22 | The One Who Waiting Me Home

1782 Kata
Tiga jam kemudian, Ahyar baru benar-benar keluar dari restoran. Hari ini Ahyar kerja sebelas jam dengan istirahat tidak genap satu jam. Semua pekerjaan dilakukan dengan berdiri dan lebih sering mandar mandir di ruangan bersuhu hangat Jangan ditanya bagaimana capek dan lengket badannya. Sudah tiba di kos Ahyar baru ingat pesan Ditrisya beli nasi dulu untuk makan makanan kiriman ibunya, sayangnya Ahyar terlalu malas untuk balik lagi karena satu-satunya hal yang paling ingin ia lakukan sekarang adalah meluruskan punggung di kasur. Kondisi perutnya masalah nomor dua meski makanan terakhir yang ia makan adalah seporsi nasi jam satu siang, itu pun dimakan dengan cepat-cepat. "Mas Ahyar, baru pulang?" sapa Pak Heru, penjaga kos sekaligus yang bertanggungjawab kebersihan kos. Lelaki setengah baya itu menghampiri Ahyar yang baru saja memarkir motor matic bekas yang ia beli dengan harga murah. "Iya, nih, Pak." Jawab Ahyar sekadarnya, biasanya ia akan menambahkan sedikit basa basi. Namun, tidak dulu untuk kali ini. "Mas Ahyar nomor hapenya mati, ya? Saya chat sama telepon nggak aktif." "Baterainya habis, Pak. Ada apa nyari saya?" Ponsel Ahyar mati di dalam saku. Makanya ia baru berniat pada siapa Ditrisya menitipkan makanannya nanti setelah menyambungkan ponsel dengan kabel pengisi daya. "Itu, ada temannya yang nungguin lho dari tadi sore." Mata Ahyar melebar, hanya ada satu orang yang rencananya akan ia temui. "Cewek? Di mana orangnya?" "Iya, cewek kecil, rambutnya pendek. Tuh, ada di balai tamu." Sontak Ahyar memanjangkan leher, mengarahkan pandangannya ke arah balai khusus yang diperuntukkan untuk menerima tamu luar. Dan benar saja, Ahyar bisa melihat setengah kepala Ditrisya dibalik sofa rotan yang didudukinya. Hati Ahyar mencelos. Ada rasa haru mendapati seseorang menunggu kepulangannya, tetapi di sisi lain ia takut ketergantungannya pada Ditrisya akan membuatnya mudah hilang arah lagi jika hubungan mereka tidak berjalan baik. "Kenapa nggak disuruh pulang aja, Pak?" "Udah saya suruh tiga kali, Mas. Mbaknya bilang Mas Ahyar sebentar lagi pulang, gitu terus." Ahyar menghela napas. "Ya udah, terima kasih ya, Pak." "Sip, Mas." Ahyar turun dari motor dan melangkah ke bagai tamu. Rupanya Ditrisya sedang tertidur menyender lengan sofa, dengan tangan tertopang di kening. Ahyar memelankah langkahnya agar tidak membangunkan Ditrisya tiba-tiba. Dia pasti bosan sekali berjam-jam menunggu sendirian. Ahyar berlutut di depan Ditrisya, sesaat hanya memandangi wajah gadis itu. Bibir tipis Ditrisya mengerucut lucu, jika diperhatikan intens dari jarak dekat begini, Ahyar baru sadar Ditrisya punya bulu sangat halus mirip kumis. Kapan lagi Ahyar bisa memandangi Ditrisya begini tanpa risiko ditabok Ditrisya yang malu. Tiba-tiba kedua mata Ditrisya terbuka, makin melebar saat menyadari sosok tepat di depannya itu adalah Ahyar. Ahyar tersenyum lebar, Ahyar bahkan lupa beberapa menit lalu ia masih mengeluh capek. "Hai, Pacar." "Udah pulang?" Ditrisya meluruskan punggung, lalu mengecek jam melalui jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kecilnya. "Baru pulang," Ahyar meralat. Dari posisi jongkok, Ahyar berpindah duduk di sebelah Ditrisya. "Bukannya tadi aku suruh kamu pulang?" Ditrisya menguap hingga matanya berair. "Gue kira cuma sejam atau dua jam, sekalian gue tungguin sambil nyari wifi." Seolah ingin menguatkan dalihnya, Ditrisya menunjukkan layar ponselnya. "Nih, lumayan dapat download lima judul film." "Bilang kalau memang nunggu aku, nggak apa-apa, lho." "GR," decak Ditrisya. "Tuh, titipan Ibu. Udah beli nasi, kan? "Lupa." Ahyar meringis kecil. Ditrisya mendesah. "Tahu gitu tadi gue bawain nasi sekalian." Gadis itu lalu berdiri dari duduknya. "Lo mandi, gih, gue beliin nasi di warung sebelah." "Gue aja yang beli." "Enggak!" Ditrisya mengibaskan tangan Ahyar yang menahannya. "Lo mandi. Bau lo asem banget. Sumpah. Gue balik lo udah harus mandi pokoknya." Ahyar tidak bisa mencegah Ditrisya. Ahyar tidak terlalu khawatir karena ada banyak warung