Chapter 4

3129 Kata
Mikael POV Aku berjalan keluar kelas sambil menghela napas. Semua ini karena pria itu memaksa mengantar jemputku ke kampus. Dia tidak mengizinkanku pergi, selain dengannya. Apa yang ada di pikirannya pun tak kuketahui. Kami pacaran cuma main-main, tapi kenapa dia sampai mengekangku? Memaksa tinggal bersama. Apakah ia benar-benar mencintaiku? Apakah dia juga gay sama seperti ku? Saat aku memikirkannya, aku sadar bahwa aku tak tahu apa pun tentangnya. "Mikael! Sini ... di sini!" Saat aku mendengar suara Alex, aku teringat bahwa Alex mengenalnya. Buru-buru aku menghampiri cewek itu. Dia tengah duduk di bawah pohon taman fakultas kedokteran ini. Ditemani teman-temannya. Seorang cewek dan tiga orang cowok, juga ada suaminya. Terkadang kami kumpul bersama, walaupun tidak sering karena mereka beda jurusan denganku. "Hei," sapaku pada mereka. Dibalas dengan senyum. Mereka tengah mengerjakan tugas masing-masing sambil ngemil dan Alex berlaku sebagai tutor mereka. Melihat semua masih diam, sibuk dengan tugas masing-masing ... aku pun bertanya pada Alex yang paling ngangur. "Lex, gua boleh tanya nggak?" ucap gua basa-basi. "Apaan? Tanya saja." "Ng ... Vian itu siapa lu?" Aku agak ragu-ragu bertanya, Alex tampak bingung dengan pertanyaanku atau mungkin bingung melihat gelagatku. "Vian? Siapa?" Atau dia tak tanggap siapa yang kumaksud? "Cowok yang kemarin ketemuan sama lu di kantin," jelasku. Cewek itu lalu tersenyum licik. "Hee ... Vian? Seumur hidup gua nggak pernah lihat ada yang berani manggil Mr. Sok Perfect pakai nama depannya, apalagi disingkat. Kalian benaran jadian? Gua tahu dia gay, tapi elu?" Kelihatan banget keponya, sambil terkekeh pula. Asli ini cewek terlihat berbeda, agak mirip pria itu. Lho? Tunggu ... jadi pria itu juga benaran gay sejak awal? "Lu pacaran dengan Tuan Tiran!? Gila lu, Mika-chan! Gak sayang nyawa lu?" pekik histeris teman Alex yang dari tadi diam, kalau nggak salah namanya Satria. "Lu kenapa kaget begitu? Bukan kaget gua pacaran sama cowok, malah kaget karena pacar gua Vian! Emang dia siapa? Lu juga kenal sama dia, Sat?" Aku heran dengan reaksi mereka berdua. Teman-teman yang lain malah berhenti ngerjain tugas dan hanya diam menonton percakapan kami. Mereka ikutan kepo kayak Alex. "Gak lah, satu kampus juga sudah tahu kali, lu gay dari awal. Teman SMA lu yang nyebarin gosip. Heran, kok lu nggak nyadar sih," jelas Satria. Eh, sial! Pantas saja aku sering dipandangi dengan aneh. Selama ini kupikir nggak ada yang tahu, tahunya sudah jadi rahasia umum. "Kok kalian nggak jauhi gua?" tanyaku penasaran. Kalau mereka sudah tahu aku gay, kenapa masih mau nongkrong bersamaku. Jadi kepo, kan. "Karena Agustian dan Yuda pacaran. Jadi kami nggak masalah tuh ... udah biasa." Pas Alex jawab dengan santainya. Aku shock lagi! Soalnya selama ini mereka nggak kelihatan kayak gitu. "Oh ...." Aku cuma bisa beroh ria. Sedikit ngelirik ke arah mereka. Terlihat akrab, tapi nggak kayak pacaran. Eh, tapi itu bukan urusanku. Balik ke urusan awal, kembali aku bertanya. "Jadi Vian siapanya lu, Lex? Kenapa pula lu kayaknya takut begitu ke dia, Sat?" "Dia abang tiran gua," jawab Alex "Benar! Dia tiran! Waktu kami masih kecil, pernah sekali Alex bikin Tuan Tiran marah, dia tanpa ragu mematahkan tangan Alex. Bukannya merasa bersalah, dia malah terkekeh dan mengatakan kalau itu caranya mendidik adiknya." Sedangkan Satria bercerita. Kalau aku kaget lagi. Mereka kakak beradik? Eh, dia patahkan tangan Alex cuma untuk mendidiknya? Mulutku menganga heran. "Benaran?" Lalu aku kembali