Mikael POV
Beberapa hari telah berlalu sejak acara peresmian pertunanganku dan Vian. Betapa memalukannya semua ini, bayangkan!! Foto-foto mesra kami tengah beredar luas di sejumlah tabloid dan majalah bisnis dengan judul-judul menyebalkan seperti ....
HOT NEWS! PERNIKAHAN DAN PERTUNANGAN SESAMA PRIA PARA PENERUS ANGELO GROUP!?
Atau ....
APAKAH SUDAH TIDAK ADA WANITA MENARIK LAGI? KEPALA KELUARGA ANGELO AKAN MENIKAHI SEORANG PRIA!
Dan ...
SECARA TERANG-TERANGAN PARA PENERUS ANGELO GROUP MEMAMERKAN KISAH CINTA SESAMA JENIS!!
Judul-judul sejenisnya. Bahkan ada banyak foto Dean-Tyler dan Marvis-Elanor. Cemoohan dan sindiran bermunculan di majalah. Benar-benar membuat hati panas!!! Apalagi mulai hari ini, aku harus kembali masuk kuliah. Emang sih, majalah terbitan terbaru sudah memuat berita lain, tapi kan gosip itu nggak bakal langsung hilang begitu saja.
Aku nggak habis pikir. Keluarga Vian itu pengusaha bukannya artis, tapi kenapa kehidupan cintanya mesti jadi sorotan publik juga?
Sementara aku terus galau, jam terus berjalan menunjukkan pukul 10:00. Yang artinya, satu jam lagi kelas pertamaku akan dimulai. Sedangkan aku masih ada di apartemen, berjalan bolak-balik ngegalau ria.
"Tuan Mikael, jika Anda tidak berangkat sekarang, Anda akan terlambat mengikuti kelas." Rei bersuara, mengganggu kegalauanku, menyeretku kembali ke kenyataan yang pahit.
"Iya gua ngerti, ayo jalan!" Dengan hati ngegalau, aku pun berangkat ke kampus diikuti oleh Rei dan empat orang bodyguard. Biasa ... Vian nambahin lagi om-om sangar buat menjaga, sekalian mengawasiku.
Begitu aku sampai di kampus, seperti yang kubayangkan. Aku langsung jadi pusat perhatian. Gosip-gosip nggak jelas pun bertebaran, tapi untung aja nggak ada yang nge-bully. Mungkin karena takut ke Vian atau takut om-om bodyguard bertampang kriminal yang mengekoriku ke mana-mana.
Kehidupanku langsung jungkir balik. Masih kuingat dengan baik, masa-masa kuliahku sebelum mengenal Vian. Dulu aku tidak pernah sendirian. Di sekelilingku selalu ada teman yang bercanda tawa denganku, tapi sekarang ... bahkan tidak ada yang mau bertatapan denganku. Rasanya sedikit menyedihkan. Dengan malas aku berjalan ke kelas, mengikuti kuliah dan langsung pulang ke rumah begitu usai.
***
Sulvian POV
"Dasar b******k!!" Aku bersenyum meledek mendengar umpatan dari mulut seorang pria tua berumur sekitar 50-an tahun itu, salah satu mantan rekan bisnisku.
Awalnya kerja sama kami cukup baik, sampai putrinya menikah dengan pimpinan perusahaan sainganku. Pria tua ini pun berkhianat, membantu menantunya menjatuhkanku. Hanya saja, usaha mereka tidak cukup baik. Justru sebaliknya, akulah yang menjatuhkan mereka terlebih dahulu dan membunuh menantu pria tua di hadapanku ini.
"Kau tidak perlu membunuhnya bukan! Dia punya anak yang masih bayi. Apa kau tidak punya hati nurani?"
"Huh! Diam tua bangka! Harusnya kau bersyukur karena aku tidak membunuh putri dan cucumu sekalian!" bentakanku. Sontak membuat pria tua itu semakin marah. Ia berbalik mengancamku, "Akan kubalas perbuatanmu! Lihat saja nanti, orang yang berharga bagimu akan kurampas!" Dengan berani menunjuk mukaku dengan jarinya.
"Coba saja kalau bisa. Aku tidak punya seorang pun yang cukup berharga untuk ditangisi!" Aku tak terusik, malah menantang balik pria tua itu.
"k*****t kau Angelo!! Pergilah ke neraka!!" Caci maki pria tua itu menggema di ruangan kerjaku. Namun hal itu tidak mengusikku, aku hanya terkekeh mengejeknya. Yang benar saja, memangnya apa yang bisa diperbuat pria tua sepertinya padaku?
"Damian, bawa Tuan Robert keluar dari ruanganku!" perintahku ke salah satu asistenku. Dengan cepat Damian menjalankan tugasnya, mengabaikan sumpah serapah dari pria tua bernama Robert itu.
***
Pukul 22:00 aku baru pulang ke apartemen. Setelah menyelesaikan cukup banyak pekerjaan yang tertunda lantaran kutinggal untuk ke Belanda minggu lalu. Kulihat bocah itu tengah sibuk dengan popcorn dan air soda di kedua tangannya. Matanya menatap lurus ke layar televisi. Tanpa sadar aku tersenyum menatapnya.
Dengan segera aku memberi instruksi kepada Rei, beserta beberapa bodyguard yang mendampinginya untuk pergi meninggalkan kami berdua. Setelah mereka pergi, aku mendudukan bokongku ke atas sofa yang berada di belakang Mikael, sedangkan bocah itu duduk di lantai berkarpet dan masih belum menyadari kehadiranku.
