6. Terserahlah
Naren menutup pintu mobilnya agak kasar. Rasa berdenyut masih terasa di kakinya akibat injakan maut dari Sashi. Cewek bar-bar itu, astaga. Kenapa tenaganya kuat banget macam kudanil?
Ah, Naren jadi punya ide buat nama iblis Sashi di gamenya; hippodevil. Nanti ditambahin gading yang panjang sekalian di depan mulut. Biar tambah sangar. Iya, gadingnya nanti bakal mirip vampir yang runcing dan panjang.
Dan, yang sampai sekarang Naren tidak habis pikir adalah pekerjaan Sashi yang ternyata guru SD. Naren bahkan enggak bisa bayangin cewek bar-bar semacam Sashi mengajar anak-anak SD yang otaknya masih polos. Mungkin anak-anak itu berasa lagi nonton film horror waktu diajar Sashi. Muka cewek itu kan, nyeremin. Apalagi kalau lagi marah.
Naren bergidik ngeri. Bayangan Sashi yang tiba-tiba jadi zombie dan memakan otak anak-anak kecil langsung terbentuk di otak Naren, berikut seringai kejamnya dengan mulut meneteskan darah. Astaga, kenapa Sashi selalu saja jadi antagonis di kepalanya?
Tapi mengingat cerita Izam soal Sashi—yang kebanyakan memuji Sashi layaknya malaikat—Sashi merupakan sosok guru yang mudah dicintai dan ramah pada murid-muridnya. Hm, Naren jadi penasaran ingin melihat cewek itu jika sedang mengajar. Mungkin sesekali Naren juga bisa memancing emosinya agar meledak.
Mulai melajukan mobilnya keluar gerbang sekolah, Naren terpikir lagi soal Sashi yang menganggapnya sudah punya anak. Terserahlah, Naren malas jika harus menjelaskan bahwa Naren bukan cowok yang seperti Sashi pikir. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana cara membujuk Sashi agar mau mengikutinya ke Solo siang ini, untuk membuktikan siapa Naren sebenarnya, sekaligus membuat Sashi bungkam.
Toh momennya juga pas sekali. Nanti malam itu tanggal satu Syuro, di mana biasanya keraton mengadakan acara kirab pusaka—dan acara itu biasanya di hadiri oleh seluruh kerabat dekatnya. Naren bisa memanfaatkan momen itu untuk mengenalkan Sashi pada eyangnya yang merupakan Pakubuwono ke XIII.
Ya, Naren cukup beruntung karena selama ini menunjukkan perilaku yang baik sebagai cucu Raja dan dirinya masih dianggap sebagai bagian dari keraton—meskipun tak jarang juga Naren sering mangkir dari upacara adat.
Tapi mengingat kemarahan Sashi tadi pagi... kayaknya bakal susah buat Naren membujuk Sashi. Karena itu, Naren cuma punya satu pilihan saat ini; menemui Ibu Ratu untuk memuluskan aksinya. Naren yakin sekali jika Ibu Ratu akan dengan senang hati membantunya, apalagi dengan iming-iming mengunjungi keraton Surakarta.
Seringai Naren tercetak jelas. Jalan untuk balas dedam pada Sashi terasa mulus seperti jalan tol, bebas hambatan. Maka, tanpa mengulur waktu lagi, Naren melajukan mobilnya ke rumah Ibu Ratu. Tapi sebelum itu, Naren harus mengurus sesuatu di pabrik, sekalian mengambil oleh-oleh untuk calon mertua.
Jika boleh jujur, Naren juga sebenarnya malas mengajak Sashi ke sana, sebab Naren juga tidak terlalu akrab dengan saudara-saudaranya yang tinggal di keraton. Tapi demi membungkam mulut Sashi yang pedas itu, Naren akan melakukannya.
Sebab melihat wajah kalah Sashi terasa sebanding jika harus ditukar dengan omongan busuk saudara-saudaranya.
****
“Ayah dengar, kamu bakal menikah dalam waktu dekat. Apa itu benar, Narendra?”
Gerakan jemari Naren yang menekan keyboard langsung terhenti ketika suara berat Sang Ayah terdengar. Rasanya Naren ingin tertawa ketika tahu bahwa ayahnya sampai repot-repot pulang dari Belgia ketika mendengar Naren akan menikah.
Memangnya dia masih peduli ya?
Bukankah setelah Naren bersedia—ralat, terpaksa mengurus cabang Tawawijaya Group di Indonesia, pria yang mengaku ayahnya itu sudah tidak perlu mengurus hidupnya lagi?