makan di lingkungan ini. Ahyar membawa kresek isi kotak makanan yang ditinggalkan Ditrisya di atas meja ke kamarnya. *** Dari dalam kamar mandi, Ahyar mendengar Ditrisya mengetuk pintu, ia pun berteriak menyuruhnya langsung masuk karena tidak dikunci. Ahyar menyelesaikan mandinya dengan cepat, tubuhnya makin segar setelah kena kucuran air dingin. Ahyar keluar dari kamar mandi dengan handuk terlilit di pinggang yang langsung disambut jeritan tertahan dari Ditrisya. Gadis itu memejamkan mata rapat sambil mengaduk isi panci di atas kompor listrik yang letaknya kebetulan di sebelah pintu kamar mandi. "Ahyar b**o banget, ada orang nggak pakai baju di kamar mandi." Ditrisya geregetan, akhirnya membuka mata tapi dipalingkan dari arah Ahyar. "Ya, maaf lupa, nggak biasa ada cewek ke sini," jawabnya santai sambil menarik baju dari lemari. "Lagian biasanya cewek senang-senang aja aku telanjang di depan mereka." "Karena gue bukan cewek-cewek biasanya itu!" Ahyar terkekeh ringan. "Oh, iya juga." Sebelum masuk lagi ke kamar mandi, sejenak Ahyar berdiri di belakang Ditrisya, mengintip apa yang sedang dia hangatkan. "Rawon tulang, ya?" "Rawon buntut." "Hm, kayaknya enak." "Cepat pakai baju makanya." "Astaga, takut banget aku telanjang di sini," cibir Ahyar tertawa-tawa sembari beranjak ke kamar mandi. Semenit kemudian, Ahyar keluar lagi dengan celana selutut dan kaos polos warna putih. Ia disambit dengan acungan sendok sejengkal di depan wakah. "Lo nggak lupa. Lo sengaja nggak bawa baju ganti sekalian tadi." "Apa sih, kayak nggak pernah lihat cowok telanjang d**a. Ayah sama tiga saudara kamu semuanya cowok." Ahyar mengambil sendok itu dan mengambil alih pekerjaan Ditrisya menghangatkan kuah. "Ya, beda, dong." "Beda apanya? Oh, karena mereka mahrom, sedangkan kalau aku bisa kamu apa-apain." "Cih, yang ada lo kali yang apa-apain gue." "Oh, jadi mau aku apa-apain?" "Sinting. Awas aja kalau berani. Minggir!" Ditrisya menyelak galak. Dia mendorong badan Ahyar untuk mematikan kompor dan membawa panci kecil itu ke tempat Ditrisya sudah taruh sepiring nasi putih di atas meja lipat, tempat biasa Ahyar makan, Ditrisya bahkan membelikan kerupuk juga. Melihat Ditrisya berepot-repot menyiapkan makanan Ahyar, membuat Ahyar berfantasi konyol. Beginikah gambaran keluarga kecil? Suami capek pulang kerja, di rumah ada istri yang menunggu dan menyiapkan makanan untuknya. Menjadikan capek dan keringatnya sepadan dengan apa yang menantinya. Ahyar menggeleng cepat, mengusir kekonyolan itu dari kepalanya. Kalau pun ingin mewujudkan itu jadi nyata, pastinya saat ini bukan waktu yang tepat. Ahyar bersila di lantai, menghadap piring dan panci rawon yang masih mengepulkan asap. Ahyar menyeruput kuah pekat makanan itu dengan dua kali tiupan. "Pelan-pelan, masih panas banget," Ditrisya mengingatkan. Ahyar menyengir, ia terlalu tidak sabar untuk memakannya. "Kamu nggak ikut makan?" "Tadi sore udah makan." "Itu kan, tadi sore. Ini udah malam." Ditrisya menggeleng. "Enggak. Gue beneran nggak lapar." "Mau disuapin? Makan sepiring berdua?" "Ahyar ...." Ahyar tertawa. "Ya udah kalau nggak mau, nggak usah melotot." Ditrisya memutar bola mata malas. Ahyar meniup-niup kuah makanannya dan makan dengan lahap. Saat suapan pertama tertelan sampai ke lambung, barulah Ahyar merasakan perutnya keroncongan. Barangkali cacing-cacing di perutnya yang sempat tertidur, kini terbangun dan minta diberi makanan lebih banyak. Ahyar bukannya tidak sadar Ditrisya memandanginya sedari tadi, ia sengaja membiarkannya. Kalau dipergoki, Ditrisya pasti akan malu dan salah tingkah. Meski reaksi itu sangat menggemaskan bagi Ahyar. "Progresnya gimana, Yar?" tanya Ditrisya setelah hanya bunyi seruputan kuah yang mengisi ruangan. "Kalau sesuai rencana, bulan depan mobilnya udah jadi." "Lama juga ternyata." "Karena standar keamanannya lumayan banyak yang mesti diperhatikan." Ditrisya manggut-manggut mengerti. "Lo kayaknya udah siap, ya?" Jelas kalimat itu adalah bentuk penilaian Ditrisya, bukan pertanyaan. "Itu semua lo yang tulis?" "Apa?" Ahyar bertanya tak