bertanya, masih ragu-ragu soalnya. "Iya, abang kandung gua," jawab Alex. "Tiga tahun lalu, Alex putus hubungan dengan keluarganya. Nah, kemarin dia temuin Alex buat memaksanya kembali ke keluarga mereka dan Alex sudah setuju." Disambung oleh Fabian. Oh ... itu sebabnya mereka memakai nama belakang yang sama. Fiuh~ Tanpa sadar aku mengembuskan napas lega, sadar bahwa kecemburuanku nggak beralasan. Setelah itu tanpa aku bertanya, Satria dan Alex dengan hebohnya menceritakan padaku detail tentang Vian. Kesanku padanya sekarang adalah ... MENAKUTKAN! PSIKOPAT! Akan tetapi, meski sudah tahu ... akhirnya pun aku hanya bisa menangis dalam hati. Kebingungan sendiri, bagaimana kehidupanku ke depannya. Mulai mempertanyakan kembali seleraku terhadap laki-laki. Memangnya aku maso ya? Kok bisa suka sama orang kayak gitu. *** Sulvian POV Saat ini aku tengah berdiri di depan fakultas kedokteran. Tanganku kukepal erat penuh emosi. Mikael, beraninya kau .... Aku melihat bocah berambut merah itu, tengah duduk bersama teman-temannya. Di sampingnya ada seorang pria berpelawakan tinggi dengan wajah yang tampan tengah merangkul pundaknya, mereka bercanda tawa bersama. Dengan langkah cepat aku langsung mendekati kumpulan mahasiswa yang tengah bersenda-gurau itu. Menarik paksa kekasihku hingga ia jatuh ke pelukanku. Tentu hal itu membuat teman-temannya terkejut dan terganggu. Mereka ingin protes, tapi saat kuberi tatapan membunuhku, mereka terdiam. "Kubawa bocah ini!" kataku penuh penekanan. Aku tidak butuh izin mereka, maupun menjelaskan apa pun pada mereka. Mereka juga tampak mengerti keadaan. Serempak segerombolan mahasiswa yang di d******i oleh laki-laki itu, mengangguk paham. Tanpa peringatan, langsung kuseret Mikael menjauh dari mereka. Membawanya ke tempat mobilku terparkir. Begitu sampai di mobil, bocah itu langsung menyuarakan protesnya. "Apa maksud lu berbuat kayak gitu!?" Dia terlihat kesal, tidak menyukai sikapku tadi, tapi aku jauh lebih kesal padanya. "Jangan pernah membiarkan siapa pun mendekat padamu seintim itu! Atau aku kurung kau di kamar selamanya, Mika-chan." Itu jelas perintah dan aku tidak ingin menerima bantahan. "Tapi, kenapa? Please deh! Gua nggak hidup sendiri, gua punya kehidupan. Gua punya teman!" Namun ia kembali membantah, membuatku geram. Ingin sekali kupatahkan tulang-tulangnya, menyiksanya hingga ia menjerit ketakutan di hadapanku. Seumur hidup tidak ada yang berani membantah dan membentakku sebanyak bocah ini! Hanya saja, entah kenapa saat ingin menyakitinya ... instingku berkata jangan. Otakku membuat niat buruk itu lenyap, seolah bocah ini berharga bagiku dan pada akhirnya aku kehilangan niat awalku untuk menyiksanya. Dengan kekesalan dan kemarahan bertumpuk, kubungkam mulutnya dengan mulutku. Ia kembali memberontak, tapi itu tidak membuatku terganggu. Dengan mudah kutahan tangannya, menghimpitnya dalam mobil yang sempit. Kugigit bibir bawahnya hingga ia meringis kesakitan. Tanpa memedulikan reaksinya, aku lumat bibirnya penuh tuntut, memaksa masuk ke dalam. Memainkan lidahku di antara rongga mulutnya. Tidak butuh waktu lama untuk membuatnya tunduk, ia menyerah pada sentuhanku dan membalas ciumanku. Aku melumat, menjilat, mengisap dan menggigiti bibirnya, menuntunnya menarik napas di antara sela ciuman kami. Hingga kurasa cukup menjinakkannya, kulepas tangannya. Kembali ke posisi duduk awal. "Dengar! Saat ini kau adalah milikku. Hidupmu adalah bersamaku dan tidak ada teman yang terlalu dekat! Mengerti?" ucapku padanya. Ia menatap penuh gairah dan rasa takut yang bercampur