Antonia membuka laptopnya dan memeriksa semua pesan masuk di e-mailnya yang sudah lama dia tinggalkan karena terfokus pada rencana-rencana gilanya untuk istana. Antonia memeriksa dengan teliti dan tak sedikit membalas pesan yang sekiranya bisa dia selesaikan saat itu juga. Namun kebanyakan yang dia dapatkan adalah kotak masuk yang berasal dari pamannya. Wanatabe Akira.
"Ah, menyebalkan sekali pria itu. Mengapa tidak bisa menunggu sebentar saja."
Antonia berdecak, kemudian menutup laptopnya cepat dan beranjak dari meja kerjanya untuk melakukan kegiatan yang lain.
"Princess Nia? Kau ada di dalam??"
"Ya? ?"
Antonia yang sedang merapikan pakaiannya yang ada di dalam kamar markasnya menyahut panggilan tersebut sebelum dia keluar dari kamarnya dan mendapati Billy sedang berada di sana dengan wajah kebingungan.
Ngomong-ngomong memang hanya Billy lah satu-satunya orang yang akan memanggil Antonia dengan panggilan yang kelewat berlebihan itu di markas ini. Princess Nia. Yang membuat Antonia berkali-kali mendelik dan memarahinya, namun tidak pernah digubris sama sekali oleh pria itu.
"Ada apa, Bill? Sesuatu hal mendesak?" tanyanya dengan kerutan samar di dahi.
"Entah lah. Namun ada pria Australia yang memakai kaca mata di luar. Pradipta sedang menjaganya di sana sendirian. Sepertinya pria itu membawa pasukan berbadan kekar lumayan banyak."
Dahi Antonia berkerut kebingungan. Namun akhirnya dia mengangguk mengerti karena mengenal siapa orang yang di maksud. Seseorang mencarinya jauh-jauh hingga menemukan lokasi ini, jadi Antonia tahu bahwa semua ini tidak jauh-jauh dari sosok Akira dibelakangnya.
"Terima kasih informasinya, Bill. Aku akan turun ke bawah."
"Baiklah. Aku akan berada di kamar dan memantau, oke? Berilah kode di cctv jika perlu bantuan. Aku akan langsung memanggil yang lain."
***
Dipta melipat tangannya dengan bersender di pintu masuk yang terbuka, masih terus memperhatikan sosok pria berjas dengan kaca mata dan rambut klimisnya dalam diam. Benar-benar tipe pria money oriented yang akan terus mematuhi perintah bosnya. Sangat rapi dan elegan.
"Siapa?"
Suara Antonia yang baru datang membuat Dipta menoleh kemudian menaikkan kedua bahunya.
"Dia bilang ingin bertemu dengan mu. Pria Australia yang terlihat sedikit mencurigakan. Pria ini membawa pasukan tukang pukul mungkin saja jika kita tidak mau tunduk padanya." tebak Dipta dengan tatapan penuh penilaiannya lagi-lagi. Membuat pria yang ditatap sedikit risih dengan perilakunya.
"Saya ingin berbicara sebentar dengan Putri Antonia. Berdua." tegasnya, sambil merapikan kaca matanya.
"Oh. tidak bisa." Dipta menggeleng cepat. "Ada aku atau tidak sama sekali. Lagipula kit tidak tahu apa yang akan kau lakukan pada Antonia. Kalian berdua akan berbicara dan aku akan duduk diam di antara kalian."
"Tuan putri." pria itu meminta bantuan Antonia, namun yang dimintai tolong hanya menaikkan kedua bahunya acuh.
"Seperti ucapannya barusan. Ada dia, atau tidak sama sekali." Antonia menggerakkan dagunya untuk menunjuk orang-orang bertubuh besar yang berdiri di sekitar kendaraan pria yang menjadi utusan pamannya itu. "Salah sendiri kau malah membawa 6 orang kemari. Mereka semua untuk menemani mu kan? Bukan untuk menangkap ku jika aku tidak mau menuruti perintah yang diberikan Akira kepada mu?"
