ya? Cinta monyet memang semengerikan itu.
Ingin Ajeng menjerit. Tapi dia kalah jumlah dengan pasukan fans alay. Akhirnya Ajeng cuma bisa mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. Dari pada memancing keributan, Ajeng lebih suka narik tangan Putra—pacarnya kala itu—untuk berdansa dengannya di bawah taburan bintang. Ngomong-ngomong soal Putra, cowok itu sekarang sudah punya dua anak, dan perutnya buncit.
Lagipula, sampai sekarang Ajeng masih bingung kenapa dulu Naren bisa jadi idola? Selain pernah ikut olimpiade fisika—yang ternyata tidak pernah lolos dari tingkat kabupaten—tidak ada lagi yang bisa dibanggakan dari Naren. Wajahnya juga enggak ganteng-ganteng banget kok. Tapi kenapa fansnya banyak?
Jangan-jangan dia pakai pelet.
Ajeng mendengus. Menaikkan selimutnya dan mencoba untuk tidur. Kenapa jadi mikirin Naren sih? Nggak penting banget.
****
Ajeng sudah siap dengan seragam kebangsaannya ketika waktu menujukkan pukul enam lima belas pagi. Turun ke lantai bawah, Ajeng menghampiri mamanya yang sedang menyiapkan sarapan. Di meja makan sudah ada Aksa yang sedang meminum kopinya dengan setelan kerja lengkap.
Kening Ajeng berkerut ketika ia memutuskan untuk duduk di samping Aksa. Sebab tidak biasanya kakak tersayangnya itu sudah siap sepagi ini. “Mau ke mana Mas pagi-pagi udah rapi gini?”
“Mau sekalian nganter kamu ke sekolah,” balas Aksa kalem, mulai menyuap sandwich-nya.
Dan Ajeng nyaris menyemburkan kopi milik Aksa yang ia minum. Ia menatap Sang Kakak tak percaya. “Hah? Seriusan? Dapat wangsit dari mana kamu Mas?” mata Ajeng menyipit curiga. “Mas nggak lagi naksir anak SD kan?”
Kali ini giliran Aksa yang menyemburkan kopinya. Ia segera mengambil tisu untuk mengelap mulut yang belepotan. “Kamu nuduh Mas p*****l? Yang bener aja.”
Seringai Ajeng melebar. “Ya kali aja. Mas kan emang enggak pernah keliatan jalan sama cewek. Siapa yang tau kalo ternyata Mas Aksa diem-diem punya fantasi seks sama anak kecil?”
“Astagfirullah.” Aksa memegang dadanya, geleng-geleng kepala. “Bisa nggak sih mikirnya jangan negatif mulu?”
Dan, tawa Ajeng meledak. Aksa ini... dari dulu memang paling enak jadi sasaran kejahilan. Ekspresinya selalu lempeng kayak papan triplek. Selain itu, Aksa juga jarang sekali marah—kecuali kalau kejahilan Ajeng memang sudah kelewat batas. Ajeng kadang juga heran, apa Aksa pernah jatuh cinta selama hidupnya? Jangan-jangan otaknya cuma berisi pekerjaan saja.
“Ajeng, jangan kau godain terus itu Masmu.”
Ibu Ratu datang sambil membawa semangkuk besar nasi goreng yang masih panas. Melihat itu, Ajeng buru-buru mengambil piring dan mulai menyendok sarapan kesukaannya. Aksa sendiri tidak suka makan nasi saat sarapan. Empat tahun kuliah di Inggris membuat beberapa kebiasaannya berubah. Jadi Ajeng tak perlu khawatir harus berbagi dengan Aksa saat sarapan.
“Ya siapa suruh jadi Kakak lempeng banget kayak setrika. Kasihan tau Ma hidup Mas Aksa enggak pernah ada belok-beloknya. Bisa gila aku kalo jadi dia,” balas Ajeng santai, mulai menyuap nasinya.
“Ya berarti didikan Ibunda berhasil dong sama Aksa.” satu jeweran langsung mendarat di telinga Ajeng.”Enggak kayak kau yang suka ngelawan.”
Ajeng berdecak. Bibirnya mengerucut ke depan. “Seenggaknya Ma, aku masih suka sama lawan jenis.”
“Maksud kamu apa?” Aksa langsung menyambar, menatap Sang Adik dengan sorot horror.