Dengan iseng, kuraih pinggangnya. Menarik Mikael hingga jatuh ke pangkuanku, membuat bocah itu berteriak memaki."s**t!! b******k! Siapa yang berani ngeganggu gua!" Namun, begitu ia memutar kepalanya dan melihatku yang sedang menatapnya dengan dingin. Ia segera diam dan menundukkan kepalanya takut-takut.
Melihat itu aku mengangkat dagunya. "Takut padaku, heh?"
"Gak. Siapa bilang gua takut sama lu! Liat popcorn gua jadi tumpah gara-gara lu!" Mikael membuang mukanya, kembali menundukkan kepala. Membuatku sedikit merasa kesal padanya.
Awalnya aku memang ingin dia takut kepadaku, tapi sekarang hal itu tidak membuatku senang lagi. Aku ingin ia menyambutku dengan senyuman dan tatapan memuja yang tidak pernah diperlihatkannya.
Kuambil mangkuk berisi popcorn yang dari tadi dipegangnya, memindahkan mangkuk itu ke atas meja. Lalu kuraih kedua tangannya yang telah kosong ke hadapanku, kuciumi satu persatu, tapi bocah itu malah bersikap menyebalkan. Dengan cepat Mikael menarik tangannya dari genggamanku, ia bahkan seenaknya menjauh dari ku. Sekarang bocah itu telah berdiri cukup jauh dari ku, memilin jari-jarinya gugup. Masih setia menundukkan kepala. Sudah cukup! Sikapnya makin membuatku kesal!
"Apa maksudmu menjauh dari ku, Mikael? Kau tidak suka kusentuh?" Aku tidak suka ditolak, apalagi oleh Mikael.
"Ti-tidak, bukan begitu." Ucapannya terputus. Kemudian ia menaikan kepalanya, melirikku sebentar, dan kembali bungkam.
"Lalu apa? Ke marilah!" Menghela napas, aku menepuk sofa di sampingku, mengisyaratkan agar ia duduk di sampingku. Mikael menurutiku, ia pindah dengan patuh ke sampingku. Aku lalu menggeser tubuhku agar kami bisa berbicara sambil berhadapan.
"Kenapa diam, bocah? Kau takut padaku? Jawablah." Kali ini aku berbicara lebih lembut padanya, berusaha berkomunikasi lebih baik.
Ia diam cukup lama sebelum akhirnya mulai menjawab, "Sorry ... gua nggak bermaksud takut sama lu, tapi lu emang nakutin. Lu nggak marah, kan?" Dengan ragu-ragu dan takut-takut.
Damn! Ternyata memang bocah itu ketakutan. Aku tidak peduli jika semua orang di dunia ini takut dan menjauh dari ku, tapi tidak dengannya. Cintaku padanya membuatku mengharapkan kepercayaan dan balasan cinta dari Mikael.
"Tidak. Mikael, dengar. Bukankah sudah pernah kukatakan, bahwa aku tidak akan pernah menyakitimu lagi? Percayalah padaku," bujukku.
Mikael menutup matanya sebentar, kemudian menarik napas pendek. Ia Membuka matanya kembali, memberiku tatapan intens. "Kenapa? Kenapa akhir-akhir ini lu berubah menjadi baik ke gua? Padahal jelas-jelas lu cuma anggap gua mainan lu. Atas dasar apa gua bisa pegang omongan lu?" Mikael Mempertanyakan kembali dasar hubungan kami. Menunjukkan dengan jelas, bahwa dia masih mengira aku hanya main-main dengannya. Sepertinya perasaanku memang tak pernah sampai kepadanya. Hatiku terasa tertohok, mengetahui apa yang dia pikirkan tentangku.
"Apakah aku terlihat sebrengsek itu di matamu, Mikael?" tanyaku lemah.
"Lu belum jawab pertanyaan gua," elaknya.
"Jawab dulu pertanyaanku."
"Nggak! Gua yang nanya dulu, jadi lu yang jawab dulu. Baru gua jawab!"
"Apa susahnya menjawab lebih dulu?"
"Kalau nggak susah, lu jawab duluan!"
"Mikael ...." Karena tidak ada yang mau mengalah, aku mengeram jengkel padanya.
"Apa!?" Yang dibalas sewot oleh Mikael. Bocah itu menaikan alisnya, menatapku malas. Sepertinya dia sudah lupa akan ketakutannya padaku beberapa saat yang lalu.
Kuusap wajahku kasar, berusaha menenangkan emosiku. "SUDAHLAH!" Akan tetapi sepertinya percuma, karena aku masih juga membentaknya. Lalu melarikan diri ke kamar tidurku, meninggalkan bocah itu begitu saja tanpa melihat ke arahnya sedikit pun. Rasanya semua ini benar-benar membuatku frustrasi.
***
Mikael POV
"Gua nggak tahan lagi! Abang lu nyebelin banget, Lex!" keluhku ke cewek yang tengah sibuk berkutik dengan buku aljabar setebal 1000 halaman. Cewek yang notabene-nya adik Vian ini hanya diam, matanya tengah fokus ke angka-angka di hadapannya, mengacuhkanku yang tengah berkeluh kesah padanya.
Sejak perdebatanku dan Vian beberapa hari lalu, pria itu bersikap seperti bocah. Secara terang-terangan menghindariku. Berangkat kerja sebelum aku bangun dan pulang setelah aku tertidur. Huft! Kalau begitu kenapa tidak sekalian nggak usah pulang saja sih! Yang bocah itu dia atau aku sih.