mengerti. Ditrisya mengendikkan dagu sekilas ke arah meja kerja yang difungsikan Ahyar jadi meja serba guna, semua barang tertumplek jadi satu di sana. "Tadi gue nggak sengaja lihat," tambah Ditrisya. "Oh ...," Ahyar bergumam malu. Coretan-coretan poin yang dirasanya penting dari artikel-artikel maupun e-book yang ia baca dilihat oleh Ditrisya. "Ada yang bilang, dimana ada kemauan di situ ada jalan aja belum cukup." Ditrisya menatap Ahyar, mendengarkan lelaki itu penuh penuh perhatian. "Aku nggak bisa melewati jalan itu tanpa kenal medannya gimana, kan? Atau paling enggak, aku harus siap sama segala kemungkinan. Kalau jalannya berkerikil, aku mesti gimana. Kalau licin, aku mesti ngapain. Kalau banyak kubangan lumpur, gimana caranya biar aku nggak terjebak. Makanya aku ingin kumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dan terjun langsung ke lapangan buat dapat gambaran lebih nyata." "Ada kesulitan, nggak?" "Beberapa hari pertama pasti ada. Aku lumayan keteteran ngikutin ritme kerja mereka yang sangat cepat. Semua orang kayak robot yang gerakannya udah terprogram ngerjain ini itu. Tapi sekarang udah mulai terbiasa dan bisa ngikuti setelah tahu apa tugasku." "Terus?" "Nggak ada, paling itu aja." "Kamu ... di sana diperlakukan baik, kan?" Ahyar sontak menatap Ditrisya lagi, bisa Ahyar tangkap sorot khawatir dari cara gadis itu menatapnya serta dan pertanyaan yang terdengar entah ragu atau berhati-hati. Ahyar mengulum senyum menenangkan. "Kamu mikir aku dibully karena panggilan tadi, ya?" tebak Ahyar. "Emang begitu cara orang sana manggil satu sama lain, biar nggak stress, kita sering bercanda-bercanda." "Yang aku dengar tadi nggak kayak bercanda." "Di, kamu tahu, nggak si Gatot itu badannya tinggi besar, jadi suara aslinya emang besar. Kalau nggak kenal, wajar aja bikin salah paham. Tapi beneran, kok, aku baik-baik aja. Kamu nggak usah khawatir." "Gue nggak khawatir, sih, cuma penasaran sedikit." "Kamu penasaran karena lo khawatir. Jangan-jangan karena ini kamu bela-belain nungguin aku?" Ditrisya melotot. "Nggak usah dihubung-hubungin, nggak nyambung! Orang niat gue cari wifk gratis, kok, terus lupa waktu sampai lo tahu-tahu udah pulang. Sudut bibir Ahyar berkedut menahan senyum geli. Dasar Ditrisya, usahanya mengais sisa-sisa gengsi patit dihargai. "Baiklah, baiklah." Ditrisya mendengus seolah Ahyar lah pihak yang tidak masuk akal. "Kenapa nggak bilang, customer yang lo kasih ayam mentah kemarin itu Lisa?" tanya Ditrisya terdengar acuh tak acuh. Ahyar berdecak malas. Sedikit menyebalkan mengingat masalah itu lagi, ia dimarahi oleh seseorang yang ia kenal, di depan Vinno, dan disaksikan langsing oleh Sisil. "Terus kenapa kalau dia Lisa? Di mata aku, dia cuma customer biasa. Dia bilang apa tentang aku?" "Apa yang dia bilang nggak penting. Aku bisa menilai seseorang sendiri." "Oh, ya?" Ahyar mengerling, ia meletakkan sendok dan garpunya. Tertarik ingin tahu lebih tentang pernyataan Ditrisya barusan. "Jadi, menurut kamu, aku orangnya kayak gimana?" "Kalau ngomong suka iseng, PD-nya selangit, boros. Mungkin, hal baiknya adalah semakin ke sini lo nunjukin kalau lo sebenarnya pekerja keras. Berhubung dulu lo nggak tahu mau mengerjakan apa, jadi itu baru kelihatan sekarang." Ahyar cukup terkejut Ditrisya mau menjawab serius pertanyaannya. "Terlalu awal muji aku pekerja keras. Kamu bisa bilang nanti kalau usahaku udah kelihatan hasilnya." Ditrisya menggeleng. "Sebenarnya, lo udah tahu apa yang mau lo kerjakan aja udah bagus banget. Semua orang sukses bilang hasil nggak akan menghianati usaha." Beberapa detik lamanya Ahyar terpaku. "Aku nggak peduli kamu anggap genit, aku mau bilang, kalau kamu manis terus kayak gini, gimana kalau aku beneran ingin miliki kamu?" "Hm, kalau masalah itu, lagi-lagi tergantung seberapa besar keinginan kamu." Ditrisya berlagak mengecek jam, lalu bergegas meraih tas selempangnya dan berdiri. Mata Ahyar berbinar. "Jadi ada kesempatan, nih?" Ditrisya membuka pintu dan menoleh. "Bukannya dari awal ada?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN