"Enak?" tanya Ahyar, percaya diri dengan rasa spaghetti Aglio Olio tuna buatannya. Demi Ditrisya, Ahyar pergi ke swalayan untuk beli bahan dan memasaknya dengan pinjam alat masak Mbak Rusty.
Ditrisya menggulung mie lurus itu hingga membentuk bulatan besar di garpunya. "Biasa aja," jawabnya lalu membuka mulut lebar dan memasukkan suapan besar itu ke dalam mulut.
Senyum Ahyar merekah lebar. "Yes!" Ditrisya mungkin tidak sadar, mulut bisa menipu, tapi gestur dan mimik muka menjawab semuanya.
"Gue nggak ada bilang enak, lho."
"Biasa aja dari lo, luar biasa buat gue."
Ditrisya menghabiskan makanannya dengan cepat, selagi menunggu Ahyar menghabiskan jatahnya sendiri, Ahyar sempat menangkap basah Ditrisya lirik-lirik wadah makanannya. Namun, saat ditawari, gadis itu berlagak tidak mau. Ditrisya dan gengsinya.
Pada suapan terakhir, Ahyar sengaja memakannya dengan dramatis ala video iklan. Ditrisya memutar bola mata malas, seolah tahu Ahyar memang sedang menggoda dirinya.
"Gue nggak percaya itu lo masak sendiri," ujar Ditrisya.
"Menurut lo rasanya seenak makanan beli?" tanya Ahyar antusias. "Gue rencananya emang mau masukin ini sebagai salah satu menu. Gimana menurut lo?"
"Hah?"
Ahyar menegakkan punggung, menghadap lurus pada Ditrisya yang menatapnya penuh tanya. "Gini, Di, setelah gue pikir-pikir lagi dan dengar masukan bokap lo semalam, gue mau coba bisnis coffee shop. Dan spaghetti tadi bakal jadi salah satu menu mendamping."
"Coffee shop?"
"Iya. Kafe-kafe kopi kekinian gitu, tempat nongkrong anak muda. Payah ah, masa nggak tahu."
"Gue nggak nanya coffee shop itu apa," sentak Ditrisya tersinggung, dirinya tidak sekuper itu. "Maksud gue, dari sekian banyak ide bisnis, kenapa mesti coffee shop?"
"Kenapa enggak?" Ahyar bertanya balik. "Kayaknya ini bisnis menjanjikan, lagi rame di mana-mana. Teman gue ada yang udah terjun dan sukses."
Ditrisya menghela napas sambil geleng-geleng seolah tak habis pikir dengan pikiran Ahyar. "Lo nggak bisa mulai bisnis dengan modal 'kayaknya', Yar. Apalagi dari lihat keberhasilan seseorang."
"Terus apa?"
"Data."
Ahyar mencibir, "ya gini mental orang nggak mau berkembang. Terlalu banyak yang dipipertimbangkan, ujung-ujungnya nggak jalan, lo nggak pernah dengar yang namanya insting bisnis, ya?"
"Heh! Insting bisnis itu nggak muncul tiba-tiba, itu butuh jam terbang panjang, setelah ngelewati gagal berhasil," sahut gadis itu. "Lakukan riset yang benar. Kenali kompetitor, ada nggak celah yang bisa lo masuki atau kita-kita bisa nggak lo bersaing sama mereka. Kedua, hitung modal. Lo punya modal berapa? Coffee shop itu nggak murah. Alat-alatnya, lokasi, interior, pegawai. Berapa yang harus terjual dalam sehari biar bisa nutupi semua cost. Coffee shop bukan mainan sebarang orang, asal lo tahu. Bisa-bisanya ada orang percaya diri padahal nggak tahu apa-apa tentang coffee shop."
"Wah, lo ngeremehin gue. Sebelum coffee shop menjamur kayak sekarang, gue pernah kerja jadi barista, ya! Gue udah paham lah gimana biar coffee shop ramai."