disertai napas yang tersengal akibat ciuman panas tadi. Dengan terbata-bata, ia menjawab permintaanku. "I-iya." Atau lebih tepatnya, perintahku. "Bagus." Dia tidak menjawab lagi, kami hanya diam selama mobil melaju. *** "Eng ... Vian kenapa kita ke sini?" tanya Mikael, ketika kami baru sampai di lobi kantorku. Perusahaan pusat milik keluargaku, yang kini menjadi tanggung jawabku sejak beberapa bulan lalu. "Ada yang harus aku kerjakan." Aku hanya menjawabnya singkat dan dia mulai mengeluh lagi. "Kenapa lu bawa gua? Lu kan bisa antarkan gua pulang dulu." Dasar bocah tidak bisa diam. "Karena aku ingin dan jangan membantah. Mulai hari ini kau akan sering mengikutiku ke mana pun aku mau, mengerti!" Kutatap ia dengan tatapan mengancam dan itu membuatnya menurut, menganggukkan kepala mengerti. Dasar bocah! Harus diancam dulu baru mau mengerti. Aku bahkan mulai bicara lebih santai di hadapannya, memberinya begitu banyak toleransi. Sebenarnya kenapa denganku? Apa yang membuat emosiku tidak terkontrol begini bila berurusan dengannya? s**t! Jangan seenaknya memasuki hidupku, Mikael Roug! "Gua bosan, lu ngapain di sini cuma tanda tangan sama cap sana cap sini." Bocah itu kembali mengeluh hanya 30 menit sejak kami memasuki ruang kerjaku. Membuatku kesal. "Kerja." Berakhir menjawabnya dengan singkat dan sinis. Walau menurutku, aku sudah terlalu banyak bicara di hadapannya. "Kerja apaan kayak gitu. Pergi jalan atau pulang saja yuk!!" Tak lama, ia mulai berani merengek lagi, membuatku menghela napas. "Bocah seperti mu tahu apa? Diam di situ dan jangan banyak berkomentar!" Lalu aku membentaknya. Mau bagaimana lagi, aku memang orang yang begitu mudah marah karena hal kecil. "Lu ngebosenin! Gua balik sendiri kalau gitu!" Dan dia malah membalas membentakku, cukup untuk membuat kesabaranku habis. Tanganku meraih lengannya saat ia berjalan keluar dari ruanganku. Mengabaikan protesnya, kutarik lengannya dengan kasar. Melemparkannya hingga terlentang di lantai ruang kerjaku. Kemudian aku duduk di atas perutnya, menahan tubuh bocah itu hingga ia tidak dapat bangun. "Ma-mau apa lu?" Ia terbata-bata saat mengeluarkan pertanyaannya, tampak takut dengan perubahan sikapku yang mendadak. Aku tidak peduli, yang kulakukan hanya seenaknya mengatakan apa yang kuinginkan. "Aku muak harus terus mengulang perkataan yang sama karena kapasitas otakmu yang minim itu. Jadi ingat baik-baik Mikael," kataku pelan dan tenang. Namun dingin penuh ancaman, sambil menatap lekat bola mata yang memiliki warna begitu mencolok di hadapanku ini. "Ikuti semua perintahku tanpa bantahan dan keluhan. Maka akan kuberikan hadiah padamu atau tetaplah jadi bocah pemberontak yang terus memancing emosiku dan bersiaplah hidupmu akan kuhancurkan begitu pula dengan kehidupan keluargamu. Pikirkan sendiri, apakah aku serius atau tidak." Dan kemudian kukecup kilat bibirnya, bangkit berdiri untuk melanjutkan pekerjaanku. Bisa kulihat ia bangkit dengan susah payah. Kembali duduk ke sofa yang ia duduki tadi. Terdiam dengan wajah ketakutan dan tubuh bergetar, mencoba menahan tangis. Bagus! Harusnya sejak awal kau menurutiku bocah! Aku tidak pernah bermain-main dengan perkataanku. Jika ia berani mencoba meninggalkanku, aku tidak akan segan membunuhnya. Jika tidak dapat memilikinya, maka orang lain pun tidak. Kejam memang, tapi hidupku tidaklah bersih. Aku hidup dengan menjatuhkan begitu banyak orang. Berdiri di atas dengan menginjak-injak orang yang lebih lemah dari ku. Melihat sendiri seorang gadis yang selalu terlihat lemah dan rapuh, berubah menjadi iblis