"Hoi! Gua lagi curhat nih ... dengerin kenapa!?" Kurampas buku yang tengah dibaca Alex, membuat empuhnya merengut gak suka, tapi aku tidak peduli.
Gara-gara Vian, aku jadi selalu sendirian di kampus. Pria itu membuat teman-temanku menjauhiku. Apalagi cewek ini satu-satunya orang yang diizinkan oleh Rei – tentu saja atas perintah Vian, untuk dekat dan berbicara denganku di kampus. Jadi aku tidak mau tahu, Alex harus mau dengerin curhatku plus temenin aku hangout. Nggak bangetkan, kalau aku jalan-jalan hanya bareng Rei yang membisu dan om-om bodyguard bermuka sanggar?
"Iya ... iya ... terus kenapa emangnya?" Akhirnya didengerin juga.
"Dengar deh!! Abang lu tuh!! Udah beberapa hari ini dia jauhin gua cuma gara-gara gua nggak mau jawab pertanyaannya. Padahal dia sendiri juga nggak mau jawab pertanyaan gua!" curhatku, menggebu-gebu.
"Hmm," Cewek satu ini hanya melipat kedua tangannya, mengerutkan alis seolah-olah lagi mikir serius tanpa berkata apa pun. Melihat reaksinya, kuhirup udara sebanyak-banyaknya. Mengembuskan napas dengan kasar, lalu kembali berkeluh kesah.
"Gua mesti gimana, Lex?"
"Menurut lu Vian itu kenapa sih?"
"Terus sebenarnya dia tuh tunangan sama gua buat apa? Apa menurut lu Vian ada rasa ke gua?"
"Gua ngerasa sudah ngertiin dia banget. Lu bayangin saja! Sejak kami jadian, Gua dijauhin anak sekampus. Jadi bahan gosip. Sampai-sampai harus tinggal serumah dengannya. Gua sudah nuruti semua permintaan Vian yang sudah kayak perintah itu, tapi dia nggak pahami gua sedikit pun! Lu bayangin gimana susahnya gua!"
"Dan sekarang dia malah ngejauh dari gua cuma karena hal kecil. Gua kesal, Lex!"
"Nah terus yaaa ... menurut lu kalau gua balik ke rumah Papa, Vian bakal ngambek... eh, maksud gua dia bakal murka nggak?"
Setelah aku cuap-cuap panjang lebar, Alex hanya naikin alisnya lagi. Air mukanya datar nggak kebaca. Membuat aku curiga, dia sebenarnya mendengarkan atau nggak? "Udah puas lu ngoceh-ngoceh?" Belum lagi tanggapannya itu ... pasti sah! Anak ini gak dengarin sama sekali.
"BELUMMM!!" Karena kesal, aku teriak saja. "Lu tuh ya, orang lagi curhat, bukannya kasih saran, malah ngeluh! Teman macam apa lu!" Membuang muka ngambek. Nggak abang, nggak adik sama-sama buat dongkol!
"Gua udah dengerin lu tahu! Gua nggak perlu kasih saran lagi!! Lu udah tahu jawabannya, hanya saja lu terlalu keras kepala untuk mengakuinya." Mendengar perkataan Alex aku kembali menatapnya, mencari kejelasan dalam kata-kata yang dilontarkannya.
Tiba-tiba tak jadi dongkol. "Maksud lu?" Malah kepingin curhat lagi.
"Percayalah ke hati lu! Percayalah ke apa yang lu lihat dari abang gua. Tutup mata dan telinga lu dari apa yang lu lihat dan dengar dari luar. Pahami apa yang hati lu katakan. Dengan sendirinya, lu akan temukan jawaban yang lu cari. Cinta itu terlihat rumit dan sulit dipahami. Mudah memancing salah paham, tapi sebenarnya cinta sederhana,” jelas Alex panjang lebar. Aku mikir lagi. Terdiam sejenak, menyerap arti kata-katanya. Berusaha memahami maksud dibalik kalimatnya. Kututup mataku sejenak dan mencari di dalam hatiku.
"Nah sekarang gua tanya ke elu. Lu cinta ke abang gua? Menurut lu abang gua cinta nggak ke elu?" Sebelum aku memahami maksud kata-katanya tadi, Alex kembali menimpali dengan pertanyaan yang memaksa otakku berpikir keras.
Apa aku mencintai Vian? Jawabannya iya dan apakah menurutku, Vian mencintaiku? Jawabannya? Halah, macam aku tahu saja!
Aku kembali mengembuskan napas berat, sadar bahwa bahkan hatiku juga tidak tahu. "Gua cinta ke Vian, tapi gua nggak tahu apa dia cinta ke gua atau nggak." Jadinya aku berharap Alex kasih tahu jawabannya.
"Bukan nggak tahu!! Ya atau tidak! Hanya ada dua jawaban, Mikael. Pikirkan kembali!" Namun, dia malah nggak mau kasih tahu. Malahan cewek itu membentakku, menuntut aku buat mencari jawaban itu sendiri.
"Gua, kan sudah bilang nggak tahu!" Aku balik membentak, dibilang nggak tahu ya nggak tahu!