Setelahnya pria berkaca-mata itu menelan ludahnya gugup.
***
Billy turun dari kamarnya, menuju ruang yang biasanya menjadi tempat berkumpul anggota. Menatap Dipta dengan kerutan di dahinya saat tak berapa lama sebelumnya dia memperhatikan semua orang di dalam gedung melalui cctv-nya.
"Kemana perginya Princess Nia?" tanya Billy saat melihat Dipta hanya sendirian di sana dengan raut wajah yang di tekuk. Sepertinya banyak yang sedang ia fikirkan.
"Entahlah. Sepertinya dia akan menemui pamannya. Pria itu ternyata suruhan Wanatabe Akira, dan princess mu itu sama sekali tidak memberikan aku izin untuk ikut mengikutinya bersama orang-orang tadi."
"Jadi maksud mu, dia ke sana sendirian?"
"Ya. Sepertinya dia juga akan melakukan dealnya dengan mantan pangeran itu. Entah apa yang keduanya janjikan, tapi aku merasa ada yang tak beres dengan situasi ini."
Dipta pergi ke lemari yang berada di dekat pintu masuk, kemudian mengambil salah satu coatnya yang berada di dalam sana.
"Lalu, mau kemana kau?"
"Aku akan mengawasi Antonia diam-diam. Berjaga lah di sini karena mungkin aku akan menghubungi mu nanti."
Setelah mengatakan hal itu, Dipta keluar dari markas mereka dengan menutup pintu kencang.
"Oh, ingatkan aku lain kali untuk mengganti benda itu dengan sistem otomatis." Billy memijat dahinya yang pusing kemudian segera kembali ke kamarnya untuk melakukan pekerjaannya yang tertunda. "Mereka semua selalu saja membuat keributan di sana."
***
Antonia akhirnya keluar dari mobil yang membawanya ke sebuah hotel mewah di wilayah Chiyoda, Tokyo setelah menempuh perjalanan cukup panjang dari markas persembunyian kelompoknya. Berjalan dengan langkah santai dengan tatapan orang-orang sekalipun dibelakangnya ada enam orang pria yang terus mengawasi.
Para pengunjung maupun karyawan yang berada di hotel tersebut tentu saja mengenal siapa Antonia Skalandivas, dia adalah puteri negeri Jepang yang terkenal dengan segudang prestasinya sejak kecil. Pun wajahnya sangat cantik dengan rambut hitam panjang dan tinggi semampai yang membuat orang-orang mengaguminya. Masyarakat negara tersebut juga mengetahui bahwa Antonia bahkan berhasil menyelesaikan gelar doktor paling bergengsi di Harvard belum lama ini.
"Tuan Akira menunggu anda di kafe rooftop, tuan puteri."
Setelah mendengar ucapan sekretaris Akira tersebut, Antonia pun segera masuk ke dalam lift dan menekan tombol lantai paling atas.
***
Akira duduk di kursinya dengan ditemani oleh iringan musik akustik di sudut rooftop. Lagu-lagu santai itu tentu saja membuat beberapa orang yang melakukan dinner bersama pasangan ataupun keluarga mereka menikmati waktu yang ada. Sibuk berbincang dan menyantap hidangan yang telah tersaji di atas meja.
"Kau terlihat baik."
Antonia datang dan langsung duduk di hadapan pria itu membuat Akira langsung menegapkan tubuhnya. Pun beberapa orang yang menyadari kehadirannya mulai membicarakan Antonia tentang betapa cantiknya perempuan itu jika di lihat langsung dari dekat.
"Pesan lah sesuatu. Anggap saja ini traktiran paman kepada mu setelah sekian lama."
"Tidak perlu. Aku datang hanya untuk membicarakan hal itu. Alasan mu mengundang ku kemari."
"Baiklah." Akira mengangguk pelan. "Sejujurnya aku benar-benar mengharapkan kau akan mengatakan iya malam ini. Aku menunggu mu selama ini untuk mendengarkan mu memutuskan kata iya."