"Ramai orang numpang duduk doang, buat apa? Beli kopi segelas sama kentang goreng, numpang pakai wifi sampai lima jam."
"Tergantung siapa yang ditarget, makanya gue mau kasih menu selain kopi."
"Kalau emang segampang itu, kenapa banyak coffee shop cuma bertahan beberapa bulan?"
"Ya karena mereka nggak menarik, nggak ada pembeli yang tertarik buat datang lagi. Gitu aja masih nanya."
Ditrisya buka mulut hendak mendebat, tetapi urung dilakukan. Dia mengatupkan lagi bibirnya sambil mengembuskan napas. "Terserah, deh. Lagian kalau rugi lo yang tanggung sendiri. Gue tinggal lihat aja dari jauh sambil bilanh syukurin!"
"Sama pacar kok gitu."
"Ahyar lo tuh ih..." Seandainya dia tidak memikirkan banyak ruginya, Ditrisya melempar mangkok ke kepala Ahyar saking gemasnya. Dan tanpa dosa, lelaki itu tertawa-tawa puas.
"Di, lo jangan bikin patahin semangat gue lah. Lo pasti nggak percaya, seumur hidup gue belum pernah sesemangat ini menginginkan sesuatu," ujar Ahyar lagi. Masih ada sisa canda di wajahnya, tapi suaranya terdengar lebih serius.
"Ingin sukses bisnis?"
Ahyar menggeleng dan tak diam memandangi Ditrisya sebentar. "Berbisnis adalah usaha gue buat mendapatkan keinginan itu. Gue harus memantaskan diri, nggak mungkin gue mengharapkan diberi sesuatu dan memaksa mereka menerima gue apa adanya. Paling enggak, gue punya sesuatu yang bisa gue banggakan."
Kening Ditrisya berkerut dalam. "Tunggu. Gue nggak paham."
"Lo nggak perlu paham. Gue sendiri nggak paham ngomong apa barusan, gue cuma ..." Ahyar tiba-tiba mematung. Dalam benaknya meragu, sungguh apakah ia bisa menciptakan takdirnya sendiri?
"Cuma apa?" desak Ditrisya. "Jangan bikin gue penasaran, ya!"
"Ciye yang penasaran."
Ditrisya melotot. "Apa sih! nggak lucu!"
Senyum lebar Ahyar mengendur jadi segaris tipis. "Waktu kecil, gue diajari buat ngejar kebahagiaan gue sendiri. Gue lakukan itu, sampai gue sadar, gue ternyata nggak bahagia kalau sendirian. Yang ngajadin gue itu juga bilang kalau gue bisa hidup seperti yang gue inginkan, jadi sekarang gue mau membuktikan, apa benar gue bisa mendapatkan sesuatu yang gue inginkan itu meskipun sejak awal itu nggak ditakdirkan buat gue."
Telunjuk tangan kanan Ahyar terulur melintang di atas meja, menyentuh tepat di tengah kening Ditrisya. "Nggak usah dipikir kalau masih nggak paham juga."
Ditrisya mengerejapkan mata cepat dan menepis tangan Ahyar. "GR. Siapa juga yang mikirin."
Ahyar tidak tahu bagaimana menjelaskannya, entah pula apa seseorang akan bisa mengerti perasaan dan kegelisahannya. Ia merasa begitu kecil dengan berharap seseorang mau membagi keluarga dengannya. Dan untuk pertama kalinya seumur hidup, Ahyar ingin membuat seseorang bangga memiliki dirinya.
"Gue kira lo marah sama gue," setelah hening kaku sesaat, Ditrisya berujar. Terdengar seperti gumaman, tapi didengar baik oleh Ahyar.
Sambil meneguk air minum, Ahyar berdengung bingung. "Kenapa ngira gitu?"
"Karena lo nggak ada kabar dan tahu-tahu nongol di sini."
"Bagian anehnya di mana?"