"Lu tahu, lu hanya terlalu pengecut untuk percaya pada kata hati lu sendiri, lu hanya terlalu takut terluka." Eh, dia ngotot lagi. "Pikirkan kembali saat lu sendirian. Cinta itu soal kepercayaan, Mikael. Sebagai info, karena gua sobat terbaik lu ... gua kasih lu bocoran. Lu tuh pacar pertama abang tiran gua, lebih tepatnya satu-satunya orang yang dipacarinya sejak lahir. Nah, habis ini lu pikir lagi, menurut lu abang gua cinta nggak sama lu.” Ngomong bertele-tele, yang ujung-ujungnya juga balik ke awal.
Buat aku shock juga! Antara terkejut, tidak percaya dan senang. Mengetahui bahwa aku adalah pacar pertamanya Vian. Hatiku seketika membuncah. Otakku mulai mikir ke mana-mana, bertanya-tanya, apakah itu arti aku spesial bagi Vian? Lalu terdiam terpaku di tempat menjadi patung pajangan. Pikiranku sibuk menjerit-jerit bahagia. Kembali aku teringat kata-kata yang diucapkan pria itu saat kami kembali rujuk.
"Karena aku menginginkanmu di sisiku, karena kau berharga bagiku dan karena aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu."
Lalu entah kenapa, selama aku diam membisu. Terbengong-bengong sendiri. Di saat itulah, Alex memakaikan headphone miliknya padaku. Lalu menarik kepalaku ke pundaknya, memeluk pinggangku dengan tangan kiri sementara tangan kanannya memegangi kepalaku agar tetap menyandar padanya. Membuat posisi kami kayak orang pacaran yang lagi pelukan mesra. Berhubung dia lebih tinggi 15 cm dari ku, membuat seolah posisi cewek dan cowok di antara kami tertukar.
"Lu apaan sih!" Karena aku merasa ada yang salah di sini, aku mulai protes.
Dengan cepat kudorong ia menjauh. Melepaskan pelukan kami, tapi di saat aku mau melepaskan headphone di telingaku, Alex kembali menarikku ke pelukannya. Karena perbedaan tinggi badan tadi, posisi kami jadi berada pada situasi yang mendebarkan. Kami berpelukan saling berhadapan, kepalaku berada tepat di dadanya.
Aku jadi gelisah. Merasa posisi ini sangat salah. Kembali mencoba melepas pelukan kami, tapi sayangnya gagal lagi. Itu karena cewek ini jauh lebih kuat dari aku. Kedua tanganku dilipat dan dicengkeram dengan keras oleh tangan kirinya, sementara tangan kanannya memeluk erat pinggangku mendekatkan tubuhku semakin dekat padanya.
"Lepasin nggak, Lex! Mau lu apaan peluk gua kayak gini!" Aku kembali protes, mendongkakkan kepala menatap mukanya, menuntut jawaban. Namun, cewek ini hanya diam. Walaupun dijawab juga, nggak bakal kedengaran. Mengingat ada headphone yang terpasang cantik di telingaku.
Dia malah makin mempererat pelukannya, menekan kepalaku semakin mendesak ke dadanya, membuat napasku sesak dan semakin sulit meronta. Aku pun pasrah, membiarkan kami dalam posisi yang terlihat seperti sepasang kekasih ini. Ditemani oleh iringan musik klasik yang terdengar nyaring di telingaku. Entah berapa lama berlalu kami masih berpelukan di posisi semula, membuatku mendadak merasa bersalah pada Vian. Kalau kayak gini sih, sama saja aku lagi selingkuh sama adik iparku sendiri. Walau yang salah Alex sih.
Aku heran, kenapa Alex berbuat seperti ini? Belum lagi kenapa Rei nggak datang menjauhkannya dari ku. Padahal mereka berada tidak jauh dari kami. Apa Rei bakal mengadu ke Vian?
Argh!!! Aku hanya bisa menjerit dalam hati. Vian, adikmu kenapa!?
***
Sulvian POV
BRAK!!
Mendengar kabar yang di sampaikan oleh Rei, tanpa sadar aku menggebrak meja kerjaku. Kemarahan menguasaiku. Kuusap wajahku kasar, sembari mencoba menenangkan diri. Setelah kurasa cukup tenang, barulah aku kembali bertanya kepadanya. "Bagaimana mungkin kalian bisa tidak sadar? Bagaimana mungkin orang itu bisa sedekat itu dengan Mikael?" Ada orang b******k yang berhasil lolos dari pengawasan Rei dan mendekati bocah itu sekadar untuk memberikan surat ancaman, bagaimana mungkin!?
"Maafkan kelalaian saya, Sir. Akan saya perketat penjagaan Tuan Mikael."
"Tentu saja! Itu sudah menjadi tugasmu!"
Rei mendekatiku dan memberikan surat ancaman itu kepadaku. Tanpa menunggu lama, langsung k****a surat yang sudah lebih dulu dibuka olehnya itu.
‘Bersiaplah menyambut kematianmu, Mikael Roug! Kali ini hanya salam. Pertemuan berikutnya, ucapkan selamat tinggal pada hidupmu. Jangan menyalahku, jika ada yang harus disalahkan, salahkan kekasihmu yang b******k itu. Nyawa dibalas nyawa.’
Kuremas kertas itu hingga tidak lagi berbentuk, membuangnya asal ke lantai. Tulisan tangan bertinta merah itu sangat aku kenali, milik seorang pria yang kukenal selama bertahun-tahun, pak tua Robert. Jadi itu maumu tua bangka!