Antonia menyender di punggung kursinya, merunduk menatap kuku-kuku jarinya sebelum mendongak lagi menatap pria itu.
"Tentu. Mudah saja. Tapi persyaratan ku masih sama. Aku ingin paman mengabulkan satu permintaan ku."
"Tidak masalah. Katakan saja apa itu."
Antonia tersenyum kecil kemudian mendekatkan wajahnya untuk berbisik pelan
"Bagaimana dengan meminjam orang-orang mu sebentar? Aku butuh mereka untuk membuat para petinggi partai kewalahan. Beberapa serangan kecil untuk membuat mereka akhirnya berpihak kepada ku, agar mereka mau mengikuti pilihan ku?"
Dahi Akira mengerenyit dalam, menatap Antonia dengan berjuta pertanyaan di kepalanya.
"Maksud mu kau ingin berbuat curang? Antonia, kau benar-benar bukan orang semacam ini kan? Apa yang sedang kau coba lakukan? Apa yang akan Ivanka katakan jika putrinya sendiri mencoba memecah belah seisi istana."
"Aku tidak berbuat curang dan tidak pernah mencoba untuk memecah belah istana. Aku justru membuat mereka semua berada di dalam satu jalur yang sama. Mau bagaimana pun jalan yang akan di ambil, aku tetap akan melakukannya. Sekali pun ada pertumpahan darah di dalam istana, aku tidak akan perduli! Sebelum Alessio turun dari barisan tahta, aku tidak akan pernah bisa diam."
"Kau tahu kan kalau kau sedang egois kali ini, Antonia?"
"Aku tidak perduli. Setelah semua yang kau katakan kepada ku sebelumnya mengenai misi penyelamatan manusia, aku tidak bisa melepaskan Jepang kepada pria yang tak pernah perduli kepada negaranya itu. Aku tidak akan membiarkan semua rakyat ku musnah di negara ini karena sikap keras kepalanya. Jepang tidak akan pernah selamat jika sampai di pimpin oleh Alessio."
"Antonia-"
"Akira, dengarkan aku." Antonia menghela nafasnya panjang. "Coba lah untuk melihat dari posisi ku juga. Jangan menganggap aku sebagai biang masalahnya kali ini. Kau tahu kan kalau ke depannya jika semua peraturan mengenai tatanan dunia baru itu berlaku, apa yang akan terjadi?"
"Seluruh negara di dunia akan bergabung dan menjadi satu koloni. Tidak ada perbedaan negara lagi karena semua akan mengikuti perintah satu pemimpin."
"Ya." Antonia mengangguk pelan. "Jika Jepang tidak memiliki raja yang kuat dan berpengaruh di perserikatan, jika kita tidak mencoba untuk mengambil bagian di dalam kegiatan ini, memang apa yang akan terjadi?"
Antonia menaikkan alisnya, mempertanyakan kemungkinan-kemungkinan yang membuat Akira berfikir keras.
Perempuan itu bahkan sudah memikirkan sejauh itu, membuat Akira menggeleng tak percaya dengan kemampuan yang Antonia punya.
"Jepang mungkin saja akan di tinggalkan dan di masa yang akan datang tidak ada seorang pun yang perduli jika sebelum dunia bawah tanah itu ada -kita pernah mengungguli semua negara dengan teknologi kita."
Antonia menunjukkan raut seriusnya.
"Aku tidak ingin keturunan kita binasa, Akira. Sumpah aku berjanji akan menuruti semua keinginan mu dan melakukan apa saja yang kau inginkan di team mu nanti. Asal kau bisa membantu ku menggulingkan Alessio sebelum penobatan yang di lakukan seminggu lagi."
"Baiklah. Atur saja tanggal mainnya. Aku akan menyerahkan orang-orang yang kau mau saat kau menghubungi ku nanti. Aku melakukan semua ini tidak gratis, Antonia." Akira mau tak mau akhirnya menyetujuinya.
"Kau tidak akan pernah kecewa karena memilih untuk satu kapal dengan ku, paman."
****
TBC.