“Ternyata prediksi ayah benar. Kamu cuma bisa bertahan di umur dua puluh sembilan untuk tidak menikah. Jadi siapa gadis beruntung itu, Rendra? Ayah sudah tidak sabar untuk bertemu.”
Kepalan jemari Naren menguat. Ia bahkan menahan diri sekuat tenaga untuk tidak melayangkan pukulan pada pria di depannya ini. Setelah merenggut kebahagiaan ibunya dan menghancurkan mimpi Naren, apa pantas dia masih menginjakkan kakinya di sini?
Tapi akhirnya Naren bisa mengendalikan diri dan mengukir sunggingan manis, “Besok malam, Ayah. Besok malam acara lamarannya.”
Padahal Naren sama sekali tidak mengharap kehadiran ayahnya. Padahal Naren ingin mengutuk ayahnya jadi stik PS, biar bisa Naren mainin sepuasnya. Mau dibilang durhaka juga terserah.
****
“Iya. Bawa aja itu si Ajeng sama kau. Kalo perlu nikahin saja di sana sekalian. Capek hati Ibunda sama kelakuan dia.”
Naren menyembunyikan tawa kemenangannya. “Tapi Bunda, Naren enggak yakin kalau Sashi bakal mau ikut Naren. Soalnya tadi pagi dia salah paham dan marah sama Naren.”
Ibunda Ratu memakan cokelat pemberian Naren, dengan punggung tegak dan gaya bak seorang bangsawan. Naren jadi membayangkan kalau Ibunda Ratu ada dalam sebuah game. Dia pasti bisa jadi antagonis yang bisa menaklukkan iblis Sashi dengan lidahnya. “Pasti mau dia kalau Ibunda yang nyuruh.”
Naren mengulas senyum manis, “Iya, Bunda. Rencananya jam dua nanti mau langsung berangkat ke Solo. Naren udah pesenin tiketnya.”
Ibu Ratu melirik jam berwarna emas ditangannya. “Sekarang udah jam dua belas. Bentar lagi pulang dia.”
Naren mengangguk singkat. “Iya, Bunda.”
“Bah! Senang kali aku dengar kau panggil Bunda. Aura bangsawannya dapat kali. Heran aku kenapa si Ajeng enggak mau panggil Ibunda.” Ibu Ratu menatap Naren dengan bibir berpoles gincu merah yang mengerucut. “Padahal panggilan Ibunda kan lagi hitz. Anak jaksel aja pada manggil Ibunda.”
Naren cuma menggigit bibir bawahnya menahan tawa. Astaga, ibunya Sashi ternyata bisa lucu juga ya. Tapi kemudian Naren teringat sesuatu, tentang Izam. Jika sampai Sashi ngadu lebih dulu ke Ibu Ratu, bisa berantakan rencana Naren buat balas dendam sama Sashi.
Maka, dengan senyum berlekuk pipi termanis yang Naren punya, Naren akhirnya berujar, “Bunda, Naren mau cerita sesuatu.”
“Cerita sajalah. Kau sudah Ibunda anggap macam anak Ibunda sendiri.”
Maka, masih dengan senyum lebarnya, Naren bercerita soal Izam, dengan disertai bumbu-bumbu yang menambah sedap isi cerita, tak lupa diselipi dengan kebohongan-kebohongan manis.
****
“Ngapain si Bejo ke sini Ma? Mau minta sumbangan?”
Tangan Naren yang hendak menyuap nasi langsung terhenti di udara. Menoleh, ada Sashi yang sedang berkacak pinggang, masih dengan seragam guru yang melekat di tubuhnya. Di belakang Sashi, tampak Aksa yang sedang menggulung lengan kemejanya sampai siku.
“Ibunda sekolahin kau tinggi-tinggi bukan buat ganti nama orang sembarangan ya Ajeng.”
Mulut Sashi langsung terkatub rapat, dan Naren menahan tawa kemenangannya sekuat tenaga. Tapi jawaban Sashi selanjutnya membuat muka Naren tertekuk masam.
“Panggilan Naren sejak SMA kan emang Bejo Ma. Dia sendiri yang bilang ke aku. Tanya sama Renisha kalau enggak percaya.”
Ibu Ratu mengangguk, ekspresi wajahnya tampak berpikir. “Jadi panggilan kesayangan kau sama Naren itu Bejo ya? Manis kali kalian ini.”
Tawa Naren meledak, ia sampai memegangi perutnya kegelian. Dilihatnya Sashi yang kini giliran memasang wajah tertekuk. Naren buru-buru menambahi ucapan Sashi. “Iya Bunda. Kalo panggilan sayang Naren ke Sashi itu Painem. Dari SMA sampai sekarang enggak pernah berubah. So sweet banget kan Bunda?”