gila yang membantai ratusan keluargaku ... serta ayah dan pamanku yang membunuh gadis psikopat itu, membuatku tidak lagi bisa hidup di dunia yang normal. Hidup dan cara pandangku berubah seketika di umurku yang  baru menginjak 12 tahun. Sejak itulah sisi manusiawiku seolah ikut mati bersama kematiannya, Abigail. *** Sejak ancamanku beberapa minggu lalu, bocah berambut merah itu mulai menurut padaku. Ia tidak lagi berani membentakku. Walaupun kadang-kadang, ia masih merengek. Yah, jika hanya beberapa rengekan darinya tentu aku tidak keberatan. Lagi pula akhir-akhir ini kami semakin dekat, aku bahkan sengaja menghabiskan tiap akhir pekanku bersamanya. sepertinya bocah itu mampu mengubah sebagian besar kebiasaanku. Sebelum bertemu dengannya, aku bekerja sepanjang tahun. Bahkan di hari libur nasional, tapi sekarang? Selain setiap hari aku antar jemput, membawanya ke kantor, dan memberinya seluruh akhir pekanku. Demi Setan!! Dia laki-laki. Dia bisa jaga diri, dia bisa bawa mobil sendiri atau bisa kupekerjakan supir untuknya, tapi nyatanya aku malah terlalu cemas membiarkannya menyetir sendiri. Terlalu tidak percaya jika mempekerjakan supir. s**t!! Aku bahkan kembali menemui psikologku!! Dan pak tua itu, Dr. Henri mengatakan kalau aku mencintai bocah ini? Omong kosong! Tidak ada cinta dalam diriku dan aku jelas bukan gay. Dia hanya mainan. Kekesalan dan kemarahanku semakin bertumpuk. Dean dan Marvis telah pulang kembali ke wilayah masing-masing. Mereka kebagian perusahaan induk di benua Amerika dan Eropa. Sedangkan aku, karena sudah memimpin perusahaan pusat, mau tidak mau harus menetap di negara ini. Menyebalkan sekali, aku kehilangan tempat berbagi ku. Tok ... tok .... Suara ketukan pintu terdengar, menyadarkanku dari lamunan. "Masuk," ucapku, dengan nada perintah. Begitu pintu ruang kerjaku terbuka, memunculkan sosok yang menjadi alasan kemarahanku. Siapa lagi jika bukan Mikael? Ia tampak takut-takut memandangku, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi enggan. Ck! Dasar bocah! "Ada apa? Cepat katakan! Aku sibuk!" bentakku. Membuat bocah itu sedikit terkejut, tapi ia berhasil mengumpulkan suaranya. "Ng ... begini Vian, Alex kan baru saja lahiran. Jadi gua mau pergi jenguk dia. Boleh?" Ia bertanya dengan ragu-ragu. Tunggu!? Tadi dia bilang apa? Pewarisku lahir dan perempuan kurang ajar itu tidak mengabariku? Kabar ini membuatku makin emosi. "Baik, sekarang kita pergi menjenguknya," ucapku, setengah berteriak sambil meletakkan asal berkas-berkas yang tadinya kupegang. Bocah itu kembali bersuara, "Vian, lu nggak perlu antar gua. Gue pergi sama teman sekampus kok." Dan sekali lagi aku semakin marah. Apakah dia lupa soal peringatanku untuk menjaga jarak dengan orang yang dia sebut teman? "Kau pergi denganku! Perempuan itu adikku jika kau lupa, Mikael" kataku, sambil menatapnya tajam dengan nada memerintah tentunya. Bocah itu lalu memucat melihat ketidaksukaanku, buru-buru ia menjelaskan. "Tadinya gua mau pergi sama Satria dan Siska. Sahabat Alex yang gua yakin lu pasti kenal, tapi pergi dengan lu juga oke kok. Gua telepon mereka dulu, ngabarin kalau gua nggak jadi ikut mereka." Setelah itu seolah takut kusakiti, ia berlari keluar dari ruang kerjaku sambil menelepon. Karena kesal, kuhantam meja kerjaku dengan kepalan tangan kiriku. Memalukan! Apakah tadi aku baru saja cemburu pada bocah mirip monyet yang sudah kukenal dari kecil? Mikael Roug!! Kau membuatku frustrasi!! *** Sesampainya kami di ruang inap adik kecilku, sekali lagi aku mendapat kejutan. Sepasang bayi kembar? Ck! Adik