Sedangkan Ajeng cuma menggedikkan bahu santai sambil menelan sarapannya. “Iya. Aku bandel-bandel gini masih suka sama cowok. Enggak lesbi.”
“Terus kamu nuduh Mas Aksa homo?”
Ajeng menggigit bibir bawahnya menahan tawa. Benar kan Ajeng bilang? Aksa itu memang paling enak dikerjai. “Bukan aku loh yang bilang.”
“Ajeng!” teguran Sang Mama membuat Ajeng meringis. Kali ini Ajeng memilih tak menanggapi dan kembali memakan sarapannya.
***
Diam-diam, Ajeng mengamati gerak-gerik Aksa ketika mobil yang mereka tumpangi sudah sampai di depan gerbang SDN 45 Bandung, tempat Ajeng mengajar. Sebab Ajeng masih penasaran, kira-kira apa yang membuat Aksa rela berjalan memutar untuk mengantar Ajeng? Pasti ada sesuatu kan?
Tapi, sejauh ini, belum ada yang mencurigakan. Aksa masih berada dalam mode tenang dan datar. Sorot matanya juga enggak jelalatan ke mana-mana. Mungkin cuma perasaan Ajeng saja kali ya?
Menghela napas, Ajeng mulai membuka pintu mobil. Sebelum keluar, ia menatap Aksa lama. “Thank you Mas udah nganterin. Sering-sering aja kayak gini.” Ajeng mengerling jahil. “Kalau perlu sekalian jemput.”
“Oke. Nanti kamu pulang jam 12 kan? Mas jemput.”
Ajeng langsung melongo. Ini yang ngomong bener Aksa? Rasanya Ajeng masih enggak percaya sama pendengarannya. Tapi akhirnya Ajeng cuma mengangguk dan membuka pintu untuk keluar.
Suasana halaman sekolah yang ramai langsung menyambut Ajeng pertama kali. Banyak anak yang bermain di depan kelas, beberapa juga baru datang ke sekolah. Ajeng tersenyum tipis saat Izam—muridnya di kelas satu—menghampirinya dan mengucap salam. Izam sendiri merupakan salah satu murid kesayangan Ajeng yang paling cerdas.
Sebenarnya jadi guru SD cuma sekadar hobi yang sedang Ajeng jalani. Bayarannya juga enggak seberapa, cuma tiga ratus ribu sebulan. Benar-benar enggak sebanding dengan tenaga yang Ajeng keluarkan untuk mengajar anak-anak itu. Tapi nyatanya, Ajeng tidak keberatan. Sebab lebih banyak tawa yang Ajeng dapat di sela-sela rasa lelahnya. Ya walaupun jengkelnya juga banyak sih.
“Izam baru berangkat?” tanya Ajeng, sambil mengusap kepala Izam pelan.
Izam mengangguk. Pipi gempalnya ikut bergoyang-goyang. “Iya Bu. Tadi di anterin sama ayah.” ia lalu menunjuk seorang pria yang sedari tadi mengamati.
Dan, seolah sadar kode, pria itu mendekat. Mata Ajeng langsung membulat ketika bertatapan dengan iris cokelat madu berbalut kacamata milik Naren. Astaga...
Ternyata cowok itu sudah punya anak? Kelas satu SD?
Bodohnya Ajeng yang mau saja dikibulin...
Ha-ha-ha.
Ajeng tertawa miris. Usia Naren itu sudah dua puluh sembilan tahun, sama dengan umur Ajeng saat ini. Mana mungkin ada cowok mapan macam Naren yang masih single? Eh, mapan? Bukannya dia cuma sales cokelat yang ngaku-ngaku keturunan bangsawan?
Hah. Rasanya Ajeng ingin memaki...
Dan, yang jadi pertanyaan adalah; omong kosong Naren pada ayahnya tadi malam. Dia memang niat main-main ya? Sandiwaranya lebih totalitas dari yang Ajeng kira. Lain kali tolong ingatkan Ajeng untuk membawa katana milik ayahnya untuk menebas kepala Naren.
“Izam ke kelas dulu ya Bu! Tadi katanya ayah mau ngomong sama bu guru.”
Ajeng tersentak kecil saat Izam menyalimi tangannya. Bocah gembul itu langsung berlari ke arah kelas dengan teman-temannya, meninggalkan Ajeng bersama Naren yang sama shocknya.
“Jadi.... lo udah punya anak?” bisik Ajeng, nadanya masih menyiratkan ketidakpercayaan.
Naren tampak gelagapan. “Gue bisa jelas—”
“Lo mau mati ya?” Ajeng mendesis, cengkraman tangannya di tas kian erat. Jika Ajeng tak ingat jika ia ada di tengah lapangan, pasti sudah dari tadi tasnya mendarat di kepala Naren!
Cowok itu benar-benar...
Ajeng menarik napas, menahan dirinya agar tidak meledak. Dipandanginya Naren penuh peringatan. Ia maju satu langkah, menipipiskan jarak, lalu berujar dengan nada mengancam.
“Menyingkir dari hidup gue atau lo bakal mati. Keparat.”
Bola mata Naren membesar. “Gue nggak bakalan mundur sebelum gue buktiin ke elo kalau ucapan gue tadi malem itu benar,” nada suara Naren berbisik, penuh penekanan. “Dan gue juga nggak bakalan berhenti sebelum gue bisa ninggalin elo pas ijab qobul. Supaya kita impas.”
Level kemarahan Ajeng langsung naik lima tingkat. Kenapa pula Ajeng harus dipertemukan dengan cowok macam Naren?
Ajeng menggertakkan gigi, bibirnya mendesis sinis. “Oh ya? Lo bisa? Kalau begitu, buktikan.”
Dan, setelah memastikan bahwa tidak ada orang yang mengamatinya, Ajeng menginjak kaki Naren kuat-kuat. Ringisan kesakitan Naren masih bisa Ajeng dengar ketika ia meninggalkan cowok itu menuju ruang guru.
Karena Naren memilih orang yang salah untuk ia ajak main-main.
***
“Loh. Bu Ajeng kok udah berangkat? Bukannya kemarin abis tunangan ya Bu? Harusnya kan ibu istirahat dulu di rumah. Saya nggak keberatan kok gantiin Bu Ajeng dulu.”
Ajeng cuma tersenyum tipis sebagai jawaban. Nyatanya, Ajeng sudah tahu kalau ucapan Bu Risma cuma basa-basi. Sebab seluruh dunia pun tahu kalau pertunangan Ajeng gagal. Raut wajah mengasihani mereka sudah jelas sekali, astaga.
Apa perlu Ajeng bawa toak dan mengumumkan kegagalannya ke seluruh penjuru bumi? Bisa diketawain spongebob entar.
“Oh iya Bu. Tadi ngomong sama siapa di depan? Calon suami Bu Ajeng ya?” kali ini Bu Bety yang berujar. Tatapannya sama sekali tak mengarah pada Ajeng, melainkan pada cermin kecil di tangannya.
Dan Ajeng masih bisa untuk bersabar. Nyatanya, yang paling menyebalkan itu bukan tingkah anak-anak, melainkan bibir bergincu para gurunya. “Dia bukan calon saya, Bu.”
“Eh. Yang tadi itu kan Pak Narendra. Pemilik Tamawijaya group. Beliau sering banget nyumbang dana buat renovasi sekolah.”
Sebelah alis Ajeng terangkat saat mendengar ucapan Bu Hanna, Sang Kepala Sekolah. Naren? Pemilik Tamawijaya group? Yang benar saja!
“Denger-denger dia baru cerai sama istrinya.” Bu Risma lagi-lagi ikut nimbrung, menambah panas suasana. Ia menatap Ajeng prihatin. “Mending Bu Ajeng deketin Pak Narendra. Duda ganteng gitu kan yang lebih menggoda. Mapan pula.”
“Bener Bu.” Bety ikut menimpali. “Dari pada Raden Sosro itu kan, mending Pak Naren ke mana-mana.” Bety segera menutup mulutnya, keceplosan.
Dan Ajeng sudah menahan diri untuk tidak melempar meja ke arah mereka semua. Oke, Ajeng memang gagal tunangan, tapi enggak usah diungkit-ungkit juga kan?
Sebenarnya mereka itu manusia bukan sih? Kenapa tidak punya rasa empati sedikit pun?
Ajeng mengambil napas dalam-dalam, lagi-lagi menahan emosi untuk sekian kalinya pagi ini. Menaruh tasnya ke bangku, Ajeng mencoba mengulas senyum. Karena meladeni mereka enggak akan pernah ada habisnya. “Saya ngajar dulu, Bu. Udah ditungguin anak-anak di luar kelas.”
Lalu, tanpa berujar apa pun lagi, Ajeng segera beranjak dari tempat terkutuk itu.
***