"Apakah Mikael sempat membaca surat itu? Di mana bocah itu sekarang? Kau meninggalkannya hanya bersama empat orang bodyguard itu dan datang kemari tanpa kuperintah?" Pertanyaan beruntun keluar begitu saja dari mulutku, karena kepanikan. Kudesak Rei hingga punggungnya menabrak dinding, berpindah tepat di hadapannya.
"JAWAB REI!!! DI SAAT NYAWA BOCAH ITU TERANCAM, KAU MALAH MENINGGALKANNYA DENGAN PENGAMANAN MINIM!?" Kesabaranku lenyap, kemarahan kembali menguasaiku. Akan tetapi, Rei tidak bergeming sedikit pun. Ia masih begitu tenang berdiri di hadapanku.
"Maafkan saya, Sir. Saat ini Tuan Mikael sedang bersama Nona Alexandra di rumah utama. Saya sudah menambahkan 10 orang untuk berjaga, jadi Anda tidak perlu khawatir. Meski orang itu mendekat sampai di hadapan Tuan Mikael, Nona yang menerima surat itu darinya. Tuan Mikael bahkan tidak sadar dengan kehadiran orang itu," jelas Rei.
Seketika itu, emosiku langsung surut, lega rasanya bocah itu baik-baik saja. Bagaimanapun aku tidak ingin ia merasa takut menerima surat ancaman seperti itu.
"Bagaimana bisa Mikael tidak menyadari kehadiran orang itu dan adikku yang menerima suratnya?" tanyaku kembali. Saat sadar ada yang ganjil dari penjelasan Rei. Tadi jelas-jelas ia mengatakan bahwa pria itu lolos dari pengawasannya dan berhasil mendekati Mikael dalam jarak kurang dari satu meter. Memberikan surat ancaman itu kepada Mikael. Lalu kenapa bocah itu bahkan tidak tahu bahwa ia terancam? Walau ini berarti kabar bagus bagiku, tapi aku tetap butuh penjelasan. Yah, memang lebih baik adik kecilku yang menerima ancaman daripada Mikael.
"Anda benar-benar ingin mengetahuinya, Sir?"
Dahiku mengerut melihat reaksi Rei. Ia menggaruk keningnya tampak bingung, ragu-ragu dalam bertanya. Pria itu terlihat sangat kebingungan, sontak membuatku kembali marah dan membentaknya.
"KATAKAN SEJELAS-JELASNYA!"
"Baiklah, Sir Juan. Begini ... saat orang itu mendekat, Tuan Mikael sedang mengobrol dengan Nona dalam posisi membelakangi orang itu. Ketika orang itu berniat menepuk bahu Tuan Mikael untuk menyerahkan surat tersebut, Nona segera mencengkeram tangan orang itu. Menarik Tuan Mikael ke pelukannya dan memakaikan headphone ke telinga Tuan Mikael. Sehingga ia dalam posisi tidak mengetahui apa pun. Setelahnya, Nona yang menerima surat itu dan terlibat pembicaraan dengan orang itu. Itulah yang terjadi, Sir. Lalu setelah orang itu pergi, barulah Nona melepaskan pelukannya dan memberikan surat itu kepada saya. Memberi perintah untuk segera melaporkan kejadian itu ke Anda." Mendengar penjelasan Rei membuatku kembali marah. Refleks aku menggebrak meja kerjaku.
BRAK!!
"Tenanglah, Sir," bujuk Rei.
"Kau itu asistenku, bukan asisten perempuan itu! Kenapa kau mendengarkan perintahnya!" Aku berteriak pada Rei, membuatnya serba salah menghadapiku. Ia pun mulai meminta maaf kembali. "Maafkan saya, Sir."
"Bukan maaf yang kubutuhkan! Bukankah sudah kukatakan bahwa siapa pun tidak boleh menyentuhnya!? Dan kau membiarkan perempuan itu memeluknya, Rei!"
Sekali lagi kemarahan menguasaiku. Aku tahu bahwa aku berlebihan, cemburu kepada adik kecilku sendiri. Bahkan Rei sudah menjelaskan situasinya padaku, perempuan itu memeluk Mikael demi melindungi bocah itu sesuai dengan janjinya padaku, tapi tetap saja aku tidak suka milikku disentuh seenaknya.
"Tapi, Sir. Nona adik kandung Anda, dan itu dilakukan demi melindungi Tuan Mikael." Rei mencoba memberi alasan, berbicara seolah aku tak memahami situasinya.
"Aku tidak peduli apa pun alasannya, siapa pun dia!! Menjaga bocah itu adalah tugasmu!!" Tentu saja aku mengerti, aku tahu tak seharusnya aku marah pada adik kecilku, tapi tetap saja ... kalau marah ya marah.
"Maaf, Sir. Berikutnya tidak akan terjadi lagi," janjinya padaku. Hanya saja, aku bukan orang yang akan memaafkan kesalahan kecil dan memberi kesempatan kedua. Sudah cukup. Memang tidak akan terulang kembali. Karena Mikael tidak akan kupercayakan lagi kepada Rei.
"Sudahlah! Mulai sekarang kau kutugaskan mengurus perusahaan di daerah Asia Timur! Pergi sekarang juga!" titahku.
"Baik, Sir." Rei pun pergi meninggalkanku, mengerjakan tugas barunya.
Tidak lama setelah pria itu menghilang dari balik pintu ruang kerjaku, aku meraih telepon genggam di atas meja. Menghubungi asistenku yang lain untuk menggantikan tugas Rei. Di nada dering kedua, suara ‘halo’ terdengar. Tanpa basa basi, langsung aku beri perintah. "Yakub, mulai sekarang tugasmu adalah menjaga Mikael untukku. Segera pergi ke rumah utama dan tinggalkan semua pekerjaanmu kepada Damian!" Langsung kututup sambungan teleponku begitu mendengar kata 'baik' yang diucapkan oleh pria kelahiran Iran itu. Yakub adalah asistenku yang paling kejam dan terlatih untuk membunuh, dibandingkan mengurus perusahaan. Ia tidak akan memberi celah sedikit pun pada lawannya.
Sebenarnya aku tidak ingin dia yang menjaga Mikael. Karena bocah itu pernah mengatakan kalau ia sangat takut melihat Yakub. Itulah sebabnya, aku memilih Rei yang lebih ramah dan bersahabat. Satu-satunya asistenku yang tidak memiliki bekas luka di wajahnya, tapi itu keputusan yang salah. Pria itu terlalu mudah diajak berkompromi. Sudah cukup pengertianku, aku tidak peduli jika bocah itu takut pada Yakub, pria berkulit gelap itu jauh lebih bisa diandalkan untuk melindunginya.
***
Mikael POV
Sekarang aku lagi ada di rumah utama Vian. Tadi sepulang dari kampus, Rei langsung membawaku ke sini bersama Alex dan ia pun langsung hilang begitu aku memasuki rumah.
Ngomong-ngomong soal Alex, tuh cewek saat ini lagi mengerjakan tugasnya di hadapanku. Kami tengah berduaan di ruang keluarga. Aku sibuk nonton spongebob, sambil ngelamun, ngegalau ria memikirkan alasan kenapa cewek satu ini memelukku tadi, tapi si biang kerok malah cuek aja berkutik dengan angka-angka di hadapannya.
Kembali aku mengingat pembicaraan kami setelah kejadian pelukan di taman belakang fakultas kedokteran tadi siang.
Aku : kenapa lu meluk gua gitu?
Alex : iseng
Aku : iseng kata lu! Meluk lama gitu! Gua tuh tunangan abang lu tahu nggak! Maksud lu apaan?
Alex: iya gua tahu lu bakal jadi abang ipar gua
Aku : orang tanya juga, jawab yang benar!
Alex: huh! Please deh nggak usah lebay, begitu doang dianggap serius. Anggap aja bro Hub. Bereskan! Gua lapar. Yuk ke kantin.
Setelah itu dia langsung mengalihkan pembicaraan. Asli, aku curiga banget sama cewek satu ini. Setahun berteman, tapi sampai sekarang aku masih belum mengenalnya sepenuhnya. Gimana pun juga aku nggak bodoh-bodoh amat untuk sadar bahwa ada yang disembunyikannya dari ku.
Akhirnya aku hanya bisa menghela napas berat, memerhatikan lekat-lekat cewek di hadapanku ini. Ia terlihat begitu fokus dengan tugasnya, mengabaikan keberadaanku begitu saja. Kalau kayak gini sih, sudah jelas nggak punya rasa padaku, tapi kenapa?
"Tuan Mikael, mulai sekarang saya yang akan menjaga Anda!"
Deg!
Mendadak aku dikagetkan oleh suara berat yang tidak asing, entah sejak kapan Yakub sudah berdiri memberi hormat di depanku. Tanpa sadar aku menahan napas hingga dadaku menjadi sesak. Saking ngerinya.
"Tuan Mikael?" Yakub kembali memanggilku.
Dengan cepat kuhirup udara sebanyak-banyaknya, kembali bernapas. Pria ini selalu bisa membuatku jantungan!! Gila nakutin banget sih!! Lalu setelah berhasil menetralkan jantungku, aku bertanya kepadanya, "Lho, Rei ke mana? Kok lu yang ngejaga gua?"
Heran ... kenapa Yakub? Vian bodoh!! Sudah tahu aku sangat takut pada pria berkulit gelap, bertubuh tinggi 216 cm, bermuka kriminal penuh bekas luka satu ini. Belum lagi tatapan matanya kayak mau membunuh. Kenapa masih juga, Rei diganti dengan yang kayak begini?
"Saya tidak tahu, Tuan. Sir Juan memerintahkan saya untuk menggantikan tugas Rei, tanpa penjelasan."
"Oh ... oke." aku hanya menjawab singkat, tak tahu mau gimana lagi. Sudah pasrah sama sindrom tuan besar dengan perintah mutlaknya itu.
Karena setelah itu Alex pamit pulang, diantarkan oleh Samuel, aku pun segera pergi berjalan ke kamar tidur Vian. Berniat untuk tidur. Sesuai perintah si Tuan Tiran menurut adiknya, aku di suruh tinggal di rumah ini. Menempati kamar tidur Vian untuk beberapa hari ke depan. Seperti biasa, seenaknya tanpa penjelasan apa pun. Ditambah lagi buku-buku dan pakaianku entah sejak kapan sudah ada di sini. Terpaksa aku hanya bisa menuruti perintah egoisnya.
Dengan cepat aku mandi, berganti baju dengan piyama lalu menjatuhkan diri ke atas kasur empuk di depanku. Berusaha mengabaikan pria bermuka kriminal yang tengah duduk di sofa samping pintu masuk kamar memperhatikanku. Lihat, bahkan tidur aja aku di awasi. Dasar Vian gila!!
***
Beberapa hari sudah aku tinggal di rumah ini. Vian belum muncul, tanpa pesan maupun telepon. Karena hari ini nggak ada mata kuliah apa pun, aku memutuskan untuk diam saja seharian di rumah. Malas mau keluar, siapa tahu tiba-tiba Vian balik ke sini.
Lagi pula mau jalan juga malas. Kalau ke mana-mana harus diikutin oleh Yakub dan enam orang bodyguard. Biasa ... sekali lagi Vian nambahin om-om nakutin buat ngejaga, alias mengawasiku. Bayangkan saja, mau boker aja ditungguin! Apalagi kalau pergi keluar rumah?
Sumpah bikin dongkol!!
Masih mending waktu sama Rei dulu. Walau dia sering mendadak bisu, tapi seenggaknya mukanya cakep. Nggak nakutin dan terkadang Rei bersikap ramah. Tersenyum menyapa beberapa dosen yang mengajar di kelasku. Sedangkan Yakub, jangankan bersikap ramah atau menyapa. Senyum saja nggak pernah! Belum lagi pas masuk kelas ini orang ikutan duduk di sampingku, Ngikutin selama pelajaran berlangsung, sampai-sampai dosen yang mengajar menatap gak suka, tapi nggak berani negur, saking orang ini nakutin plus bawa-bawa senjata api ke mana-mana.
Mimpi apa aku, kenapa hidupku bisa berubah sekacau ini. Sementara aku lagi ngegalau ria, baring-baring di kursi berjemur samping kolam renang samping rumah ... muncullah seorang wanita berumur 60-an tahun yang terlihat cukup muda untuk ukuran wanita seusianya. Wajah cantiknya masih terlihat cukup jelas, garis-garis halus di sekitar wajahnya tidak membuatnya tampak tua. Sekali lihat saja, aku sudah tahu bahwa rambut dan bola mata milik Vian adalah warisan darinya.
"Tante, kapan Tante pulang?" sapaku sopan, camer nih.
"Baru saja, Mikael. Sejak kapan kamu di sini?" Cara bicara halusnya ini, selalu saja membuatku merasa tidak bisa dekat dengannya. Meskipun ia tersenyum, tapi senyuman itu tidak pernah sampai di matanya. Membuatku mengira-ngira, apakah ia benar-benar bisa menerima hubunganku dengan Vian atau tidak.
"Sudah beberapa hari, Tante, di suruh Vian." Aku menjawab seadanya saja. Soalnya ibu Vian ini, kelihatan tak suka ngobrol lama-lama. Serasa orang asing, jadinya aku cukup bicara ala kadarnya.
"Oh ... baiklah. Kalau begitu saya permisi dulu. Jangan sungkan. Karena saat ini, kamu sudah menjadi bagian dari keluarga kami, rumah ini rumahmu juga."
"Iya, Tante." Aku tersenyum padanya dan setelah itu, ia pun berjalan menjauh dari ku. Memberi instruksi ke Yakub untuk mengikutinya. Tinggallah aku bersama beberapa orang bodyguard yang tersisa. Sepertinya, selamanya aku tidak akan pernah sendirian lagi.
Aku pun hanya bisa mengembuskan napas lelah. Pasrah akan nasibku.
Perkataan ibu Vian yang halus itu sangat kontras dengan tatapan mata dinginnya, tidak terlihat kehangatan sedikit pun di sana. Meski ia berkata menganggapku seperti keluarganya sendiri, tapi sulit bagiku untuk memercayai ucapannya, mengingat ekspresi wajah dan cara berbicaranya yang dengan jelas memperlihatkan adanya tembok penghalang.
***
Sekarang aku lagi ada di rumah keluarga Wijaya. Berhubung Vian gak ada kabar selama berminggu-minggu dan lagi aku sudah ngerasa suntuk banget. Aku putuskan buat main ke rumah Alex. Mumpung lagi liburan semester juga. Enggak terasa sudah hampir setahun aku mengenal Vian.
Sialnya, itu anak ternyata malah sedang pergi ke Thailand. Mengurus perusahaan di sana bareng Fabian lagi! Sekalian honey mohon, kata tante Sarah, Mrs. Wijaya. Gila saja, nikah sudah setahun lebih masih sok-sokan honey mohon. Gak bilang-bilang lagi! Tahu gitu, kan aku mau minta oleh-oleh.
Cih! Bete banget. Padahal selain itu cewek pecicilan itu, cuma Fabian yang dapat izin dari Vian buat diajak hangout! Nah, kalau sudah begini ... selama dua bulan liburan semester, aku main sama siapa dong?
"Huaaa ... nyebelin!" keluhku. Tiduran di sofa ruang tamu keluarga Wijaya. Walau anak dan menantunya gak ada, aku malas pulang ke rumah. Toh nanti sendirian juga, gak apa-apa deh ngobrol sama Tante Sarah, daripada ngomong sama tembok.
"Lho kenapa, Nak Mikael?" tanya tante Sarah cemas.
"Bete, Tante! Alex dan Fabian pergi nggak ajak-ajak!" Aku jadi ngeluh lagi.
"Iya nih, perginya mendadak. Anak-anak ditinggal begitu saja. Bukannya tante tidak mau mengurus mereka, masalahnya tante sudah ada janji buat ke Jogja bareng teman-teman kuliah dulu. Terpaksa harus dibatalin. Kan kasihan si kembar, tidak ada yang jaga." Tante Sarah pun ikut mengeluhkan kepergian anak dan menantunya yang seenaknya itu.