Kali ini, Naren bisa melihat tanduk merah mulai keluar dari kepala Sashi, pertanda kemarahannya mulai naik. Sorot matanya menghujam tajam. Tapi, Naren sama sekali tak terpengaruh. Ya siapa suruh tadi ngeledek Naren? Jadi kena getah sendiri kan dia. Sumpah, rasanya Naren pengin mengabadikan momen kekalahan Sashi sekarang. Lucu banget, astaga.
“Kalian ini. Ngingetin Bunda pas lagi jaman pacaran saja. Bikin iri. Kasihan itu Aksa masih jomblo sampai sekarang, tak punya panggilan kesayangan dia.”
“Lah. Kok bawa-bawa Aksa sih?” Aksa yang sedari tadi sibuk mengunyah makan siangnya kini menatap Sang Ibu dengan sebelah alis terangkat.
“Ya siapa suruh jadi jomblo. Cari calon istri kau sana. Biar tak jadi bujang lapuk.”
Naren menahan senyum geli. Ternyata bukan cuma Sashi saja yang punya tingkah ajaib, melainkan seluruh anggota keluargannya juga. Punya keturunan badut lawak kali mereka. Apalagi Aksa. Dilihat dari mukanya saja Naren tahu kalau Aksa yang paling sering jadi bahan kejahilan di rumah ini.
“Sekarang kau ganti itu baju, terus ikut makan siang bareng.”
“Males,” balas Sashi, sambil melayangkan sorot menusuk ke arah Naren. Tapi Naren tak ambil pusing dan menyendok makanannya dengan hikmat.
“Bah! Tinggal makan saja malas kau ini. Lihat orang diluar sana, ada yang mau makan saja nggak mampu. Kau tuh harusnya bersyukur—”
“Iya, Ibunda Ratu Yang Terhormat,” Sashi buru-buru memotong ucapan mamanya dan memasang gestur setengah membungkuk. Sudut bibirnya menyeringai kecil.
Dan, bukannya menuruti perintah Ibu Ratu untuk berganti baju, Sashi justru langsung duduk di kursi sebelah Aksa, berseberangan dengan Naren, membuat sebelah alis Naren terangkat.
“Habis makan kau siap-siap lah. Jam dua nanti kau ikut Naren ke Solo, mau dikenalkan saudara-saudaranya di keraton.”
Ajeng langsung tersedak. Wajahnya berubah merah. Apa tadi? Ke Solo? Mau dikenalin sama saudara Naren yang katanya bangsawan itu? Yang benar saja! Ajeng lebih baik disuruh mendaki gunung jaya wijaya daripada ikut Naren ke Solo! Cowok itu kalau bercanda memang suka totalitas ya?
Selepas melegakan tenggorokannya dengan segelas air, Ajeng kemudian berujar, dengan nada tajam. “Ma, dengerin aku dulu. Naren itu udah punya anak, Ma. Dia duda. Bukannya Mama sendiri yang ngelarang aku nikah sama duda? Jadi mending udahan aja ya sama Naren? Ajeng masih punya banyak stock cowok bangsawan.”
Ibu Ratu mengibaskan tangannya, angkuh. “Naren tadi sudah cerita sama Ibunda. Dia masih joko tulen. Izam itu keponakannya.”
“Dari mana Mama tahu kalau Naren jujur? Itu cuma akal-akalan si Bejo aja Ma. Lagian siapa yang bakal jamin kalo aku enggak akan dijual pas sampe Solo?” Ajeng berujar dengan nada nyaris frustrasi. Ajeng bisa menebak kalau Bejo jadi-jadian itu sudah mencuci otak mamanya pake pemutih. Nyatanya, sikap manipulatif Naren dari dulu tidak pernah berubah. Hal yang paling Ajeng benci sampai sekarang.
“Bunda Ratu boleh ikut kalau itu yang kamu takutin, Sashi.”
Bola mata Ajeng membulat. Dilihatnya Naren yang tengah menasang wajah tenang di tempqt duduknya. Sementara itu, seperti dugaannya, Sang Mama langsung berteriak girang dan bertepuk tangan heboh.
Kalau sudah begini, bagaimana mungkin Ajeng bisa menghindar?
Dan sekarang, Ajeng cuma bisa berharap kalau ternyata Naren cuma bercanda soal keraton, biar masalah ini cepat kelar dan hidup Ajeng kembali damai seperti dulu.
*****