kecilku itu benar-benar tidak menghargaiku, dia tidak memberitahukan padaku. Jika sejak awal aku tahu akan ada dua bayi, tentu aku akan meminta salah satu di dalam perjanjian awal kami. Aku menatap penuh amarah pada adik kecilku di hadapanku, tetapi seolah tidak takut padaku, ia kembali membalas tatapanku tidak kalah dinginnya. Kami berdua hanya saling bertukar pandang dan mengabaikan sekeliling yang dipenuhi para mahasiswa yang tengah memberi ucapan selamat. "Eh!? Anak lu kembar Lex, gua kira cuma satu." Hingga suara bocah berambut merah itu mengepaskan kami kembali ke kenyataan. Pandangan mata kami terputus dan adik kecilku mengubah arah pandangan berhadapan dengan bocah itu. "Lu nggak tanya! Masa gua yang sibuk cerita sendiri, nggak bangetkan." Perempuan itu menjawab acuh sambil mengangkat bahu, mengabaikan keberadaanku. Sungguh sikap yang begitu buruk, ke mana sopan Saint unnya? Menjengkelkan! Sebaiknya aku cepat-cepat menyelesaikan urusanku dan pergi dari sini. "Alexandra, sepertinya kau lupa mengabariku tentang kelahiran mereka? Jadi aku langsung saja. Aku akan mengambil mereka dan menamai mereka," kataku dengan nada bicara memerintah dan serius. Hal itu membuat semua yang hadir di sini terkejut. Kecuali adik kecilku tentu saja, kami punya perjanjian dan ia jelas tahu bagaimana tabiatku. "Enak saja lu bilang! Anak gua juga, bukan anak lu! Perjanjiannya tetap gua yang besarkan dan gua cuma bilang mereka bakal pakai nama keluarga kita. Itu artinya nama depan dan tengah gua yang putuskan!" protes adik kecilku, dengan nada dingin dan datar juga. Jika kami berbicara serius, maka tidak ada bentakan atau teriakan yang keluar dari mulut kami. Hanya ucapan dingin dan datar, tapi tentunya sikap itu cukup mampu membuat lawan bicara kami terintimidasi. Setelah itu kami saling pelotot dalam diam ... tanda-tanda bahwa pembicaraan ini tak akan pernah usai bila tetap diteruskan. Karenanya kuputuskan untuk mengalah, hanya kali ini saja. "Baik, tapi ingat, mereka penerusku. Mereka harus didaftarkan menjadi bagian keluarga Angelo. Aku akan menjadikan mereka penerus resmi yang akan menggantikan posisi kita kelak. Jangan coba menentang dan suruh Samuel memberiku laporan ketika seluruh surat-surat itu sudah selesai." Dan sebagai gantinya, aku memberi titah pada adik kecilku. “Oke.” Ia hanya menjawab sesingkat mungkin, seolah tak menghargaiku. Menjengkelkan! Ke mana perginya adik kecilku yang manis dan anggun? Waktu kecil bahkan cara bicara dan bahasa yang dipakainya sangat sopan, tapi sekarang malah jadi begitu menjengkelkan. Sepertinya istilah yang mengatakan bahwa semakin tua manusia semakin bijak hanyalah isapan jempol belaka, jelas adik kecilku tidak begitu. "Mikael, kita pergi!" titahku kemudian. Urusanku sudah selesai dan aku tidak ingin berlama-lama menghabiskan waktu dengan bocah-bocah yang tengah membisu ini. Bocah itu tampak terkejut. "Kenapa? Kita baru sampai, lu nggak mau kasih ucapan selamat dulu? Lu nggak mau gendong keponakan lu dulu? Gua masih mau di sini, pengen gendong mereka." Ia membanjiriku dengan berbagai pertanyaan dan rengekan. Benar-benar bocah kurang ajar. Bukankah sudah kukatakan bahwa aku tidak suka dibantah! Aku baru akan membentaknya, tetapi melihat matanya yang berbinar-binar menatap keponakanku, kemarahanku seolah lenyap. Manis ... batinku. What the hell!? Tidak ... tidak ... aku tidak terpesona padanya! Otakku terus membantah kata hatiku. Membuatku begitu gusar, aku butuh menemui psikologku. "Baiklah, kau boleh tinggal di sini, dan kau Satria antarkan bocah ini