Ditrisya menghendikkan bahu. "Siapa tahu ada kata-kata gue yang menyinggung perasaan lo, soal--"
"Pft ...," Ahyar menutup mulut, mencegah air di mulut tidak muncrat bersama tawa. Lelaki itu menekan semua makanan sebelum berseru, "jangan bilang semalam lo beneran nunggu gue telepon."
Ditrisya melebarkan mata. "Enggak!"
"Terus kenapa nggak ada angin, nggak ada hujan lo mengira gue marah?" tanya Ahyar geli.
"Ya, karena ..."
"Karena apa?" Ahyar mengangkat dagu. Lucu melihat alis Ditrisya menyatu dan pandangannya tidak fokus, dia pasti sedang berpikir keras mencari-cari alasan.
"Tahu, ah!" Ditrisya berpaling memutar tubuhnya duduk menyamping, memeluk kedua lututnya. "Udah selesai makan, kan? Sana pulang."
Ahyar terkekeh ringan. "Galak banget, sih, nanti beneran cinta, lho." Ditrisya melotot makin lebar, sampai-sampai Ahyar ngeri bola matanya akan lompat keluar.
"Kenapa sih, nggak mau banget sama gue?" tanya Ahyar setelah puas tertawa.
Ditrisya berdecak. "Gue nggak mau repot-repot jawab pertanyaan nggak penting."
"Penting buat gue. Gue beneran mau tahu, apa yang harus gue perbaiki biar bisa jadi pacar lo. Pacar beneran," tanya Ahyar bersungguh-sungguh.
Ditrisya berdecih sinis, sepertinya tidak menganggap serius pertanyaan Ahyar. Ditrisya bangkit dari lesehannya dan membereskan meja, membawanya ke dapur mungil rumahnya. Di belakang, Ahyar membawakankan sisa gelas yang tidak bisa Ditrisya bawa sekaligus.
"Tipe cowok lo selain kaya, apa, Di?"
"Yang pasti bukan tipe kayak lo," jawab Ditrisya acuh tak acuh sembari mencuci peralatan makan.
"Hei, sombong banget," goda Ahyar mencolek dagu Ditrisya.
Ditrisya bergidik, berlagak jijik. "Tangannya tolong dijaga ya, jangan genit kayak Om-om."
"Makanya ngadep gue sini, biar nggak ngerasa lagi digenitin Om-om."
Ditrisya melirik Ahyar sekilas. "Dih, nggak jelas. Pulang sana, daripada ganggu gue."
Ditrisya menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat karena memang tidak banyak yanh dicuci.
"Gue mau mandi," ujarnya di depan Ahyar.
"Ngajak gue?"
"Ck, tandanya gue ngusir lo pergi!"
Ahyar tertawa-tawa lagi. "Oh, kirain ngajak gue ikut mandi. Habisnya pakai bilang segala."
Ahyar lantas bergerak ke ruang tamu, meraih jaketnya dan membawanya berdiri. Ahyar sebenarnya ingin berlama-lama di sini, tetapi Ditrisya pasti lebih butuh istirahat setelah seharian kerja, daripada meladeninya.
Ditrisya mengekor, mengantar Ahyar sampai depan pintu. "Pulang dulu ya, nanti sebelum tidur gue telepon."
Melihat Ditrisya memutar bola mata malas, Ahyar tertawa lagi. "Kali ini beneran gue telepon. Jadi, jangan tidur dulu, ya, Pacar," pesan Ahyar sembari mengacak puncak rambut Ditrisya, membuat rambut pendek yang digerai itu langsung berantakan.
Tidak seperti sebelumnya, kali ini Ditrisya tidak berusaha menepis. Dia masih mematung, bahkan ketika Ahyar melambai dan berlalu dengan skuternya.
Suara berisik skuter Ahyar makin samar, perlahan Ditrisya mengarahkan tangan kanannya memegangi d**a. "Nggak. nggak boleh," bisiknya pada diri sendiri.