Eh, tunggu ... tadi Tante Sarah ngomong apa? Twins ditinggal. Mataku langsung berbinar-binar. "Tante, selama Alex dan Fabian di Thailand, Lexie dan Lexus biar tinggal sama gua saja ya ... ya ... boleh ya?" Membujuk dengan manis, pasang puppy eyes andalanku. Kalau emak-bapaknya nggak ada, anaknya saja deh.
Tante Sarah mikir bentar. "Benar nih? Kamu tidak keberatan, Nak Mikael? Gak susah ngurusnya?" Lalu tanya begitu, masih ragu-ragu rupanya.
"Tante tenang saja! Biasanya kalau keluar kota juga twins dititipin ke gua kok, gak bakal repot ngurusnya. Gua, kan tinggal di rumah utamanya Vian. Ada mamanya Alex juga, lalu banyak pembantu. Boleh ya tante," bujukku, setengah memaksa.
"Ya sudah, tapi kalau nanti kamu kerepotan hubungi tante ya! Nanti tante jemput mereka." Akhirnya Tante Sarah izinin juga, aku langsung berhore ria dalam hati. "Makasih tante!" teriak kegirangan keras-keras.
Setelah itu enggak pakai lama, aku langsung siapin barang-barang keperluan nginap twins. Dibantu sama Tante Sarah tentunya, lalu cabut deh ke rumah. Akhirnya liburan membosankanku terselamatkan, bisa main sepuasnya sama twins yang imut-imut. Anggap saja anak sendiri. Toh, Vian juga sudah dengan seenaknya mengklaim mereka sebagai ahli warisnya dan jelas setelah nikah kami enggak bakal punya anak sendiri.
Nah, lho ... apa sih yang kupikirkan! Bego deh! Kayak bakalan dinikahi Vian saja! Eh, tapi mungkin saja, kan? Secara saudaranya saja nikah sama-sama cowok, kami juga sudah tunangan. Meski Vian gak pernah bilang cinta ke aku, ngelamar juga gak pernah, tahu-tahu sudah tukaran cincin saja.
Argh! Aku menjerit dalam hati sambil ngacak-ngacakin rambut, ngegalau gara-gara pikiran ngacoku tadi. Gak lihat sekeliling, jadinya kaget sendiri pas dipanggil.
"Tuan Mikael, Anda baik-baik saja?" Itu suara Yakub yang lagi nyetir.
"Hehehe ... gak apa-apa, lanjut nyetir saja," balasku, cengengesan bego. Menyembunyikan rasa malu ketahuan ngegila. Untung saja, Yakub gak banyak tanya orangnya.
Aku sampai lupa kalau kami belum sampai rumah. Masih di mobil menuju rumah Vian. Di mobil ini hanya ada Yakub, aku dan twins. Sedangkan bodyguard lainnya ada di mobil lain. Di depan dan di belakang kami, ngekonvoi gitu ceritanya. Lebay bangetkan, pengawasan mereka? Selebay bosnya.
Yakub pun membisu. Karena Lexie lagi tertidur, aku pun menimang Lexus yang masih bangun. Sesekali menciumi pipi chubby keponakanku ini. Eh lho, sejak kapan mereka jadi keponakanku? Ugh, ngarep banget sih lu! Kata hati kecilku. Kembalilah aku, sibuk dengan pikiranku sendiri. Hingga ketika aku sadar, semua itu telah terjadi begitu saja.
CITTT ....
Mobil yang kami tumpangi ngerem mendadak di jalan dekat kompleks rumah Vian yang sepi. Lalu terdengar suara ledakan dari arah depan dan belakang.
BOOM!! DRUARRR!!
Refleks aku meraih twins, membawa mereka ke gendonganku. Turun dari mobil, melihat ke sekeliling, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Air mataku langsung jatuh. Mengerikan! Mobil di depan dan di belakang kami sudah hancur berkeping-keping, seorang bodyguard-ku terbaring tewas di jalan aspal. Sementara Yakub sedang sibuk berkelahi dengan sekitar 6 orang berpakaian serba hitam. Sesekali mereka menembakkan pistolnya.
Semua kejadian ini, mengingatku pada apa yang pernah dikatakan oleh Tyler sebelumnya. ‘Dengar, Mikael. Banyak orang yang iri dan benci kepada keluarga mereka. Tidak sedikit yang membayar seorang profesional untuk membunuh mereka, bahkan sejak mereka masih bayi. Itulah kenapa, mereka tidak bisa lepas dari situasi di mana mereka harus membunuh atau terbunuh. Mereka tidak menunjukkannya, tapi itulah hidup yang mereka jalani.’
Aku jadi ingin menangis, mengetahui seperti apa, hidup yang selama ini Vian jalani. Bukan hanya dari cerita, melainkan terjadi langsung di depan mataku.
Sementara Yakub tengah berusaha melindungiku, aku hanya bisa menangis di tepi jalan sambil memeluk erat twins. Setidaknya jika mereka ingin melukaiku, karena ingin membalas dendam ke Vian, aku tidak ingin bayi-bayi ini ikut dilukai. Tanpa kusadari, seseorang telah berada di belakangku.
BRUAK!!
Kepalaku pusing, ada benda keras yang membentur kepalaku. Samar-samar masih bisa kudengar suara percakapan mereka.
"Bawa dia."
"Lalu bagaimana dengan bayi-bayi ini? Ditinggalkan saja?"
"Dasar bodoh! Bawa juga! Justru bayi-bayi itu lebih bernilai!"
Sebelum akhirnya gelap, dan kesadaranku menghilang begitu saja.