ke rumah utama!" Aku harus tenang dan segera pergi meninggalkan ruangan ini sebelum pikiranku mulai kacau lagi. *** Mikael POV Sepulang dari rumah sakit, Satria benar-benar antarin aku ke rumah utama yang disebut oleh Vian. Ternyata tepat di sebelah rumahnya. Rumah ini amat besar dan indah, interiornya bergaya klasik. Beberapa pelayan mondar-mandir di sekitarku. Entah kenapa, begitu Satria mengatakan pada mereka bahwa aku adalah tamu Vian, seluruh penghuni rumah ini memperlakukan ku selayaknya seorang raja. Membuatku merasa tidak enak, walau aku tahu mereka berbuat begitu karena Vian adalah tuan mereka. Sudah jam 10 malam dan Vian belum juga datang menjemputku. Sebenarnya aku tidak keberatan juga, soalnya sejak beberapa hari lalu, liburan semester sudah di mulai. Yah ... daripada hanya sendirian di apartemen pria itu yang selalu sepi, lebih baik di sini. Bahkan ada Samuel di sini, pria itu tampan dan ramah. Kami sering bertemu di kantor Vian dan kata Vian dia asisten pribadi Alex. Jadi aku rasa tak apa-apa jika dekat dengannya. Kami ngobrol cukup lama tadi. Dia bilang sejak beberapa tahun lalu, dia tinggal di sini. Akhirnya aku malah membuatnya menceritakan kisah cinta Alex dan Fabian yang gila kocak abis, kayak drama. Setelah puas tertawa terpingkal-pingkal aku mulai mengantuk. "Samuel, Gue ngantuk, ada baju ganti? Kamar tamu di mana?" tanyaku sambil menguap. "Mari saya antar. Kalau pakaian ganti, apakah Anda keberatan jika memakai pakaian saya?" Akan tetapi, tetap dijawab dengan sopan, sambil menuntunku ke kamar tamu lantai dua. "Bukannya gua nggak mau, tapi Vian pasti marah kalau tahu gua pakai baju elu." tolakku, ya mau gimana lagi. Pernah sekali aku pinjam buku catatan teman sekelasku, dan begitu Vian lihat, dia langsung jadi kesetanan dan memberiku peraturan baru. Jangan pernah memakai barang-barang milik pria lain! Pakai nada memerintah pula. Yah ... intinya semua permintaannya adalah perintah. Pantas saja Alex bilang dia abang tiran, emang julukan yang pas. Begitu sampai di kamar tamu yang bakalku tempati, Samuel mulai cuap-cuap lagi. "Bagaimana jika Anda memakai pakaian Nona Alex, Tuan Muda?" Ia mengucapkan hal yang membuat aku tercengang. "Nggak mau!! Biar nggak boleh pakai baju cowok lain juga, gua ogah pakai gaun!" Membantah dengan cepat, sebelum dia mengatakan saran gila lainnya. Nggak asisten, nggak bosnya pada gila! Alex tuh sejak aku kenal setiap hari pakai gaun. Gila saja suruh aku pakai begituan, biar aku terlihat imut juga masih laki. "Bukan gaun, Tuan Muda. Sebelum Nona Alex meninggalkan rumah ini, dia selalu memakai pakaian laki-laki. Mari saya antar ke kamarnya. Anda bisa memilihnya sendiri." jelas Samuel.  Karena kepo, akhirnya aku ikut juga. Ternyata kamar Alex cuma beda dua pintu dari kamarku. Dan benar saja ... isi lemarinya baju cowok semua, sampai ada setelan jas cowok. Cuma ada beberapa gaun mewah untuk pesta. Kamarnya juga cowok banget, didominasi warna hitam dan abu-abu. Sampai-sampai aku mulai mikir, dia benaran cewek? "Kalau begitu saya permisi dulu, Tuan Muda. Silakan beristirahat," ucap Samuel kemudian. Aku segera sadar dari lamunan, menjawabnya dengan cepat. "Oke." Lalu, tinggallah aku sendirian di sini. Karena nganggur, aku mulai kepoin kamar Alex. Agak takjub pas nemu biola di sudut ruangan. Nggak nyangka saja, ternyata cewek pecicilan itu bisa main alat musik juga, memikirkannya membuatku tertawa sendiri. Oh, ya sudah. Sekalian mandi dan tidur di sini saja. Toh nggak ada suasana kamar ceweknya.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN